Judul: Impian Moira
Pengarang: Dewie Sekar
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tebal: 207 halaman
Genre: Romance/drama/comedy
Cetakan: Ke-1 (September 2005)
My Grade: B-
Dalam kehidupannya sehari-hari, remaja nggak pernah bisa pergi terlalu jauh dari yang namanya diary alias buku harian. Di situ tersimpan keseluruhan cerita dan rahasia mereka. Kalau kita bisa mencuri baca buku harian seorang teman, maka kita akan tahu betul seperti apa dia. Dan mencuri baca diary orang lain merupakan suatu aktivitas gelap yang (jujur saja) “dirindukan” semua orang sebagaimana kita pengin mengintip orang mandi atau ganti baju.
Novel teenlit Impian Moira karangan pengarang asal Semarang yang kini bermukim di Jakarta, Dewie Sekar, ngasih kita kesempatan langka itu. Membacanya memberi sensasi seakan-akan kita sedang mengintip baca diary seorang Moira, gadis Jawa dari Yogya yang bertampang bule karena ia peranakan Jawa-Sunda-Amerika tapi tetap merasa dirinya Jawa tulen sehingga lebih leluasa memanggil “kamu-aku” ketimbang “lo-gue”.
Setelah ortunya bercerai gara-gara papanya ketangkap basah selingkuh dengan seorang perempuan cantik bernama Sonya, Moira mengikuti Mommy hengkang dari Kota Gudeg ke Kota Metropolitan Jakarta. Mommy yang mandiri itu diterima sebagai wartawati sebuah majalah dan mengajak Moira tinggal di sebuah kondominium kelas atas. Moira sendiri masuk ke sebuah sekolah swasta elit bernama SMA Pusaka Nusa.
Di situ ia bertemu teman-teman baru yang menarik. Ada Andrea, cewek cacat yang kagum padanya dan selalu menyebutnya “Si Anak Asyik”; ada Surya yang jenius dan mirip Clark Kent; dan terakhir ada Leo, eks gebetan Moira di Jogja yang kebetulan tahu-tahu juga nongol di Pusaka Nusa sebagai sesama murid baru.
Moira lantas berdamai dengan ayahnya. Sayang, kesalahpahaman saat ia dan Papa jalan-jalan ke mal membuatnya dibenci anak-anak sekelas karena dianggap cewek penjual cinta ke om-om. Hal mana juga menyebabkan rating-nya di mata Leo ngedrop ke titik nadir.
Namun Moira menemukan pelampiasan semua permasalahan hidupnya selama ini pada tugas sekolah yang sangat eksotis dan membuatnya begitu tertantang: nulis novel. Di situ ia mencurahkan semua ketidakpuasannya akan kehidupannya lewat seorang tokoh fiktif bernama Sabrina yang, nggak seperti dirinya, berhasil mendapatkan semua yang diimpikan, termasuk kucing peliharaan.
Impian Moira dituturkan dengan gaya yang emang sangat mirip diary plus. Dibilang plus karena ada tambahan-tambahan dialognya. Dari awal hingga akhir, Dewie Sekar membuat kita tenggelam dalam dunia pemikiran Moira dan nggak bermain dengan plot, adegan, cliffhanger, serta dialog macam yang ada dalam novel-novel lain.
Karena kita bener-bener kayak sedang membaca sebuah diary, maka kita juga sungguh-sungguh mengetahui apa yang ada di benak seorang Moira. Kita tahu kesenangannya, ketakutan-ketakutannya, alasan mengapa ia menggembosi ban mobil Leo, soal Kintan Jilid 2, cinta dan sekaligus bencinya pada Papa, serta perasaan inferiornya pada kehidupannya sendiri yang menurutnya amat nggak sempurna hanya karena “nggak kayak kehidupan orang lain” sehingga ia merasa perlu menjelma jadi Kintan Jilid 2 itu tadi.
Pendekatan yang seperti ini membuat Impian Moira terasa amat dekat dan menyentuh karena apa yang ada di benak Moira adalah juga apa yang ada di kepala para remaja sehari-hari. Wajar kalo Moira sebal pada kehidupannya sendiri, sebab jangankan kehilangan ortu yang selingkuh, sekadar didatangi sebiji jerawat nakal aja udah bisa bikin remaja blingsatan dan lebih memilih untuk memanggil makanan cepat saji lewat delivery order daripada nekat keluar rumah.
Sayang ada satu elemen penting yang kurang maksimal tereksploitasi. Impian Moira berangkat dengan premis yang amat menjanjikan, yaitu soal Moira yang memasuki kehidupan barunya di Jakarta dengan berpura-pura menjadi orang lain karena merasa dirinya yang asli sangat nggak “menjual” bagi anak-anak metropolitan. Ia pun menjadi Kintan Jilid 2 dan sandiwaranya demikian sempurna sampai-sampai Andrea menjulukinya Si Anak Asyik, padahal deep down inside, ia sendiri mengakui dirinya sama sekali nggak asyik.
Pada bagian lanjutan, kita berharap unsur ini punya daya kejut komedik yang luar biasa menarik pada reaksi teman-teman Moira, terutama Andrea, ketika mereka tahu watak dan tabiat asli Moira yang sesungguhnya. Tapi bukannya mendaki ke titik ini, Dewie justru membelokkan cerita ke melodrama beraroma plot hole soal kesalahpahaman mereka saat Chika menyaksikan Moira jalan-jalan akrab dengan seorang pria setengah baya di mal.
Plot hole pada bagian ini sangat kerasa karena cukup dengan satu kalimat sanggahan dari Moira yang berbunyi semacam “Ya ampun, itu ayahku!”, semua kesalahpahaman akan langsung dapat diurai hanya dalam tempo tak sampai 15 detik. Dan semua manusia normal di dunia nyata, tak peduli dia secuek bebek atau seedan apapun, pasti akan langsung membantah dan menyanggah dengan keras jika dia udah dikait-kaitkan dengan isu sesensitif yang dialamatkan ke Moira—kecuali kalo emang dia berprofesi demikian!
Selain itu ada beberapa bagian dialog yang nampak jelas terlalu kuyup dipengaruhi film-film Hollywood. Kalimat seperti “Kamu kira apa yang udah kamu lakukan?” atau “Kukira kita berteman!” (dua-duanya di halaman 175) jelas adalah terjemahan langsung dari “What do you think you’re doing!?” dan “I thought we were friends!” yang sering muncul dari mulut entah Ashton Kutcher, Lindsay Lohan, Hilary Duff, atau Josh Hartnett dan hampir nggak mungkin kita ucapkan dalam kehidupan sehari-hari saat ikut rapat Karang Taruna, saat menawar harga cabe di pasar, atau saat ngobrol di kantin sekolah.
But, overall, it’s a good and heartwarming story (nah, nah, mulai terpengaruh Hollywood juga!). Impian Moira membawa kita pada satu titik kesadaran baru bahwa hidup emang nggak sempurna. Yang membuatnya sempurna adalah bagaimana cara kita menjalaninya sehingga at least diri kita bisa berguna baik bagi diri sendiri maupun orang lain…
Thx banget yaa.
BalasHapusMasukanmu pasti berguna.
Novel2mu keren juga...
Aku punya dua. :)