scribo ergo sum

Minggu, 28 Mei 2006

Mosaik Hantu "Lentera Merah"

13:24 Posted by wiwien wintarto No comments

(** out of *****)

Di dunia fana ini, tidak ada yang lebih buruk ketimbang sebuah film romance yang tidak bikin kita melankolis, film komedi yang tidak membuat kita tertawa, dan film horor yang tidak menakutkan. Ketika ini terjadi, kita semua berhak untuk meninggalkan gedung bioskop jauh sebelum pertunjukan berakhir.
Lentera Merah (LM) besutan sutradara terbaik FFI 2005, Hanung Bramantyo, masuk ke dalam daftar itu. Sebagai sebuah film horor, ia gagal menakut-nakuti penonton karena gagal pula memberi unsur terpenting yang harus ada dalam sebuah film horor, yaitu kejutan. Bukan sembarang kejutan, melainkan kejutan yang orisinal dan baru.

LM sendiri adalah nama majalah kampus Universitas Nasional Indonesia (UNI). Majalah tersebut mempunyai tulisan-tulisan yang tajam dan kritis dalam menyikapi kondisi terkini, baik intern kampus UNI maupun pemerintahan negara. Tak hanya itu, LM juga merupakan salah satu media penggerak kemerdekaan Indonesia.
Di lingkup kampus UNI, LM merupakan UKM yang paling eksklusif dan prestisius. Bisa menjadi personel LM dianggap sebagai suatu kebanggaan tersendiri bagi para mahasiswa UNI. Tak heran proses seleksi untuk masuk menjadi bagian LM sama ketat dengan rangkaian eliminasi di AFI ataupun Indonesian Idol. Ada babak pendahuluan, babak 10 besar, dan terakhir babak 5 besar sebagai Grand Final.
Terpilih masuk 5 besar seleksi anggota baru untuk kru redaksi LM tahun 2006 yang merupakan angkatan ke-50 adalah Risa (Laudya Chyntia Bella), Riki (Tesadesrada Ryza), Lia (Beauty Oehmke), Muti (Auxilia Paramitha), dan Yoga (Zaenal Arifin). Sebelum resmi dilantik menjadi kru LM, mereka berlima harus menjalani tradisi malam inisiasi yang dinamai Malam Lentera.
Proses rekrutmen angkatan ke-50 dipimpin oleh Pemimpin Redaksi LM Iqbal Abdinegara (Dimas Beck). Ia dikawal oleh wapemred Wulandari (Firrina), dua editor senior Dinda (Kartika Indah Pelapory) dan Rio (Fikri Ramadhan), serta dua editor foto Bayu (Saputra) dan Arif (Teuku Wisnu).
Sejak jauh-jauh hari sebelum Malam Lentera berlangsung, rangkaian seleksi angkatan ke-50 telah diganggu oleh kemunculan makhluk misterius yang selalu menenteng-nenteng lentera berwarna merah ke mana-mana. Kemunculannya selalu diiringi alunan lagu Dewi Puspa dari piringan hitam. Dan setiap kali ia muncul, korban jiwa selalu jatuh.
Korban pertama adalah Bayu. Ia mati misterius di kantor LM. Sesudah itu menyusul Wulan, yang gantung diri di perpustakaan sesudah diskors dari jabatan wapemred karena tulisannya yang ternyata menjiplak tulisan lain ketahuan oleh Risa. Kemudian, satu demi satu nyawa kru senior melayang dibantai hantu yang sama pada pelaksanaan Malam Lentera.
Pada setiap peristiwa pembunuhan, sang hantu selalu meninggalkan tanda berupa angka "65" dan juga kalimat “Kebenaran harus ditegakkan” yang tak lain adalah motto LM. Kelima calon “akademia” yang tengah menjalani malam inisiasi mencoba membongkar misteri itu. Dan ketika berbekal petunjuk angka 65 mereka membuka file kru LM dari tahun 1965, mereka menemukan sesuatu yang sangat mengejutkan.
Salah seorang di antara mereka ternyata bukan manusia. Dialah sang hantu pembawa lentera, mahasiswa UNI angkatan tahun 1965 yang mati dibunuh karena dianggap prokomunis. Ia muncul kembali 41 tahun kemudian untuk membalas dendam pada seluruh kru LM persis saat Malam Lentera diadakan pada tanggal 20 Juni 2006. Siapakah dia? Tentu saja tidak akan diungkap di sini agar setidak-tidaknya masih ada satu daya tarik LM yang membuatnya masih tetap berharga untuk ditonton.
