scribo ergo sum

Minggu, 11 Juni 2006

Diambil dari Kartu Hallmark

13:26 Posted by wiwien wintarto No comments

(** out of *****)

Sebuah film dibuat untuk memberi kita potret tentang kehidupan kita sendiri. Seperti cermin, film memperlihatkan pada kita apa yang selalu terbawa dalam hidup sehari-hari namun tak pernah kita lihat secara langsung, yaitu rupa kita sendiri. Namun ketika potret itu hanya tinggal sebatas potret yang bisu, kita pun jadi capek karena hanya sekadar menonton tapi tak mendapatkan layanan lebih jauh dalam bentuk apapun.
Film terbaru keluaran Indika Entertainment setelah Ekskul, Cewe Matrepolis, memberi kita contoh gamblang ketika sebuah film kehilangan morale of the story-nya. Materi yang dihadirkan hanya muncul sebatas fenomena, tapi tak diolah hingga menjadi sesuatu yang menggugah, memberi inspirasi, atau membuat kita menyadari rupa wajah kita sendiri.

Cewe Matrepolis dibesut oleh sutradara Effi Zen, satu lagi nama asing dari dunia antah berantah yang tiba-tiba saja, mak jegagik seperti kata orang Jawa, bisa duduk di kursi penyutradaraan.
Tak ada yang tahu siapa dia, mendengar namanya, mengetahui latar belakang dan kualifikasi ilmu sinematografinya, atau curriculum vitae-nya di dunia perfilman. Kecuali Effi Zen adalah nama samaran seorang sineas yang sudah punya jam terbang lumayan, dia betul-betul semisterius hantu pembunuh dalam film Lentera Merah!
Sebanyak empat tokoh utama disajikan oleh Effi. Mereka semua berjenis kelamin perempuan, mahasiswi, dan sama-sama berasal dari golongan elit warga DKI Jakarta. Ada yang galak dan anticowok bernama Kay (Nita Ferlina), yang matre dan gonta-ganti cowok bernama Cecille (Amalya Sutarmaza), yang lugu dan mendewakan film Titanic bernama Salma (Indah Pelapory), dan yang gemuk bernama Donna (Emmie Lemu).
Cewe Matrepolis menelusuri perjalanan cinta gadis-gadis itu secara paralel. Kay yang menjadi cewek galak karena berusaha menyembunyikan latar belakangnya sebagai perempuan simpanan. Ia kemudian jatuh cinta dengan Ben, saudara sepupu Donna.
Di pihak lain, Cecille shock ketika mengetahui kekasihnya, Raul, ternyata sudah beristeri. Ia kemudian pacaran dengan Kiki yang jauh lebih muda. Peristiwa yang nyaris sama dialami Salma. Ia mendedikasikan cinta sejatinya pada Joe, namun kemudian mengetahui Joe ternyata kumpul kebo dengan seorang perempuan aneh berwajah kebarat-baratan bernama Sandra.
Berdasarkan press release dari Indika Entertainment yang sejak jauh-jauh hari bertebaran di internet, Cewe Matrepolis adalah pengejawantahan fenomena pergaulan terbaru gadis-gadis muda metropolitan masa kini. Demi memperbaiki nasib, mereka menikah hanya karena uang, bukan karena cinta.
Film ini juga menghadirkan empat icon pergaulan bebas era abad ke-21, yaitu money, love, sex, dan party. Keempat icon tersebut hadir melalui keempat tokoh utama. Cecille untuk money, Salma untuk love, Kay untuk sex, dan Donna untuk party.
Lantas apa hasilnya? Pedih untuk mengatakannya, tapi sama sekali memang tidak ada. Effi hanya mampu menampilkan fenomena, tapi terlupa untuk memberinya garis bawah. Ia tidak mampu memaknai Cewe Matrepolis untuk membuatnya tak hanya sebatas barang tontonan, tapi juga cermin yang merefleksi atau cambuk yang melecut.
