(** out of *****)
Sebuah film dibuat untuk memberi
kita potret tentang kehidupan kita sendiri. Seperti cermin, film memperlihatkan
pada kita apa yang selalu terbawa dalam hidup sehari-hari namun tak pernah kita
lihat secara langsung, yaitu rupa kita sendiri. Namun ketika potret itu hanya
tinggal sebatas potret yang bisu, kita pun jadi capek karena hanya sekadar
menonton tapi tak mendapatkan layanan lebih jauh dalam bentuk apapun.
Film terbaru keluaran Indika
Entertainment setelah Ekskul, Cewe Matrepolis, memberi kita
contoh gamblang ketika sebuah film kehilangan morale
of the story-nya. Materi yang dihadirkan hanya muncul sebatas fenomena,
tapi tak diolah hingga menjadi sesuatu yang menggugah, memberi inspirasi, atau
membuat kita menyadari rupa wajah kita sendiri.
Cewe Matrepolis dibesut oleh sutradara Effi Zen,
satu lagi nama asing dari dunia antah berantah yang tiba-tiba saja, mak jegagik seperti kata orang Jawa, bisa duduk di
kursi penyutradaraan.
Tak ada yang tahu siapa dia,
mendengar namanya, mengetahui latar belakang dan kualifikasi ilmu
sinematografinya, atau curriculum
vitae-nya di dunia perfilman. Kecuali Effi Zen adalah nama samaran seorang
sineas yang sudah punya jam terbang lumayan, dia betul-betul semisterius hantu
pembunuh dalam film Lentera
Merah!
Sebanyak empat tokoh utama
disajikan oleh Effi. Mereka semua berjenis kelamin perempuan, mahasiswi, dan
sama-sama berasal dari golongan elit warga DKI Jakarta. Ada yang galak dan
anticowok bernama Kay (Nita Ferlina), yang matre dan gonta-ganti cowok bernama
Cecille (Amalya Sutarmaza), yang lugu dan mendewakan film Titanic bernama Salma (Indah Pelapory), dan
yang gemuk bernama Donna (Emmie Lemu).
Cewe Matrepolis menelusuri perjalanan cinta
gadis-gadis itu secara paralel. Kay yang menjadi cewek galak karena berusaha
menyembunyikan latar belakangnya sebagai perempuan simpanan. Ia kemudian jatuh
cinta dengan Ben, saudara sepupu Donna.
Di pihak lain, Cecille shock ketika
mengetahui kekasihnya, Raul, ternyata sudah beristeri. Ia kemudian pacaran
dengan Kiki yang jauh lebih muda. Peristiwa yang nyaris sama dialami Salma. Ia
mendedikasikan cinta sejatinya pada Joe, namun kemudian mengetahui Joe ternyata
kumpul kebo dengan seorang perempuan aneh berwajah kebarat-baratan bernama
Sandra.
Berdasarkan press release dari
Indika Entertainment yang sejak jauh-jauh hari bertebaran di internet, Cewe Matrepolis adalah pengejawantahan fenomena
pergaulan terbaru gadis-gadis muda metropolitan masa kini. Demi memperbaiki
nasib, mereka menikah hanya karena uang, bukan karena cinta.
Film ini juga menghadirkan empat icon pergaulan bebas era abad ke-21, yaitu money, love, sex, dan party. Keempat icon tersebut hadir melalui keempat tokoh
utama. Cecille untuk money,
Salma untuk love, Kay
untuk sex, dan Donna
untuk party.
Lantas apa hasilnya? Pedih untuk
mengatakannya, tapi sama sekali memang tidak ada. Effi hanya mampu menampilkan
fenomena, tapi terlupa untuk memberinya garis bawah. Ia tidak mampu memaknai Cewe Matrepolis untuk membuatnya tak hanya sebatas
barang tontonan, tapi juga cermin yang merefleksi atau cambuk yang melecut.
