(** out
of *****)
Ketika terjadi kecelakaan pesawat, kapal laut, atau kereta
api yang menelan puluhan korban jiwa, penyelidikan aparat berwenang sering
menyimpulkan satu hal, yaitu human
error. Sayang, kesimpulan serupa jarang dialamatkan ke film-film buruk
produksi sineas lokal yang belakangan ini beredar di bioskop-bioskop kita.
Sebab, ketika sebuah film mengandung begitu banyak
kekeliruan yang membuatnya amat nggak nyaman untuk dilihat, kita tentu tidak
bisa menyalahkan cuaca buruk atau lampu pengatur lalu lintas yang tidak
berfungsi. Semua pada akhirnya akan dan harus kembali ke faktor manusia.
Ekskul: Sebuah Ekstrakurikuler adalah sebuah film yang bisa membikin padat dan panjang
halaman goofs (kesalahan-kesalahan) bila kelak akan
dipublikasikan melalui website IMDb (International Movie Database).
Begitu banyak kekeliruan yang hadir sehingga penonton akan jauh lebih asyik
mencatat satu demi satu kesalahan yang muncul daripada niat semula membayar Rp
20 ribu untuk mendapatkan hiburan segar.
Ekskul mengenalkan
kita pada tokoh utamanya, Joshua, seorang remaja bermasalah yang satu-satunya
alasan keberadaannya di dunia fana ini hanyalah untuk dijadikan bulan-bulanan
orang lain, terutama teman-teman sekolah dan kedua orang tuanya. Tokoh ini
dimainkan oleh aktor muda berwajah imut, Ramon Y Tungka.
Film dibuka dengan adegan penyanderaan yang dilakukan
Joshua di kantor BP sekolahnya. Ia menyandera semua teman yang pernah menindas,
menghina, dan melecehkannya. Berbekal sepucuk pistol dengan sebutir peluru, ia
menyekap mereka sejak pukul 15.47 WIB sampai malam hari hanya untuk membalas
dendam dan menunjukkan bahwa ia bisa berbalik jadi penindas.
Lewat adegan-adegan flashback,
penonton diberi tahu kejadian-kejadian apa saja yang telah membuat Joshua
sedemikian penuh dengan amarah dan dendam kesumat. Ia menjadi sansak hidup
anak-anak klub basket, menerima sikap serba sinis dari ibunya, ditinju ayahnya,
dan ditertawakan anak-anak lain karena dianggap sakit.
Dengan hati dipenuhi dendam, ia kemudian membeli sepucuk
pistol dari seorang pedagang senjata gelap dengan harga tak sampai Rp 2 juta.
Kemudian, ia menggiring satu-persatu korbannya ke kantor BP dengan memalsukan
surat panggilan dari guru BP. Di situlah ia lantas menyandera mereka semua
bukan untuk meminta suatu tuntutan tertentu sebagaimana lazimnya sebuah tragedi
penyanderaan, melainkan hanya untuk menunjukkan betapa kini ia bisa sangat
berkuasa.
Pihak kepolisian pun dibikin gempar oleh kejadian yang
sangat spektakuler ini. Dipimpin oleh Kapten Margono yang diperankan oleh Indra
Brasco, polisi mencoba mengakhiri insiden tersebut. Salah satu upaya mereka
adalah dengan membuat markas darurat di sekolah Joshua dengan dinding yang
terbuat dari plastik transparan!
Kesalahan paling fatal yang dimiliki Ekskul adalah penyebutan pangkat komandan
polisi Margono. Kita jadi berkesimpulan, ia mungkin seorang perwira marinir
atau Kopassus yang untuk sementara ditugaskan di kepolisian. Atau, para kru Ekskul tidak pernah membaca koran dan
menonton acara-acara kriminal di TV sehingga sama sekali tidak tahu bahwa
pangkat kapten dalam dinas kepolisian negara kita telah berganti menjadi ajun
komisaris polisi sejak kira-kira enam tahun terakhir ini.
