scribo ergo sum

Rabu, 03 Mei 2006

Film Vs Musik

13:42 Posted by wiwien wintarto 1 comment

Hari Kamis 27 April 2006 lalu aku nonton film D’Girlz Begins di Citra 21. Ini film besutan Tengku Firmansyah, yang berkisah tentang penyamaran seorang anggota polisi ke dalam kampus untuk membekuk seorang gembong narkoba.
Satu-satunya alasan mengapa aku nonton film itu hanyalah karena Massakerah mengorder resensinya di Suara Merdeka hari Minggu. Otherwise, aku nggak akan pernah sudi. Nonton film Hollywood terbaik saja aku malas (mending nunggu versi VCD-nya keluar atau nyari DVD bajakannya di lantai dasar Plasa Simpanglima), apalagi nonton film lokal yang (biasanya pasti) jelek.

Tadinya aku mau ajak Anita, tapi nggak jadi. Malas jemputnya. Jauh. Lagian dia juga masih sibuk nyekripsi. Trus aku ajak Nana dan Dwi NR. Kupikir, keluar 3 x Rp 20 ribu masih kuatlah. Dan, terutama, masih tega. Tapi kemudian, di Citraland, kami ketemu dengan Esti & Donny yang lagi jalan-jalan. Otomatis, mereka juga harus kuajak. Dan tega atau nggak, terpaksalah duit cepek keluar untuk nonton berlima.
Masuk ke gedung pertunjukan, suasananya ternyata nggak seheboh sebagaimana seharusnya pemutaran premier sebuah film. Apalagi itu pertunjukan paling awal pukul 14.00. Gedung hanya terisi sekitar 30%—suatu pertanda bahwa Softex kelihatannya akan merugi dan menyesal telah nekat sok hebat bikin film segala.
Menit demi menit pita seluloid diputar, aku tahu aku terpaksa akan ngasih review jelek untuk film itu. Kalau istilahnya Roger Ebert, thumbs down yang sangat down. D’Girlz Begins bener-bener remuk dalam segala aspek. Ya aktingnya, ya rupa para pemainnya, ya jalan ceritanya, ya logika plotnya, ya komedinya—semua. Film itu sama jeleknya dengan Issue-nya Gunawan Paggaru. Mungkin bahkan lebih jelek lagi. Dalam rating 1 hingga 10, D’Girlz Begins harusnya dapat rating minus!
Karena kita berlima adalah wartawan (kecuali Donny yang sales Astro dan sebentar lagi akan jadi orang Mahkamah Agung) yang punya selera tinggi dalam nonton film, hinaan, celaan, kecaman, dan aneka macam serapah pun bermunculan sepanjang durasi. Kami terus-menerus ketawa ngakak, terutama pas Dwi menyebut tokoh Ari yang diperankan Nizar Zulmi mirip Mario Bros! Jelas bukan karena geli, melainkan karena menertawakan kejelekan film itu.
Sambil nonton aku pun tak habis pikir. Mengapa? Why? Kenapa ada orang yang tega membuang-buang uang miliaran rupiah untuk membuat sampah seperti itu? Mengapa pula pada zaman yang sudah serba canggih ini perfilman Indonesia masih saja menelurkan film-film hancur kayak D’Girlz Begins? Tidak pernahkah para sineas kita belajar untuk memperbaiki kualitas karya-karya mereka?
Aku semakin tergelitik ketika mengingat bahwa, sebagai sesama produk kesenian dan entertainment kacang goreng, musik Indonesia nggak pernah mengalami permasalahan semendasar itu. Musik Indonesia berevolusi, mengoreksi diri, bereksplorasi dengan kreatif, sehingga dari waktu ke waktu terus menghadirkan hal-hal baru yang menyenangkan. Hasilnya, musik era 1970-an, 1980-an, 1990-an, dan kini 2000-an terus-menerus berbeda dan saling punya ciri khas sendiri-sendiri.
Musik kita juga jadi tuan rumah di negeri sendiri. Banyak artis atau band lokal yang secara kualitas jauh lebih superior dari rekan sejawat mereka dari Amerika atau Eropa. Anggun bahkan telah menembus level internasional. Kita juga jadi panutan di Semenanjung Malaysia. Tiap kali Malaysia atau Singapura menggelar award musik, 75% peraih award pasti nama-nama Indonesia.
