scribo ergo sum

Minggu, 14 Mei 2006

Wisata ke Terminal

13:16 Posted by wiwien wintarto No comments

(** out of *****)

Salah satu kenikmatan terbesar yang kita dapatkan saat menonton film adalah kejutan. Kita menikmati momen-momen ketika kita dikejutkan oleh karakter yang unik, plot yang ganjil, cerita yang baru dan original, atau ending yang tidak terduga-duga. Ketika sebuah film gagal membuat kita terkejut, maka gagal pula misi film tersebut sebagai komoditas dagang.
Itulah yang dialami Heart, film teranyar besutan sutradara Hanny R Saputra. Setelah tahun 2004 lalu ia membikin terkaget-kaget semua orang lewat Virgin yang kontroversial itu, kali ini Hanny seperti membuat antitesis dari prestasi terdahulunya sendiri. Heart sama sekali jauh dari kata mengejutkan.

Hadir sebagai tokoh-tokoh utama adalah tiga remaja bernama Rachel (Nirina Zubir), Farel (Irwansyah), dan Luna (Acha Septriasa). Rachel dan Farel adalah sepasang sahabat sejak kecil. Ketika dewasa, benih cinta mulai tumbuh, terutama di hati Rachel. Sayang, Farel justru jatuh cinta pada gadis lain.
Cinta Farel itu adalah Luna, seorang komikus yang baru saja merilis sebuah manga berjudul Heart. Hidup tenang Rachel pun berakhir ketika Luna hadir. Ia berpura-pura mendukung Farel mendapatkan Luna, padahal dalam hati ia hancur manakala menyadari cintanya bertepuk sebelah tangan. Namun perjalanan cinta Farel ternyata sama sekali tak mudah. Kesungguhannya diuji saat ia tahu Luna sebenarnya tengah sekarat oleh penyakit pengerasan hati. Hidup Luna hanya tinggal menghitung hari, kecuali bila ia dengan segera mendapatkan transplantasi hati.
Tepat pada saat ia dirawat di rumah sakit, Rachel kebetulan juga tengah dirawat di rumah sakit, bahkan ruangan, yang sama. Rachel mengalami luka serius di kaki kirinya gara-gara terjatuh saat ia berlarian di hutan mati dekat kawah.
Mengapa ia berlari-lari di hutan mati? Ternyata, ia baru saja melihat Farel berciuman dengan Luna di depan matanya. Dalam keputusasaan, ia tak melihat cara lain untuk melampiaskan rasa frustrasinya selain dengan berlari tak tentu arah. Tapi mengapa harus ke hutan mati di tepian kawah? Hmm… pilihan yang menarik!
Yang jelas, luka Rachel demikian parah sehingga sebelah kakinya harus diamputasi. Belakangan, ia tak hanya terpaksa kehilangan kaki, namun juga nyawanya. Dan sebelum meninggal, ia merelakan hatinya untuk dicangkokkan ke tubuh Luna. Dengan demikian ia bisa selamanya bersama-sama dengan Farel karena Luna “membawa” hatinya.
Sejak awal, seluruh “rute” cerita Heart sudah ketahuan, karena baik Hanny maupun skenario yang digarap Armantono tak menghadirkan satupun hal baru. Kisah tentang sepasang sahabat sejak kecil yang mengalami konflik antara persahabatan dan cinta gara-gara kehadiran pihak ketiga sudah berkali-kali kita dengar.
Film nasional juga sudah terlalu kuyup dengan melodrama percintaan yang harus diselesaikan dengan kematian, rumah sakit, serta adegan wajib ketika pintu ruang periksa terbuka dan keluarga pasien bertanya dengan nada cemas, “Bagaimana, Dokter?”.
Dengan cara begini, Hanny pun sama sekali tak tampak seperti seorang pekerja keras, karena ia hanya sekadar menempel-nempelkan deretan hal-hal klise yang sudah terlalu akrab dengan kita selama beberapa puluh tahun terakhir ini.