Kisah cinta Kay dan kawan-kawan mengalir lepas begitu saja, tapi tak ada sesuatupun yang terjadi pada diri masing-masing dari mereka. Gadis-gadis itu tak mengalami evolusi kepribadian yang membuat penonton bisa berguru, tak pula mereka memberi kita sentakan yang menyadarkan kita pada apa yang selama ini ada namun selalu terlepas dari perhatian.
Tahu-tahu saja, sebelum semua fenomena itu menjadi pelajaran, baik bagi mereka berempat maupun kita para penonton, durasi film berakhir hanya karena ada satu tokoh yang (terpaksa) meninggal. Sebagaimana jatidiri hantu pembunuh dalam Lentera Merah, identitas tokoh yang akhirnya dikubur ini juga kami biarkan menjadi misteri agar tidak mengurangi kenyamanan Anda dalam menonton!
Namun bahwa salah satu dari keempat tokoh utama tersebut kelak akan meninggal, fakta ini sebenarnya sudah tak terlalu mengejutkan lagi. Entah karena tidak menyadari, karena patuh pada “tradisi”, entah itu karena memang betul-betul tidak memiliki kreativitas sama sekali, skenario Cewe Matrepolis kuyup dengan dua elemen yang selama ini seolah wajib hadir dalam sejarah sinema kita, yaitu kematian dan serbakebetulan.
Banyak sekali kebetulan-kebetulan aneh yang sangat mengganggu. Pacar yang ternyata keponakan dari orang yang selama ini menjadi simpanan, bertemu dengan ayah yang sedang kencan dengan perempuan penghibur saat berada di karaoke, atau tiba-tiba melihat gadis yang tengah ditaksir sedang nongkrong bengong di pinggir jalan sesudah bertengkar dengan kekasihnya.
Semua kebetulan itu amat mengganggu karena gagal pula mengejutkan kita. Tak ada satupun yang dimanfaatkan untuk membelokkan plot cerita ke arah yang tak terduga-duga. Sebaliknya, mereka hanya dipakai untuk memancing reaksi penonton dengan cara konvensional, yang malah membuat Jakarta seakan-akan hanya seluas satu RW—berada di manapun, kita selalu bertemu orang-orang yang kita kenal!
Cewe Matrepolis memang termasuk film yang gagal bukan karena faktor-faktor sinematografisnya. Biarpun sama sekali tak dikenal, Effi Zen cukup mampu menyuguhkan kualitas tontonan standar yang tak bagus namun tak remuk juga. Kelemahan paling menyolok, seperti film-film masa kini lainnya, kembali menjadi tanggung jawab screenplay alias skenario.
Tak ada cerita yang menggugah dan memberi inspirasi, tak ada konklusi, tak ada pesan moral, tak ada karakterisasi yang bernas, dan tak ada memorable quotes yang berharga kecuali “friends are sucks, but friends are forever”. Itupun mungkin diambil sang penulis skenario dari kartu-kartu ucapan buatan Hallmark!
Nah, kini tibalah kita pada pertanyaan puncak yang menentukan: siapa gerangan sang screenwriter “jempolan” tersebut? Yap, dia tak lain tak bukan adalah Angie, salah satu dari tiga pemeran utama film Virgin besutan Hanny R Saputra yang pernah menghebohkan dunia itu, selain Laudya Chyntia Bella dan Ardina Rasti. Ia melakukan ekspansi profesi dari aktris menuju penulis skenario.
Menurut penuturan Angie sebagaimana dikutip situs Indosinema, ia melakukan survey dan observasi selama enam bulan dalam penggarapan skenario Cewe Matrepolis. Namun melihat hasilnya, satu-satunya observasi yang dilakukan Angie pasti hanyalah sekadar menjalani kehidupan rutinnya sehari-hari.
Karena, sebagaimana yang selama ini kita lihat lewat acara-acara infotainment, lingkup kelas jet set para seleb selalu identik dengan uang, pendewaan harta, perselingkuhan, wanita simpanan laki-laki kaya, cinta yang terlalu mudah datang dan pergi, serta akhirnya… kematian!

(Dimuat di Suara Merdeka, Minggu 11 Juni 2006)

0 komentar:

Posting Komentar