Kegagalan Hanung lewat LM berada pada ketidakmampuannya menyuguhkan kebaruan dan orisinalitas. Benar bahwa sebagian penonton menjerit ketakutan saat sang hantu pembawa lentera keluar menebar ancaman. Namun momen-momen itu tidak benar-benar menakutkan karena kita pernah melihat semuanya pada suatu waktu dulu.
Bentuk-bentuk penampakan lelembut dalam LM lebih mirip mosaik dari film-film horor terdahulu yang pernah ada. Ada hantu melintas (baik di latar depan maupun belakang) dan suster kesot dari Tusuk Jelangkung, ada hantu berambut panjang dari The Ring, dan adegan tangan setan saat Dinda terbunuh jelas-jelas sekali bakal mengingatkan kita pada film Idle Hand.
Karena semuanya bukan barang baru, Hanung pun sama sekali gagal membuat kita ketakutan. Fakta bahwa salah seorang dari kelima peserta Malam Lentera ternyata hantu tak berhasil pula menyentak, karena skenario yang disusun Hanung bersama Retna Ginatri secara aneh justru malah membelokkan fokus perhatian penonton tepat di titik klimaks yang seharusnya menentukan.
Sejak awal, tanda tanya yang melekat di benak kita diarahkan pada proses inisiasi yang disebut Malam Lentera tersebut. Ini terjadi lantaran event itu disebut-sebut dengan penuh emosi, ketegangan, dan penghormatan. Kita pun mengira, semua misteri yang menyelubungi LM bersumber pada Malam Lentera. Mungkin Malam Lentera adalah sebuah malam inisiasi yang kejam, penuh darah, atau berkaitan dengan aliran-aliran sesat yang memakan korban jiwa dan kemudian memicu pembalasan dendam dari dunia lain.
Ternyata, malam tersebut hanya berisi permainan teka-teki yang jelas ditiru dari acara reality show The Amazing Race. Ketika kemudian keempat peserta inisiasi menemukan bahwa teman mereka adalah makhluk halus, kita hampir-hampir tidak merasakan keterkejutan atau shock dalam bentuk apapun karena suspens dan unsur thriller yang dibangun oleh skenario tidak berada pada titik itu.
Amat lain dengan thriller yang dengan luar biasa dibangun M Night Shyamalan lewat The Sixth Sense. Pada adegan akhir, ketika jatidiri sang tokoh utama sebagai arwah penasaran terkuak, penonton betul-betul merasakan kekagetan yang amat sangat karena sejak awal, tensi cerita memang disusun menaik sedikit demi sedikit pada permasalahan identitas tokoh tersebut.
LM juga menjadi satu lagi bukti ketidaksaktian sinema nasional dalam urusan detail. Tak ada detail apapun yang muncul soal sistem operasi serta pernak-pernik kehidupan nyata pers kampus. Para redaktur tak pernah terlihat melakukan wawancara atau menulis artikel.
Proses seleksi rekrutmen reporter baru pun tak pernah menyinggung-nyinggung soal teknik reportase, interview, kaidah 5W+1H, atau Piramida Terbalik. Sebagai gantinya, para calon anggota baru malah disuruh menebak satu demi satu petunjuk untuk mencari dan menyalakan beberapa buah lentera kuno tanpa maksud dan tujuan yang jelas.
Secara umum, LM sebenarnya bukanlah sebuah film yang buruk. Ibarat masakan, Hanung hanya kurang menambahkan garam dan merica. Akibatnya, kita hanya merasa kenyang, tapi berikrar tak akan pernah mau kembali ke warung yang sama karena sama sekali tak merasa terhibur…


(Dimuat di Suara Merdeka, Minggu 28 Mei 2006)

0 komentar:

Posting Komentar