scribo ergo sum

Minggu, 07 Mei 2006

Bukan Obrolan Sesama Seleb

12:50 Posted by wiwien wintarto No comments

Selain sinetron dan reality show, talk show alias acara obrolan saat ini menjadi primadona siaran televisi di Indonesia. Berbagai stasiun TV mengedepankan acara obrolan andalan masing-masing, seperti Indosiar dengan Oprah, Trans TV dengan Lepas Malam dan Ceriwis, serta RCTI dengan Bincang Bintang.
Terlepas dari pengaruh talk show buatan Amerika Serikat yang kini menjadi panduan dan anutan, embrio acara obrolan di Indonesia sebenarnya sudah muncul sejak lama. Sekitar dua atau tiga dekade lalu, ketika televisi kita masih menganut “asas tunggal” TVRI, pemirsa telah disuguhi berbagai macam programa obrolan yang beragam.

Pada era 1970-an dan 1980-an, kita mengenal judul-judul semacam Mimbar Televisi, Masalah Kita, atau Kami Ketengahkan. Sayang, keragaman itu hanya ada dalam judul namun bukan dalam kemasan acara. Dari berbagai programa berbeda, semua ditampilkan dengan cara dan “tradisi” yang sama.
Tiga atau empat orang pejabat dihadirkan oleh seorang pembawa acara dalam set dekor ruang tamu yang kaku. Gaya obrolan mereka pun sangat serius dan formal, dengan alur pembicaraan hanya berupa tanya-jawab secara bergiliran, bukannya sebuah diskusi atau perdebatan yang hangat dan menarik.
Selain itu, acara-acara talk show era Orde Baru itu tak pernah menyentuh suatu permasalahan yang betul-betul mendasar. Topik-topik yang dihadirkan melulu berupa penerangan program pemerintah seperti intensifikasi pertanian, transmigrasi, keluarga berencana, P-4, atau posyandu.
Memasuki era keragaman TV swasta, programa-programa talk show mulai berbenah untuk mencari perolehan rating (dan tentunya slot iklan!). Kemasannya pun menjadi lebih variatif, segar, penuh diskusi serta perdebatan, dan bahkan interaktif. Para pemirsa bisa langsung bertanya pada narasumber secara langsung via telepon atau SMS.
Kini, acara obrolan seperti Lepas Malam atau Ceriwis telah menjadi primadona yang ditunggu-tunggu pemirsa. Sayang judul-judul tersebut disukai hanya karena lucu dan penuh bertabur bintang, namun kurang menggugah, kurang inspiratif, dan tidak memberikan nilai plus kepada pemirsa baik berupa tambahan pengetahuan baru maupun wawasan baru dalam memandang hidup secara keseluruhan.
Padahal programa-programa serupa di AS tidak hanya kocak dan penuh bintang, namun juga selalu menyajikan topik-topik yang besar, berat, berefek luas, dan meskipun sepele, tapi topik itu selalu membawa pemirsa kepada pemahaman baru atau betul-betul menggerakkan mereka untuk melakukan sesuatu yang mulia.
Ambil contoh Oprah. “Ibu dari semua acara talk show” ini bahkan tak jarang membuka mata pemirsa terhadap hal-hal luar biasa yang terjadi nun jauh di ujung dunia. Melalui reportase koresponden kenamaan Lisa Ling, Oprah menguak permasalahan mahar di India yang membuat kaum wanita menjadi komoditas dagang atau kekerasan mengerikan terhadap wanita dalam konflik-konflik berdarah antarsuku di Afrika.
Talk show populer lain yang tak kalah ngetop di sana adalah Martha Stewart Living. Dibawakan oleh salah satu pengusaha tersukses di Amerika, Martha Stewart, acara ini berisi serangkaian tips-tips praktis kepada pemirsa dalam berbagai topik yang sangat beragam, seperti memasak, menata interior rumah, berkebun, atau etiket pergaulan secara umum.
Dengan tagline “you will always learn something new” (Anda akan selalu mempelajari satu hal baru), tiap episode Martha Stewart Living tak pernah lewat percuma dan selalu meninggalkan jejak yang nyata di benak kaum ibu, pemirsanya. Acara populer ini memulai debutnya bulan September 1993 dan kini ditayangkan secara sindikasi (di lebih dari satu stasiun televisi) setiap hari selama sepekan tiap pukul 16.00 waktu setempat.
