Salah satu hobiku yang terpenting adalah nonton bola, khususnya Liga Indonesia dan Liga Inggris. Kusebut penting karena ini nggak hanya sekadar tontonan, atau ajang taruhan macam yang dilakukan penggila bola lain di sekitarku.
Sebenarnya nggak terlalu tepat kalau yang kulakukan adalah menonton, melainkan mengikuti sebuah cerita. Kompetisi liga yang berlangsung antara 8-9 bulan tiap musim, bagiku mirip sebuah film cerita yang ditayangkan bersambung. Ada suspense, ada action, ada komedi, dan ketika pekan demi pekan berlalu dengan poin yang berkejaran baik di papan atas maupun papan bawah, rasanya kayak satu episode serial TV macam Desperate Housewives atau 24 yang dipotong pakai cliffhanger.
Bagian ending kisah bersambung Liga Inggris musim 2005/06 terjadi dengan penuh suspens hari Sabtu 29 April lalu. Chelsea juara setelah mendepak MU 3-0 sehingga poin mereka nggak mungkin terkejar lagi oleh MU yang ada di peringkat kedua. Sedang Birmingham City mengikuti jejak West Bromwich Albion dan Sunderland terdegradasi ke Championship Division.
Dalam bagian ending itu, ada dua momen berbeda yang sangat berkesan buatku.
Yang pertama adalah reaksi para penonton di St Andrews, markas Birmingham, begitu tahu klub kesayangan mereka nggak selamat bertahan di Liga Premier. Kesunyian merebak di seantero stadion begitu Birmingham ditahan imbang 0-0 oleh Newcastle United, yang berarti skuad Steve Bruce nggak bisa mengejar perolehan poin Portsmouth yang di JJB Stadium menang atas tuan rumah Wigan Athletic, 2-1.
Apakah suporter Birmingham mengamuk? Apakah mereka merusak mobil-mobil di tempat parkir atau memukuli para suporter Newcastle untuk melampiaskan kejengkelan mereka? Sama sekali nggak. Dengan elegan mereka justru bernyanyi, menunjukkan kebanggaan tulus pada Jermaine Pennant cs, dan dengan gagah memasang poster gede, “WE WILL RETURN!!”.
Momen kedua adalah sehari setelah perayaan kemenangan Chelsea. Hari Minggu-nya, Chelsea TV menayangkan acara talk show yang membahas kehebatan itu. Para suporter Chelsea menelepon studio untuk mengungkapkan perasaan dan komentar masing-masing atas kemenangan skuad Jose Mourinho.
Salah satu fans, namanya Chris Powell (mirip defender-nya Charlton Athletic), menelepon sambil menangis terisak oleh rasa haru. Ia mengungkapkan kebanggaannya atas perjuangan dahsyat tim The Blues. “Thank you, Jose… Thank you, Didier… Thank you, Frank… You all have made us happy. Soooo very happy…!” katanya di sela-sela isak tangis haru itu.
Baik Birmingham maupun Chelsea sama-sama berkaos biru. Mereka mengalami nasib yang sangat bertolak belakang. Satunya gagal total, satunya lagi jaya sejaya-jayanya. Yang membuatku sangat terkesan adalah, kedua momen yang sangat berbeda itu ternyata menghasilkan respon yang sama buat suporter masing-masing, yaitu kebanggaan dan rasa terima kasih yang tulus.
For me, that’s the lesson of love. That’s true love—the purest one. Macam kata-kata Ayu (Danny Dahlan) dalam film Ayu dan Ayu, “Cinta sejati tidak membutuhkan balasan apapun.”
Suporter Birmingham dan Chelsea menunjukkan bahwa mereka punya true love itu. Kecintaan mereka pada klub kesayangan nggak dipengaruhi oleh apa yang tengah dialami klub. Menang atau kalah, juara atau pecundang, hujan atau panas, siang atau malam, rasa cinta itu tetap sama. Unconditional love. Kayak judul lagunya Renee Olstead, A Love That Will Last.
Nah, jika untuk sebuah klub sepakbola saja rasa cinta masyarakat Inggris sudah begitu gede, bisa dibayangkan sebesar apa cinta mereka pada urusan yang lebih besar lagi. Pada pasangan, suami, isteri, keluarga, dan akhirnya negara dan agama. Lalu, bandingkan itu dengan apa yang terjadi di sini.
Sepanjang yang aku tahu, sepakbola di sini hanya jadi tempat pelampiasan nafsu dan keinginan. Suporter ingin kemenangan, titik. Nggak ada tawar-menawar. Ketika itu nggak terwujud, marahlah mereka semua. Kursi stadion dibakar, wasit dilempar pakai botol, suporter tim lawan dipentungi, dan semua mobil and motor dirusak atau dibakar.
Akibatnya, Liga Djarum pun udah nggak mirip sebuah pesta bola lagi, melainkan acara tawuran massal sepanjang 10 bulan nonstop yang kadang-kadang diselingi pertandingan bola tiap Selasa, Rabu, Sabtu, dan Minggu. Orang berangkat nonton ke stadion pun berpamitan dengan penuh emosi macam serdadu mau perang, lengkap dengan permohonan, “Doakan aku bisa kembali…!”
Nafsu dan keinginan. Itulah moral utama orang kita sekarang ini. Dua motif itulah yang membuat orang nekat korupsi, nekat membunuh, nekat menipu, nekat menutup tabloid remaja yang tidak bersalah (!), dan sewaktu negaranya sedang jelek dan terpuruk serta-merta mencari peluang untuk pindah ke negara jiran yang (kebetulan saja) sedang (agak) maju.
Alangkah indah kalo hidup bisa dijalani sebagaimana yang dicontohkan para suporter Birmingham City dan Chelsea. Kita punya cinta yang tulus pada apapun yang kita miliki—pacar, teman, ortu, kakak-adik, suami, isteri, kota, desa, tabloid (hallah… itu lagi!), keluarga, negara.
Cinta yang tetap sama entah mereka semua itu tengah ups atau tengah downs. Sayang kita saat ini justru lebih kenceng bicara dengan bahasa nafsu, bahasa keinginan, dan bukan bahasa cinta…
0 komentar:
Posting Komentar