(** out of *****)
Di dunia fana ini, tidak ada yang lebih buruk ketimbang
sebuah film romance yang tidak bikin kita melankolis, film komedi yang tidak membuat
kita tertawa, dan film horor yang tidak menakutkan. Ketika ini terjadi, kita
semua berhak untuk meninggalkan gedung bioskop jauh sebelum pertunjukan
berakhir.
Lentera Merah (LM)
besutan sutradara terbaik FFI 2005, Hanung Bramantyo, masuk ke dalam daftar
itu. Sebagai sebuah film horor, ia gagal menakut-nakuti penonton karena gagal
pula memberi unsur terpenting yang harus ada dalam sebuah film horor, yaitu
kejutan. Bukan sembarang kejutan, melainkan kejutan yang orisinal dan baru.
LM sendiri
adalah nama majalah kampus Universitas Nasional Indonesia (UNI). Majalah
tersebut mempunyai tulisan-tulisan yang tajam dan kritis dalam menyikapi
kondisi terkini, baik intern kampus UNI maupun pemerintahan negara. Tak hanya
itu, LM juga merupakan salah satu media penggerak
kemerdekaan Indonesia.
Di lingkup kampus UNI, LM merupakan UKM yang paling eksklusif
dan prestisius. Bisa menjadi personel LM dianggap sebagai suatu kebanggaan
tersendiri bagi para mahasiswa UNI. Tak heran proses seleksi untuk masuk
menjadi bagian LM sama ketat dengan rangkaian eliminasi
di AFI ataupun Indonesian Idol. Ada babak
pendahuluan, babak 10 besar, dan terakhir babak 5 besar sebagai Grand Final.
Terpilih masuk 5 besar seleksi anggota baru untuk kru
redaksi LM tahun 2006 yang merupakan angkatan
ke-50 adalah Risa (Laudya Chyntia Bella), Riki (Tesadesrada Ryza), Lia (Beauty
Oehmke), Muti (Auxilia Paramitha), dan Yoga (Zaenal Arifin). Sebelum resmi
dilantik menjadi kru LM,
mereka berlima harus menjalani tradisi malam inisiasi yang dinamai Malam
Lentera.
Proses rekrutmen angkatan ke-50 dipimpin oleh Pemimpin
Redaksi LM Iqbal Abdinegara (Dimas Beck). Ia
dikawal oleh wapemred Wulandari (Firrina), dua editor senior Dinda (Kartika
Indah Pelapory) dan Rio (Fikri Ramadhan), serta dua editor foto Bayu (Saputra)
dan Arif (Teuku Wisnu).
Sejak jauh-jauh hari sebelum Malam Lentera berlangsung,
rangkaian seleksi angkatan ke-50 telah diganggu oleh kemunculan makhluk
misterius yang selalu menenteng-nenteng lentera berwarna merah ke mana-mana.
Kemunculannya selalu diiringi alunan lagu Dewi
Puspa dari piringan hitam.
Dan setiap kali ia muncul, korban jiwa selalu jatuh.
Korban pertama adalah Bayu. Ia mati misterius di kantor LM. Sesudah itu menyusul
Wulan, yang gantung diri di perpustakaan sesudah diskors dari jabatan wapemred
karena tulisannya yang ternyata menjiplak tulisan lain ketahuan oleh Risa.
Kemudian, satu demi satu nyawa kru senior melayang dibantai hantu yang sama
pada pelaksanaan Malam Lentera.
Pada setiap peristiwa pembunuhan, sang hantu selalu
meninggalkan tanda berupa angka "65" dan juga kalimat “Kebenaran
harus ditegakkan” yang tak lain adalah motto LM.
Kelima calon “akademia” yang tengah menjalani malam inisiasi mencoba membongkar
misteri itu. Dan ketika berbekal petunjuk angka 65 mereka membuka file kru LM dari tahun 1965, mereka menemukan
sesuatu yang sangat mengejutkan.
Salah seorang di antara mereka ternyata bukan manusia.
