scribo ergo sum

Selasa, 25 Juli 2006

Tidak Terurus

10:48 Posted by wiwien wintarto No comments

STNK Speed Monster (motor Kanzen Megastar-ku) habis 7 Juli kemarin. Dan hingga artikel ini ku-posting ke blog, aku masih belum memperpanjang STNK-ku karena KTP-ku habis sejak 4 Mei lalu. Untuk memperpanjang STNK diperlukan KTP yang masih berlaku, dan hingga aku bisa mendapat KTP baru, jangan harap aku akan bisa punya STNK baru juga.
Masalahnya, aku baru saja pindah rumah dari Kecamatan Genuk ke Kecamatan Banyumanik. KTP-ku tentu saja ikut pindah menjadi warga kecamatan yang baru. Untuk membuat KTP sebagai warga Banyumanik, aku harus memperbarui KK alias Kartu Keluarga. Dan untuk membuat KK baru, aku harus membuat surat pindah yang ditandatangani dan distempel Ketua RT dan RW tempat aku tinggal dulu.

Ketika surat pindah dari Pak RW udah keluar, aku harus konfirmasi ke Kelurahan Gebangsari dan Kecamatan Genuk mengenai kepindahanku. Habis itu baru aku mendaftarkan kepindahanku ke tempat yang baru dengan proses yang juga hampir sama: Ketua RT 8-Ketua RW XIII-Kelurahan Pudakpayung-Kecamatan Banyumanik.
What a f**king bureaucracy, batinku! Hanya untuk pindah rumah dan mendapatkan KTP baru, aku harus mendatangi delapan buah institusi yang pada masing-masing tempat belum tentu urusan hanya akan selesai dalam satu meja, terutama di kantor kelurahan dan kecamatan.
Belum lagi nanti untuk perpanjangan STNK di Kantor Samsat urusannya pasti juga nggak bakalan (dibikin) sederhana. Formulir ini, formulir itu, uang ini, uang itu, Pak Ini, Bu Itu, loket ini, loket itu, dan masih harus berderet di antrean.
Satu hal yang sejak dari dulu selalu ingin kutanyakan pada semua pengelola negara ini adalah: kenapa semua hal selalu dibikin rumit padahal dibuat mudah pun sebenernya bisa, sangat bisa sekali?
Aku membayangkan Indonesia, atau seenggaknya Kota Semarang, punya satu lembaga Layanan Publik Satu Atap, tempat semua bentuk public service, mulai dari mengurus izin usaha, hak paten, IMB, SIM, KTP, hingga STNK dilayani di kantor yang sama (one stop service).
Kemudian, data seluruh warga kota ditampung dalam database komputer sehingga proses kepindahan warga dari satu tempat ke tempat lain dapat difinalisasikan secara resmi dengan hanya satu kali pejetan tombol Enter. Mudah kan? Hemat waktu kan?
Bolak-balik hilir mudik mendatangi delapan institusi sekaligus hanya untuk memperoleh satu KTP baru jelas amat nggak efisien, bahkan bagi pengangguran sekalipun. Lha, emang aku udah nggak ada kerjaan lain apa!? Aku yang nggak terlalu sibuk dan masih bisa main Railroad Tycoon 3 selama 10 jam perhari pun dalam kurun waktu sejak Juni sampai sekarang baru berhasil mengurus surat pindah dari RW-ku yang lama di Genuk Indah. Two down, six more to go!
Itu aku, apalagi orang-orang sibuk kayak Hermawan Kartajaya, KD, Safir Senduk, atau Fira Basuki. Apa ya mereka sempat dengan telaten mengikuti seluruh tahapan itu all by themselves kalau misalnya mereka pas mengalami episode sepertiku? Sudah pasti tidak! Jalan keluar satu-satunya, minta tolong diuruskan. Dan entah dalam format biro jasa, calo, atau “kerabat yang bisa lewat belakang”, ujung-ujungnya pasti akan mengekalkan praktik pungli dan percaloan.
Lantas apa gunanya dulu para manasiwa (mahasiswa) itu gentayangan turun ke jalan siang-siang untuk nyuruh Harto turun dan menggalakkan reformasi guna memberantas korupsi? Suharto emang turun dan sekarang sedang sakit usus, tapi korupsinya tetep sama kayak dulu—malah makin ganas.
Rasanya ada yang nggak beres. Sepertinya negara ini nggak terurus sebagaimana mestinya. Para elit cuman berwacana soal hal-hal yang besar. Moral lah, agama lah, pornografi lah, demokratisasi lah, keterbukaan lah, tapi sama sekali terlupa untuk ngurus hal-hal fungsional yang ada dalam kenyataan sehari-hari, macam distribusi minyak tanah, ketersediaan bensin premium, kesehatan rel kereta api, dan termasuk, itu tadi, penyederhanaan birokrasi.
Belum lagi pemikiran itu selesai, mendadak ada satu fenomena konyol lagi yang muncul gara-gara bencana gempa dan tsunami di Cilacap & Pangandaran Senin 17 Juli lalu. Pascabencana terungkap bahwa BMG belum memiliki teknologi peringatan dini untuk ngasih tahu publik bahwa akan terjadi bencana tsunami. Ini ironis karena Indonesia rawan gempa dan tsunami. Iki piye!?
Satu-satunya “teknologi” yang dimiliki BMG hanya pemberitahuan ke pemda-pemda di seluruh Indonesia via telepon (telepon, bayangin! Kenapa nggak liwat SMS “guyz, br aja ada gmpa.bole kaget plz…”!) mengenai telah terjadinya gempa dalam selang 5-6 menit setelah guncangan pertama terjadi. Yang lucu, yang sangat bikin shock adalah, BMG ternyata sama sekali nggak punya database lengkap nomor telepon semua pemda, pemkot, dan pemkab di seluruh Indonesia!
INI MAKSUDNYA APAA!? WHOI, GOVERNMENT! MBOK YA YANG SERIUS KALAU MENGURUS NEGARA! INI NEGARA, BUKAN PAGUPON (kandang kuda)!!
Kalau pas kampanye Pemilu aja guayanya setengah mati. Giliran udah pada naik ke kursi masing-masing, malah cuman pada sibuk nampang di TV lewat talkshow atau kuis tebak lagu…
(Asli, nesu tenan iki…!)

0 komentar:

Posting Komentar