Kisah cinta Kay dan kawan-kawan
mengalir lepas begitu saja, tapi tak ada sesuatupun yang terjadi pada diri
masing-masing dari mereka. Gadis-gadis itu tak mengalami evolusi kepribadian
yang membuat penonton bisa berguru, tak pula mereka memberi kita sentakan yang
menyadarkan kita pada apa yang selama ini ada namun selalu terlepas dari
perhatian.
Tahu-tahu saja, sebelum semua
fenomena itu menjadi pelajaran, baik bagi mereka berempat maupun kita para
penonton, durasi film berakhir hanya karena ada satu tokoh yang (terpaksa)
meninggal. Sebagaimana jatidiri hantu pembunuh dalam Lentera Merah, identitas
tokoh yang akhirnya dikubur ini juga kami biarkan menjadi misteri agar tidak
mengurangi kenyamanan Anda dalam menonton!
Namun bahwa salah satu dari
keempat tokoh utama tersebut kelak akan meninggal, fakta ini sebenarnya sudah
tak terlalu mengejutkan lagi. Entah karena tidak menyadari, karena patuh pada
“tradisi”, entah itu karena memang betul-betul tidak memiliki kreativitas sama
sekali, skenario Cewe
Matrepolis kuyup dengan dua
elemen yang selama ini seolah wajib hadir dalam sejarah sinema kita, yaitu
kematian dan serbakebetulan.
Banyak sekali kebetulan-kebetulan
aneh yang sangat mengganggu. Pacar yang ternyata keponakan dari orang yang
selama ini menjadi simpanan, bertemu dengan ayah yang sedang kencan dengan
perempuan penghibur saat berada di karaoke, atau tiba-tiba melihat gadis yang
tengah ditaksir sedang nongkrong bengong di pinggir jalan sesudah bertengkar
dengan kekasihnya.
Semua kebetulan itu amat
mengganggu karena gagal pula mengejutkan kita. Tak ada satupun yang
dimanfaatkan untuk membelokkan plot cerita ke arah yang tak terduga-duga.
Sebaliknya, mereka hanya dipakai untuk memancing reaksi penonton dengan cara
konvensional, yang malah membuat Jakarta seakan-akan hanya seluas satu
RW—berada di manapun, kita selalu bertemu orang-orang yang kita kenal!
Cewe Matrepolis memang termasuk film yang gagal
bukan karena faktor-faktor sinematografisnya. Biarpun sama sekali tak dikenal,
Effi Zen cukup mampu menyuguhkan kualitas tontonan standar yang tak bagus namun
tak remuk juga. Kelemahan paling menyolok, seperti film-film masa kini lainnya,
kembali menjadi tanggung jawab screenplay alias skenario.
Tak ada cerita yang menggugah dan
memberi inspirasi, tak ada konklusi, tak ada pesan moral, tak ada karakterisasi
yang bernas, dan tak ada memorable quotes yang berharga kecuali “friends
are sucks, but friends are forever”. Itupun mungkin diambil sang penulis
skenario dari kartu-kartu ucapan buatan Hallmark!
Nah, kini tibalah kita pada
pertanyaan puncak yang menentukan: siapa gerangan sang screenwriter “jempolan”
tersebut? Yap, dia tak lain tak bukan adalah Angie, salah satu dari tiga
pemeran utama film Virgin besutan Hanny R Saputra yang pernah
menghebohkan dunia itu, selain Laudya Chyntia Bella dan Ardina Rasti. Ia
melakukan ekspansi profesi dari aktris menuju penulis skenario.
Menurut penuturan Angie
sebagaimana dikutip situs Indosinema,
ia melakukan survey dan observasi selama enam bulan dalam penggarapan skenario Cewe Matrepolis. Namun
melihat hasilnya, satu-satunya observasi yang dilakukan Angie pasti hanyalah
sekadar menjalani kehidupan rutinnya sehari-hari.
Karena, sebagaimana yang selama
ini kita lihat lewat acara-acara infotainment, lingkup kelas jet set para seleb
selalu identik dengan uang, pendewaan harta, perselingkuhan, wanita simpanan
laki-laki kaya, cinta yang terlalu mudah datang dan pergi, serta akhirnya…
kematian!
0 komentar:
Posting Komentar