scribo ergo sum

Minggu, 21 Mei 2006

Selalu Ada yang Salah

13:20 Posted by wiwien wintarto No comments

(** out of *****)

Ketika terjadi kecelakaan pesawat, kapal laut, atau kereta api yang menelan puluhan korban jiwa, penyelidikan aparat berwenang sering menyimpulkan satu hal, yaitu human error. Sayang, kesimpulan serupa jarang dialamatkan ke film-film buruk produksi sineas lokal yang belakangan ini beredar di bioskop-bioskop kita.
Sebab, ketika sebuah film mengandung begitu banyak kekeliruan yang membuatnya amat nggak nyaman untuk dilihat, kita tentu tidak bisa menyalahkan cuaca buruk atau lampu pengatur lalu lintas yang tidak berfungsi. Semua pada akhirnya akan dan harus kembali ke faktor manusia.

Ekskul: Sebuah Ekstrakurikuler adalah sebuah film yang bisa membikin padat dan panjang halaman goofs (kesalahan-kesalahan) bila kelak akan dipublikasikan melalui website IMDb (International Movie Database). Begitu banyak kekeliruan yang hadir sehingga penonton akan jauh lebih asyik mencatat satu demi satu kesalahan yang muncul daripada niat semula membayar Rp 20 ribu untuk mendapatkan hiburan segar.
Ekskul mengenalkan kita pada tokoh utamanya, Joshua, seorang remaja bermasalah yang satu-satunya alasan keberadaannya di dunia fana ini hanyalah untuk dijadikan bulan-bulanan orang lain, terutama teman-teman sekolah dan kedua orang tuanya. Tokoh ini dimainkan oleh aktor muda berwajah imut, Ramon Y Tungka.
Film dibuka dengan adegan penyanderaan yang dilakukan Joshua di kantor BP sekolahnya. Ia menyandera semua teman yang pernah menindas, menghina, dan melecehkannya. Berbekal sepucuk pistol dengan sebutir peluru, ia menyekap mereka sejak pukul 15.47 WIB sampai malam hari hanya untuk membalas dendam dan menunjukkan bahwa ia bisa berbalik jadi penindas.
Lewat adegan-adegan flashback, penonton diberi tahu kejadian-kejadian apa saja yang telah membuat Joshua sedemikian penuh dengan amarah dan dendam kesumat. Ia menjadi sansak hidup anak-anak klub basket, menerima sikap serba sinis dari ibunya, ditinju ayahnya, dan ditertawakan anak-anak lain karena dianggap sakit.
Dengan hati dipenuhi dendam, ia kemudian membeli sepucuk pistol dari seorang pedagang senjata gelap dengan harga tak sampai Rp 2 juta. Kemudian, ia menggiring satu-persatu korbannya ke kantor BP dengan memalsukan surat panggilan dari guru BP. Di situlah ia lantas menyandera mereka semua bukan untuk meminta suatu tuntutan tertentu sebagaimana lazimnya sebuah tragedi penyanderaan, melainkan hanya untuk menunjukkan betapa kini ia bisa sangat berkuasa.
Pihak kepolisian pun dibikin gempar oleh kejadian yang sangat spektakuler ini. Dipimpin oleh Kapten Margono yang diperankan oleh Indra Brasco, polisi mencoba mengakhiri insiden tersebut. Salah satu upaya mereka adalah dengan membuat markas darurat di sekolah Joshua dengan dinding yang terbuat dari plastik transparan!
Kesalahan paling fatal yang dimiliki Ekskul adalah penyebutan pangkat komandan polisi Margono. Kita jadi berkesimpulan, ia mungkin seorang perwira marinir atau Kopassus yang untuk sementara ditugaskan di kepolisian. Atau, para kru Ekskul tidak pernah membaca koran dan menonton acara-acara kriminal di TV sehingga sama sekali tidak tahu bahwa pangkat kapten dalam dinas kepolisian negara kita telah berganti menjadi ajun komisaris polisi sejak kira-kira enam tahun terakhir ini.
