(** out of *****)
Salah satu kenikmatan terbesar
yang kita dapatkan saat menonton film adalah kejutan. Kita menikmati
momen-momen ketika kita dikejutkan oleh karakter yang unik, plot yang ganjil,
cerita yang baru dan original, atau ending yang tidak terduga-duga. Ketika
sebuah film gagal membuat kita terkejut, maka gagal pula misi film tersebut
sebagai komoditas dagang.
Itulah yang dialami Heart, film teranyar besutan
sutradara Hanny R Saputra. Setelah tahun 2004 lalu ia membikin terkaget-kaget
semua orang lewat Virgin yang kontroversial itu, kali ini Hanny
seperti membuat antitesis dari prestasi terdahulunya sendiri. Heart sama sekali jauh dari kata
mengejutkan.
Hadir sebagai tokoh-tokoh utama
adalah tiga remaja bernama Rachel (Nirina Zubir), Farel (Irwansyah), dan Luna (Acha
Septriasa). Rachel dan Farel adalah sepasang sahabat sejak kecil. Ketika
dewasa, benih cinta mulai tumbuh, terutama di hati Rachel. Sayang, Farel justru
jatuh cinta pada gadis lain.
Cinta Farel itu adalah Luna,
seorang komikus yang baru saja merilis sebuah manga berjudul Heart. Hidup tenang Rachel
pun berakhir ketika Luna hadir. Ia berpura-pura mendukung Farel mendapatkan
Luna, padahal dalam hati ia hancur manakala menyadari cintanya bertepuk sebelah
tangan. Namun perjalanan cinta Farel ternyata sama sekali tak mudah.
Kesungguhannya diuji saat ia tahu Luna sebenarnya tengah sekarat oleh penyakit
pengerasan hati. Hidup Luna hanya tinggal menghitung hari, kecuali bila ia
dengan segera mendapatkan transplantasi hati.
Tepat pada saat ia dirawat di
rumah sakit, Rachel kebetulan juga tengah dirawat di rumah sakit, bahkan
ruangan, yang sama. Rachel mengalami luka serius di kaki kirinya gara-gara
terjatuh saat ia berlarian di hutan mati dekat kawah.
Mengapa ia berlari-lari di hutan
mati? Ternyata, ia baru saja melihat Farel berciuman dengan Luna di depan
matanya. Dalam keputusasaan, ia tak melihat cara lain untuk melampiaskan rasa
frustrasinya selain dengan berlari tak tentu arah. Tapi mengapa harus ke hutan
mati di tepian kawah? Hmm… pilihan yang menarik!
Yang jelas, luka Rachel demikian
parah sehingga sebelah kakinya harus diamputasi. Belakangan, ia tak hanya
terpaksa kehilangan kaki, namun juga nyawanya. Dan sebelum meninggal, ia
merelakan hatinya untuk dicangkokkan ke tubuh Luna. Dengan demikian ia bisa selamanya
bersama-sama dengan Farel karena Luna “membawa” hatinya.
Sejak awal, seluruh “rute” cerita Heart sudah ketahuan, karena baik Hanny
maupun skenario yang digarap Armantono tak menghadirkan satupun hal baru. Kisah
tentang sepasang sahabat sejak kecil yang mengalami konflik antara persahabatan
dan cinta gara-gara kehadiran pihak ketiga sudah berkali-kali kita dengar.
Film nasional juga sudah terlalu
kuyup dengan melodrama percintaan yang harus diselesaikan dengan kematian,
rumah sakit, serta adegan wajib ketika pintu ruang periksa terbuka dan keluarga
pasien bertanya dengan nada cemas, “Bagaimana, Dokter?”.
Dengan cara begini, Hanny pun
sama sekali tak tampak seperti seorang pekerja keras, karena ia hanya sekadar
menempel-nempelkan deretan hal-hal klise yang sudah terlalu akrab dengan kita
selama beberapa puluh tahun terakhir ini.