Ini masih diperparah dengan karakterisasi yang sangat lemah. Baik Rachel, Farel, maupun Luna hadir tanpa dibekali dengan background apapun. Amat tak jelas mereka berasal dari golongan sosial apa, dari keluarga jenis apa, dan dengan aktivitas harian yang seperti apa. Apakah mereka masih sekolah? Kuliah? Bekerja? Atau pengangguran kaya raya?
Satu-satunya yang agak jelas hanyalah Luna, yaitu bahwa ia seorang pengarang komik. Sayang ini pun tak tergali maksimal. Kita sama sekali tak menyaksikan pergulatan kreatifnya sebagai seorang komikus dalam menjelajahi kerasnya dunia penerbitan. Alih-alih menggambar komik, Luna justru digambarkan tiap hari sibuk melukis dengan media cat air.
Ketiadaan latar belakang karakter yang memadai membuat baik Rachel, Farel, maupun Luna tidak nampak sebagai tokoh-tokoh yang betul-betul eksis di dunia nyata. Mereka hanya sekadar tokoh-tokoh dalam pita seluloid. Sekadar peranti yang diperlukan untuk menggambarkan jalannya lakon yang disusun sang “dalang”.
Dan sungguh amat menjengkelkan melihat sekumpulan anak muda yang 100% waktu dan energi mereka tersita hanya untuk mengurusi persoalan cinta. Mungkin hidup mereka sudah amat sempurna, sehingga mereka tak perlu khawatir lagi soal nilai-nilai ujian, harga bensin yang melambung, atau ancaman letusan Gunung Merapi!
Gangguan juga datang dari begitu banyak momen yang di-set up khusus hanya untuk memancing reaksi dan emosi penonton, namun sama sekali kehilangan “kontak” dengan kewajaran dunia keseharian kita masing-masing.Acara lunch romantis di tepi kawah diiringi sajian trio musisi live sekilas terkesan cantik dan berkelas. Tapi memikirkan bagaimana cara menyiapkan acara seperti itu pasti akan membuat kita capek duluan. Anda boleh mencobanya dengan mencari jasa angkutan mana yang bersedia mengangkut satu meja makan, dua kursi, dan seperangkat makanan beserta perlengkapannya ke kawah Tangkuban Perahu, Semeru, atau Dieng hanya dalam rangka untuk memikat perhatian seorang gadis!
Bicara soal akting, rasanya tak ada apapun yang pantas dikemukakan dalam keseluruhan durasi Heart. Pertama, baik Nirina, Irwansyah, maupun Acha Septriasa memang sama sekali bukan aktris dan aktor watak sejati, jadi wajar jika mereka pun hanya sekadar sanggup untuk menghafal naskah dan meneteskan air mata.
Sedang yang kedua, dangkalnya penggambaran karakter yang dihadirkan oleh skenario tidak memungkinkan mereka bertiga memasuki “teritori” watak apapun. Akibatnya, Nirina hanya mampu memberi gambaran tokoh cewek tomboi cukup dengan rambut pendek, baju kasual, atau kegemaran main basket, dan bukan dengan sesuatu yang lebih inner, macam impian, harapan, pendapat, atau prinsip-prinsip hidup.
Satu hal yang patut dicatat adalah bahwa, meski takkan ada yang meragukan kecantikan Acha, namun aktris pendatang baru ini sama sekali tidak memiliki senyuman dan tawa yang menarik. Tiap kali tersenyum atau tertawa, ia selalu tampak seperti tengah menyeringai menahan sakit.
Dalam perannya sebagai Luna yang sekarat karena penyakit parah, kekurangannya itu justru membantu. Tapi bagaimana jika kelak ia berperan sebagai remaja yang periang dan jenaka atau putri presiden yang arogan dan harus selalu jaga image dengan senyuman manis?
Pada akhirnya, Heart mirip sebuah biro travel yang menawarkan paket perjalanan wisata ke terminal bus. Selain karena semua orang pasti pernah ke sana, bagaimana mungkin tempat semacam itu bisa disebut sebagai sebuah lokasi wisata?


(Dimuat di Suara Merdeka, Minggu 14 Mei 2006)

0 komentar:

Posting Komentar