Goof lain berada
pada judul. Menonton sebuah film berjudul Ekskul yang keseluruhan durasinya berkisah
tentang drama penyanderaan adalah seperti datang ke stadion Jatidiri dan
menyaksikan para pemain PSIS menyanyi, bukannya bermain sepak bola!
Ekskul dibesut oleh
sutradara Nayato. Ia biasa muncul dengan nama lain Yato Fionuala atau Koya
Pagayo. Sebagaimana karya-karyanya terdahulu sejak pertama kali dikenal lewat
sinetron serial Pondok Indah
2 sekitar satu dekade lain, Ekskul juga miskin dengan cahaya terang.
Nayato memang dikenal dengan ciri khasnya untuk bermain
dengan cahaya seminimal mungkin dalam semua film dan sinetron besutannya.
Cahaya hanya diarahkan dari satu sudut dalam tiap adegan. Bisa dari atas,
bawah, samping kanan, atau samping kiri. Dan hasilnya adalah efek yang
mengesankan saat permainan cahaya itu berpadu dengan tekstur wajah para aktor
dan aktris.
Sayang, dalam Ekskul,
permainan yang menarik itu hanya sekadar mengambang di permukaan dan tak pernah
menjelma menjadi sesuatu yang lebih substansial. Penyebabnya sangat sepele,
yaitu tak ada urgensi yang jelas ditilik dari kondisi cuaca, keadaan ruangan
dan pencahayaannya, serta dengan konteks ceritanya, mengapa semua adegan harus
dibuat remang-remang gelap seperti itu.
Jika cerita Ekskul terjadi di pedesaan yang belum
terjamah PLN atau mengambil setting waktu zaman Kerajaan Majapahit ketika
pabrik lampu neon masih belum beroperasi, elemen permainan cahaya itu akan
menjadi realistis.
Sedang dalam Ekskul,
Nayato seperti membuat seluruh dunia mati lampu atau tahu-tahu pemerintah
menerapkan aturan baru bahwa satu ruangan hanya boleh diterangi satu lampu
berkekuatan maksimal 15 watt demi penghematan energi!
Substansi juga tak menyentuh logika yang dipakai Joshua
sehingga ia memutuskan untuk melakukan penyanderaan tersebut. Kita tahu, di
dunia nyata terdapat banyak anak tertindas yang jadi bahan permainan
teman-teman sekolahnya. Fakta bahwa hingga kini belum juga ada salah satu dari
mereka yang membalas dendam dengan cara menyandera para penindas membuat label
“Diilhami dari kejadian nyata” yang dipajang di poster Ekskul membuat film ini kehilangan seluruh
legitimasi logisnya.
Jika lokasi cerita dipindah dari SMA ke kampus bermasalah
seperti STPDN tempat para penghuninya melakukan penindasan secara fisik dengan
alasan senioritas, ledakan kemarahan Joshua sangat bisa dipahami. Namun itupun
lebih mungkin akan dilakukan dengan pembalasan dendam pribadi, bukan dengan
penyanderaan yang sangat high
profile sampai-sampai
diliput pula oleh Alvin Adam dan acara Showbiz
Today!
Kalau ada satu pujian yang patut dilayangkan ke Nayato, itu
adalah keberaniannya menampilkan elemen baru berupa kisah penyanderaan ke pita
seluloid film nasional. Sayang kebaruan itu tidak dibarengi dengan craftmanship yang memadai, sehingga kita pun tidak
memperoleh manfaat apapun menerimanya.
Dalam salah satu adegan klimaks, saat menumpahkan semua isi
hatinya kepada kedua orang tuanya, Joshua berkata, “Selalu ada yang salah.
Tidak pernah ada yang benar”. Ia dengan tepat mampu mengungkapkan keseluruhan
intisari kualitas film ini. Dialog yang sangat brilian!
(Dimuat di Suara
Merdeka, Minggu 21 Mei 2006)
0 komentar:
Posting Komentar