Dialah sang hantu pembawa lentera, mahasiswa UNI angkatan tahun 1965 yang mati
dibunuh karena dianggap prokomunis. Ia muncul kembali 41 tahun kemudian untuk
membalas dendam pada seluruh kru LM persis saat Malam Lentera diadakan
pada tanggal 20 Juni 2006. Siapakah dia? Tentu saja tidak akan diungkap di sini
agar setidak-tidaknya masih ada satu daya tarik LM yang membuatnya masih tetap berharga
untuk ditonton.
Kegagalan Hanung lewat LM berada pada ketidakmampuannya
menyuguhkan kebaruan dan orisinalitas. Benar bahwa sebagian penonton menjerit
ketakutan saat sang hantu pembawa lentera keluar menebar ancaman. Namun
momen-momen itu tidak benar-benar menakutkan karena kita pernah melihat
semuanya pada suatu waktu dulu.
Bentuk-bentuk penampakan lelembut dalam LM lebih mirip mosaik dari film-film
horor terdahulu yang pernah ada. Ada hantu melintas (baik di latar depan maupun
belakang) dan suster kesot dari Tusuk
Jelangkung, ada hantu berambut panjang dari The Ring, dan adegan tangan
setan saat Dinda terbunuh jelas-jelas sekali bakal mengingatkan kita pada film Idle Hand.
Karena semuanya bukan barang baru, Hanung pun sama sekali
gagal membuat kita ketakutan. Fakta bahwa salah seorang dari kelima peserta
Malam Lentera ternyata hantu tak berhasil pula menyentak, karena skenario yang
disusun Hanung bersama Retna Ginatri secara aneh justru malah membelokkan fokus
perhatian penonton tepat di titik klimaks yang seharusnya menentukan.
Sejak awal, tanda tanya yang melekat di benak kita
diarahkan pada proses inisiasi yang disebut Malam Lentera tersebut. Ini terjadi
lantaran event itu disebut-sebut dengan penuh emosi, ketegangan, dan
penghormatan. Kita pun mengira, semua misteri yang menyelubungi LM bersumber pada Malam Lentera. Mungkin
Malam Lentera adalah sebuah malam inisiasi yang kejam, penuh darah, atau
berkaitan dengan aliran-aliran sesat yang memakan korban jiwa dan kemudian
memicu pembalasan dendam dari dunia lain.
Ternyata, malam tersebut hanya berisi permainan teka-teki
yang jelas ditiru dari acara reality
show The Amazing Race. Ketika kemudian keempat peserta inisiasi menemukan
bahwa teman mereka adalah makhluk halus, kita hampir-hampir tidak merasakan
keterkejutan atau shock dalam bentuk apapun karena suspens dan unsur thriller
yang dibangun oleh skenario tidak berada pada titik itu.
Amat lain dengan thriller yang dengan luar biasa dibangun M
Night Shyamalan lewat The
Sixth Sense. Pada adegan akhir, ketika jatidiri sang tokoh utama sebagai
arwah penasaran terkuak, penonton betul-betul merasakan kekagetan yang amat
sangat karena sejak awal, tensi cerita memang disusun menaik sedikit demi
sedikit pada permasalahan identitas tokoh tersebut.
LM juga menjadi
satu lagi bukti ketidaksaktian sinema nasional dalam urusan detail. Tak ada
detail apapun yang muncul soal sistem operasi serta pernak-pernik kehidupan
nyata pers kampus. Para redaktur tak pernah terlihat melakukan wawancara atau
menulis artikel.
Proses seleksi rekrutmen reporter baru pun tak pernah
menyinggung-nyinggung soal teknik reportase, interview, kaidah 5W+1H, atau
Piramida Terbalik. Sebagai gantinya, para calon anggota baru malah disuruh
menebak satu demi satu petunjuk untuk mencari dan menyalakan beberapa buah
lentera kuno tanpa maksud dan tujuan yang jelas.
Secara umum, LM sebenarnya bukanlah sebuah film yang
buruk. Ibarat masakan, Hanung hanya kurang menambahkan garam dan merica.
Akibatnya, kita hanya merasa kenyang, tapi berikrar tak akan pernah mau kembali
ke warung yang sama karena sama sekali tak merasa terhibur…
(Dimuat di Suara
Merdeka, Minggu 28 Mei 2006)
0 komentar:
Posting Komentar