Beberapa bulan terakhir ini, kita orang Indonesia sibuk bertengkar tentang satu hal: RUU Antipornografi & Pornoaksi. Kalangan rohaniwan dan kaum puritan mendukung RUU, biar segera diberlakukan menjadi UU. Sedang kalangan seniman dan kaum liberal/moderat menentang upaya itu.
Dalam kondisi kayak gini ini, menarik untuk diamati mana yang berdiri sebagai golongan protagonis dan mana yang antagonis. Mana yang Good, mana yang Evil. Mana yang berdiri di jalan yang lurus, dan mana yang sesat.
Dengan berbagai alasan dan pertimbangan, kaum pro-RUU pastilah merasa mereka yang jadi protagonis dalam cerita ini. Well, alasannya jelas banget. Cetha mela-mela, kata orang Jawa. Mereka adalah orang yang religius, ingin menegakkan kebenaran & keadilan, berlandaskan ayat-ayat Al Qur’an, dan tengah berjuang memberantas kemaksiatan yang berujud pornografi dan pornoaksi.
Di mata mereka, golongan anti-RUU adalah manusia-manusia sesat terkutuk yang harus dicambuk agar “sadar dan kembali ke jalan yang benar”. Orang-orang ini telah terkena virus Amrik yang menghalalkan kemaksiatan. Mereka telah menjadi insan-insan kotor yang bangga dengan sekulerisme.
Cocok? Oke. So far so good. Tapi kemudian, bukti demi bukti bermunculan yang membuat klasifikasi protagonis-antagonis itu jadi membingungkan.
Pertama, massa FPI mengamuk membabibuta merusak kantor redaksi Playboy. Ganas. Telengas. Penuh amarah. Jika dikasih seragam biru-biru, oranye-oranye, atau merah-merah lengkap dengan logo Liga Djarum, mereka sama rendah dengan suporter bola yang mengamuk di jalanan karena tim mereka keok.
Para fans FPI mentolerir aksi maut itu dengan mengatakan bahwa “polisi nggak berdaya membasmi pornografi” atau alasan yang sangat luhur: “masyarakat yang sesat harus disadarkan”. But, violence is violence. Dari situ juga asalnya mengapa Amrozi dan Imam Samudra merakit bom.
Kalau aksi FPI terus-menerus dibenarkan, lama-lama mereka pasti akan menempuh cara-cara yang kian lama juga kian keras dan beringas. Dari hanya sekadar ngamuk mecahi jendela, mereka akan mempelajari skill baru yang lebih dahsyat, seperti yang dipelajari Azahari, Noordin Top, dan kawan-kawannya yang agak nggak beres itu. Mirip lirik lagunya Manic Street Preacher, “If you tolerate this, then your children will be next…”
Bukti kedua, Forum Betawi Rempug me-rempug rumah mewah Inul dengan wajah-wajah sangar dan buas. Pasalnya, Inul ketahuan ikut aksi para seniman menentang RUU APP. Dengan arogan mereka mengancam akan mengusir Inul dari Betawi jika dia nggak minta maaf dan menarik dukungannya terhadap gerakan anti-RUU. Mereka bilang, Betawi adalah milik mereka, dan mereka nggak mau “properti” mereka itu dikotori makhluk sesat kayak Inul.
Dan bukti ketiga, persis setelah Rieke Dyah Pitaloka mengikuti aksi yang sama dengan Inul, ia segera saja menerima serentetan ancaman, intimidasi, dan teror dari para anggota golongan pro-RUU.
So, aku pun termenung dan berkontemplasi. Protagonis kok gitu? Protagonis kok merusak, mengamuk, mengancam, mengintimidasi, dan menteror? Bukankah itu cara-cara tentara VOC, kolonial Hindia-Belanda, dan NICA dulu itu menghabisi “antagonis” mereka, yaitu pejuang-pejuang bangsa kita?
Bukankah perusakan, amukan, ancaman, intimidasi, dan teror itu masuk KUHP semua? Bukankah pelanggar pasal-pasal KUHP kita sebut dengan istilah penjahat dan biasanya ditayangkan sebagai “tokoh utama” di Patroli, Buser, atau Lacak? Bagaimana mungkin upaya penegakan RUU dilakukan dengan melanggar KUHP? Dan bagaimana bisa tugas mulia berupa “menegakkan kebenaran & keadilan” diemban orang-orang yang melanggar KUHP?
Sejauh yang aku tahu sih, kaum antagonis anti-RUU nggak pernah melakukan perbuatan-perbuatan serupa, atau balas melakukan hal yang sama beringas. Paling jauh mereka cuman menyatakan sikap. Demo, bagi-bagi bunga, menggelar diskusi panel, happening art, atau konser. Tapi mereka nggak pernah memaksakan pendapat mereka pada orang lain, atau memaksa orang lain agar setuju pada pendapat mereka.
Belum pernah ada sejarahnya Rieke, Inul, dkk mengorganisir ribuan massa untuk gantian mengamuk dan merusak markas FPI dan FBR. Belum pernah ada sejarahnya para seniman mengepung rumah Habib Riziq dan mengancam akan mengusir doi dari Jakarta kalau nggak menarik dukungannya terhadap RUU APP. Belum pernah ada sejarahnya para artis mengirim SMS bernada teror kepada para pentolan FBR.
Nah, nah, lantas mana yang protagonis dan mana yang antagonis kalau gitu? Membingukan, bukan? Tapi dari sini udah kelihatan jelas, terlepas dari apa yang masing-masing pihak tengah perjuangkan, terpampang terang pihak mana yang punya kondisi mental lebih sehat.
Pihak mana yang di rumahnya menerima asupan gizi dan nutrisi yang lebih baik. Pihak mana yang sudah menghayati dengan baik kemampuan untuk bertoleransi dan menerima perbedaan pendapat. Dan… eh, bukankah agama Islam mengajarkan bahwa “perbedaan adalah rahmat”? Tapi kok justru kaum yang selalu menenteng-nenteng atribut Islam itu tahu-tahu ngamuk pada orang yang nggak sependapat dengan mereka?
Lalu, siapa sebenarnya yang lebih beragama di sini? Hmm… bingung lagi, bingung lagi.
Yang jelas aku nggak percaya dan nggak bakalan mengikuti jalan orang-orang yang bermental nggak sehat, apapun baju yang mereka kenakan. Negara nggak sehat, dipegang orang-orang nggak sehat… WAAAAAA…!!!
0 komentar:
Posting Komentar