Ini masih diperparah dengan
karakterisasi yang sangat lemah. Baik Rachel, Farel, maupun Luna hadir tanpa
dibekali dengan background apapun. Amat tak jelas mereka berasal
dari golongan sosial apa, dari keluarga jenis apa, dan dengan aktivitas harian
yang seperti apa. Apakah mereka masih sekolah? Kuliah? Bekerja? Atau
pengangguran kaya raya?
Satu-satunya yang agak jelas
hanyalah Luna, yaitu bahwa ia seorang pengarang komik. Sayang ini pun tak
tergali maksimal. Kita sama sekali tak menyaksikan pergulatan kreatifnya
sebagai seorang komikus dalam menjelajahi kerasnya dunia penerbitan. Alih-alih
menggambar komik, Luna justru digambarkan tiap hari sibuk melukis dengan media
cat air.
Ketiadaan latar belakang karakter
yang memadai membuat baik Rachel, Farel, maupun Luna tidak nampak sebagai
tokoh-tokoh yang betul-betul eksis di dunia nyata. Mereka hanya sekadar
tokoh-tokoh dalam pita seluloid. Sekadar peranti yang diperlukan untuk
menggambarkan jalannya lakon yang disusun sang “dalang”.
Dan sungguh amat menjengkelkan
melihat sekumpulan anak muda yang 100% waktu dan energi mereka tersita hanya
untuk mengurusi persoalan cinta. Mungkin hidup mereka sudah amat sempurna,
sehingga mereka tak perlu khawatir lagi soal nilai-nilai ujian, harga bensin
yang melambung, atau ancaman letusan Gunung Merapi!
Gangguan juga datang dari begitu
banyak momen yang di-set up khusus
hanya untuk memancing reaksi dan emosi penonton, namun sama sekali kehilangan
“kontak” dengan kewajaran dunia keseharian kita masing-masing.Acara lunch
romantis di tepi kawah diiringi sajian trio musisi live sekilas terkesan cantik dan berkelas.
Tapi memikirkan bagaimana cara menyiapkan acara seperti itu pasti akan membuat
kita capek duluan. Anda boleh mencobanya dengan mencari jasa angkutan mana yang
bersedia mengangkut satu meja makan, dua kursi, dan seperangkat makanan beserta
perlengkapannya ke kawah Tangkuban Perahu, Semeru, atau Dieng hanya dalam
rangka untuk memikat perhatian seorang gadis!
Bicara soal akting, rasanya tak
ada apapun yang pantas dikemukakan dalam keseluruhan durasi Heart. Pertama,
baik Nirina, Irwansyah, maupun Acha Septriasa memang sama sekali bukan aktris
dan aktor watak sejati, jadi wajar jika mereka pun hanya sekadar sanggup untuk
menghafal naskah dan meneteskan air mata.
Sedang yang kedua, dangkalnya
penggambaran karakter yang dihadirkan oleh skenario tidak memungkinkan mereka
bertiga memasuki “teritori” watak apapun. Akibatnya, Nirina hanya mampu memberi
gambaran tokoh cewek tomboi cukup dengan rambut pendek, baju kasual, atau
kegemaran main basket, dan bukan dengan sesuatu yang lebih inner, macam impian, harapan,
pendapat, atau prinsip-prinsip hidup.
Satu hal yang patut dicatat
adalah bahwa, meski takkan ada yang meragukan kecantikan Acha, namun aktris
pendatang baru ini sama sekali tidak memiliki senyuman dan tawa yang menarik.
Tiap kali tersenyum atau tertawa, ia selalu tampak seperti tengah menyeringai
menahan sakit.
Dalam perannya sebagai Luna yang
sekarat karena penyakit parah, kekurangannya itu justru membantu. Tapi
bagaimana jika kelak ia berperan sebagai remaja yang periang dan jenaka atau
putri presiden yang arogan dan harus selalu jaga image dengan senyuman manis?
Pada akhirnya, Heart mirip sebuah biro travel yang
menawarkan paket perjalanan wisata ke terminal bus. Selain karena semua orang
pasti pernah ke sana, bagaimana mungkin tempat semacam itu bisa disebut sebagai
sebuah lokasi wisata?
(Dimuat di Suara Merdeka, Minggu 14 Mei
2006)
0 komentar:
Posting Komentar