Martha Stewart sendiri lahir tanggal 3 Agustus 1941 dari keluarga imigran asal Polandia. Ia menuai sukses sebagai pengusaha katering pada tahun 1976 dan kemudian memulai karier baru sebagai penulis dan kolumnis. Bersama Elizabeth Hawes, ia menelurkan buku berjudul Entertaining yang laris manis bak kacang goreng. Sesudah itu, ia menjadi kontributor tetap untuk Majalah Family Circle sepanjang tahun 1980-an.
Popularitasnya sebagai salah satu icon wanita tersukses di AS mencapai puncaknya ketika ia memulai Martha Stewart Living pada tahun 1993. Kini acara tersebut telah berkembang menjadi sebuah imperium media yang bernama Martha Stewart Living Omnimedia yang meliputi berbagai kanal media massa sekaligus, yaitu media cetak, televisi, radio, internet, serta radio satelit.
Tahun 2005 lalu, Stewart membintangi spinoff (sempalan) acara The Apprentice yang berjudul The Apprentice: Martha Stewart. Sayang acara ini hanya berumur satu musim gara-gara rating rendah akibat jam tayangnya yang berbenturan dengan serial terpopuler di AS saat ini, Lost.
Satu lagi acara obrolan yang mendidik meski temanya agak kontroversial (terutama untuk kita yang kini tengah mengalami “euforia” RUU APP!) adalah Talk Sex with Sue Johanson yang di Amerika ditayangkan tiap Minggu pukul 23.00 selama 60 menit di jaringan TV Oxygen.
Acara ini khusus mengungkap segala pernak-pernik seks. Para pemirsa bertanya langsung tentang seputar permasalahan cinta, hubungan percintaan, dan seks. Semua pertanyaan akan dijawab dengan gamblang dan ilmiah oleh Johanson yang merupakan seorang penulis, pembicara, dan pakar soal seks di Kanada.
Mengawali kariernya sebagai perawat, ia membuka klinik KB pertama di sebuah SMA Amerika Utara pada tahun 1970. Sesudah itu ia menjadi pembawa acara konsultasi seks lewat radio yang berjudul Sex with Sue yang kemudian diganti menjadi Sunday Night Sex Show.
Ketika popularitasnya menjulang, acara konsultasi itu berpindah “rumah” ke televisi. Judulnya tetap Sunday Night Sex Show dan ditayangkan di jaringan TV W Network. Ketika berekspansi ke AS melalui Oxygen Network sejak 3 November 2002, Johanson harus mengganti judul acaranya menjadi Talk Sex with Sue Johanson.
Meski menghadirkan tema yang bagi sebagian orang dianggap tabu, Talk Sex with Sue Johanson digemari karena mengemas topik seks secara ilmiah dan sangat mendidik. Ini mirip dengan kehadiran rubrik populer EducaSex yang dulu sempat menjadi andalan (almarhum) Tabloid Remaja tren, Semarang.
Programa talk show lain, semacam The Ellen DeGeneres Show, tetap tak berkurang kandungan edukasinya meski, sama dengan kebanyakan talk show di sini, dikemas dengan premis “yang penting lucu”. Dalam acara ini, komedian ngetop Ellen DeGeneres mengajak pemirsa dan penonton studio menikmati interviu dengan selebritas, pentas musik live, serta games.
Kelebihan acara ini adalah kemampuannya untuk membuat pemirsa begitu larut ke dalamnya. Salah satu segmennya yang paling menarik adalah What are You Doing While You’re Watching?. Segmen ini men-survey hal-hal apa saja yang kerap dikerjakan pemirsa di rumah sambil menonton acara ini.
Pada akhirnya, acara-acara talk show di AS menjadi berbobot karena tak hanya sekadar menghibur namun juga meninggalkan manfaat yang nyata dan terkadang begitu menggugah. Selain itu tematik dan formatnya pun beragam, tak hanya sekadar menampilkan selebritas mewawancarai sesama selebritas.
Sedang di sini, kita sudah cukup puas hanya dengan setiap hari pukul 12.00 WIB menonton guyonan rame Indy Barends dan Indra Bekti melihat-lihat koleksi foto-foto lawas teman-teman mereka sesama pesohor.

(Dimuat di rubrik hiburan Suara Merdeka Edisi Minggu)

0 komentar:

Posting Komentar