Goof lain berada pada judul. Menonton sebuah film berjudul Ekskul yang keseluruhan durasinya berkisah tentang drama penyanderaan adalah seperti datang ke stadion Jatidiri dan menyaksikan para pemain PSIS menyanyi, bukannya bermain sepak bola!
Ekskul dibesut oleh sutradara Nayato. Ia biasa muncul dengan nama lain Yato Fionuala atau Koya Pagayo. Sebagaimana karya-karyanya terdahulu sejak pertama kali dikenal lewat sinetron serial Pondok Indah 2 sekitar satu dekade lain, Ekskul juga miskin dengan cahaya terang.
Nayato memang dikenal dengan ciri khasnya untuk bermain dengan cahaya seminimal mungkin dalam semua film dan sinetron besutannya. Cahaya hanya diarahkan dari satu sudut dalam tiap adegan. Bisa dari atas, bawah, samping kanan, atau samping kiri. Dan hasilnya adalah efek yang mengesankan saat permainan cahaya itu berpadu dengan tekstur wajah para aktor dan aktris.
Sayang, dalam Ekskul, permainan yang menarik itu hanya sekadar mengambang di permukaan dan tak pernah menjelma menjadi sesuatu yang lebih substansial. Penyebabnya sangat sepele, yaitu tak ada urgensi yang jelas ditilik dari kondisi cuaca, keadaan ruangan dan pencahayaannya, serta dengan konteks ceritanya, mengapa semua adegan harus dibuat remang-remang gelap seperti itu.
Jika cerita Ekskul terjadi di pedesaan yang belum terjamah PLN atau mengambil setting waktu zaman Kerajaan Majapahit ketika pabrik lampu neon masih belum beroperasi, elemen permainan cahaya itu akan menjadi realistis.
Sedang dalam Ekskul, Nayato seperti membuat seluruh dunia mati lampu atau tahu-tahu pemerintah menerapkan aturan baru bahwa satu ruangan hanya boleh diterangi satu lampu berkekuatan maksimal 15 watt demi penghematan energi!
Substansi juga tak menyentuh logika yang dipakai Joshua sehingga ia memutuskan untuk melakukan penyanderaan tersebut. Kita tahu, di dunia nyata terdapat banyak anak tertindas yang jadi bahan permainan teman-teman sekolahnya. Fakta bahwa hingga kini belum juga ada salah satu dari mereka yang membalas dendam dengan cara menyandera para penindas membuat label “Diilhami dari kejadian nyata” yang dipajang di poster Ekskul membuat film ini kehilangan seluruh legitimasi logisnya.
Jika lokasi cerita dipindah dari SMA ke kampus bermasalah seperti STPDN tempat para penghuninya melakukan penindasan secara fisik dengan alasan senioritas, ledakan kemarahan Joshua sangat bisa dipahami. Namun itupun lebih mungkin akan dilakukan dengan pembalasan dendam pribadi, bukan dengan penyanderaan yang sangat high profile sampai-sampai diliput pula oleh Alvin Adam dan acara Showbiz Today!
Kalau ada satu pujian yang patut dilayangkan ke Nayato, itu adalah keberaniannya menampilkan elemen baru berupa kisah penyanderaan ke pita seluloid film nasional. Sayang kebaruan itu tidak dibarengi dengan craftmanship yang memadai, sehingga kita pun tidak memperoleh manfaat apapun menerimanya.
Dalam salah satu adegan klimaks, saat menumpahkan semua isi hatinya kepada kedua orang tuanya, Joshua berkata, “Selalu ada yang salah. Tidak pernah ada yang benar”. Ia dengan tepat mampu mengungkapkan keseluruhan intisari kualitas film ini. Dialog yang sangat brilian!


(Dimuat di Suara Merdeka, Minggu 21 Mei 2006)

0 komentar:

Posting Komentar