Dan waktu aku nonton Java Jazz 2006 awal Maret lalu, kita nggak hanya sekadar jadi penonton yang meneteskan air liur di depan panggung. Tangga, White Shoes & The Couples Company, dan Ello menyedot penonton jauh lebih dahsyat daripada penonton Patti Austin atau Tower Of Power. Sedang Bali Lounge, Parkdrive, dan Maliq & D’Essentials menghasilkan aplaus yang nggak kalah meriah dari aplaus yang diberikan untuk Dave Koz, Michael Lington, atau Chiara Civello.
So, sementara musik Indonesia terus-menerus bermetamorfosa dan menggeliat, mengapa film nasional tetap saja jalan di tempat dengan semua kemandegannya? Wajah perfilman kita pada era ini tetap sama dan sebangun dengan fenomena 30 tahunan lalu. Dipenuhi film-film tak masuk akal, film-film bodoh, serta film-film artistik yang egois dan nggak ditonton orang.
Dan problem yang dikatakan Dennis Adhiswara, yaitu film kita miskin tema dan miskin genre, juga masih berlangsung. Apapun judul yang ditawarkan, pasti nggak keluar dari “pakem” melodrama rumah tangga, kisah percintaan remaja, atau mistik-horor. Alasan para produser sih klise: memang itu tema-tema yang sedang in dan harus mereka “penuhi”.
Tapi seandainya kondisinya memang harus begitu, kenapa musik Indonesia jauh lebih bervariasi? Para produser musik berani mengambil risiko untuk melempar barang-barang yang sebelumnya nggak pernah dikenal pasar. Ada banyak variasi yang bisa dipilih. Sweet pop ada, pop rock ada, metal masih kenceng, ska tetep hidup, smooth jazz muncul lagi, campursari dan musik-musik daerah terus tumbuh, dan bahkan keroncong pun masih diproduksi sekalipun lepas dari publikasi video musik dan MTV.
Sejak kemunculan Ada Apa dengan Cinta?, orang bilang perfilman nasional bangkit lagi. Tapi apa gunanya itu kalau bangkit hanya sekadar bangkit tanpa ada perbaikan kecerdasan intelektualitas? Yang kulihat sih, film Indonesia era sekarang sudah sangat kehilangan keindonesiaannya.
Film-film kita, terutama yang ber-genre komedi romantis, kelihatan jelas dibuat dengan semangat se-Hollywood mungkin, sejak dari desain posternya, gaya hidup yang ditampilkan, dialognya yang kayak terjemahan bahasa Inggris, credit title-nya yang pasti pakai bahasa Inggris (“Directed by”, “Special appearances by”, dst.), atau main title-nya yang selalu diawali dengan “A Rudi Soedjarwo Film” atau “A Film By Nia Di Nata”.
Maka pas keluar dari gedung pertunjukan pun aku hanya bisa mengelus dada. Jika pembodohan adalah sebuah dosa, karma apa yang kira-kira kelak akan menimpa para produser, sutradara, dan screenwriter a***ole itu…?

1 komentar:

  1. Apa yang membuat film indonesia selalu jalan di tempat adalah tidak adanya kecintaan terhadap film itu sendiri. Film hanya di jadikan lahan pengeruk keuntungan tanpa mempertimbangkan kualitas dan masa depan film itu sendiri. Sehingga yang terjadi adalah "pengekoran" dimana-mana. Satu tema film sukses maka yang lain-lain ikut sibuk membuat film dengan tema sejenis. Bahkan tanpa malu-malu menjiplak film luar secara terang-terangan, SUCK!hmmm...mereka tidak sadar bahwa tabiat seperti ini akan menghancurkan dunia perfileman itu sendiri. Ketika kepercayaan penonton terhadap film mulai luntur maka jangan harap mereka mau datang lagi ke bioskop untuk menontonnya!
    Inilah yang terjadi di dunia film kita, media film tidak lagi di anggap sebagai media seni dengan segala "keindahan"nya. Sebuah hiburan bermutu yang tidak dibuat-buat. tetapi telah menjadi sebuah bisnisn yang tak mementingkan mutu. Tak heran banyak orang yang menyesal telah membuang waktunya secara sia-sia di gedung bioskop!

    BalasHapus