(* out of *****)
Apa yang Anda rasakan ketika
menyaksikan sebuah film yang memajang Justin Timberlake dan Carmen Electra
sebagai pemeran utama dan menampilkan Al Pacino, Meryl Streep, Jack Nicholson,
dan Judi Dench cukup hanya sebagai cameo? Sakit? Tidak rela? Terganggu? Atau
marah-marah?
Perasaan yang sama akan muncul
saat Anda menyaksikan D’Girlz
Begins (DB), film
laga-komedi yang menjadi debut penyutradaraan aktor merangkap presenter Tengku
Firmansyah. Ada banyak talenta luar biasa yang hadir, tentu lengkap dengan
skill luar biasa mereka dalam berakting, namun mereka muncul dalam kapasitas
yang jauh lebih terbatas dari supporting
role.
Sebagai para tokoh utama justru
dipajang nama-nama baru yang amat tidak jelas kapasitas dan curriculum vitae mereka dalam berakting. Alasan pembenarnya,
kesempatan berakting tersebut merupakan hadiah bagi para pemenang kontes
modelling yang digelar produsen pembalut wanita kenamaan, PT Softex Indonesia.
DB sendiri dibuat dengan premis yang
pasti akan langsung mengingatkan kita pada serial televisi dan film layar lebar
sukses, Charlie’s Angels.
Ada tiga gadis cantik nan seksi, ada aktivitas penyamaran, dan ada pula misi
rahasia untuk memberantas kawanan penjahat besar. Tokoh sentral DB adalah seorang petugas kepolisian
bernama Alexa (Shabrina S).
Tentu saja, karena ini film
Indonesia, tak perlulah dijelaskan pangkat Alexa dan dari kesatuan mana ia
berasal. Apakah satreskrim, antinarkoba, Densus 88 Antiteror, Brimob, Gegana,
atau mungkin Satpol PP! Yang jelas, ia menangani kasus-kasus yang sangat beragam,
mulai trafficking hingga narkoba.
Dikisahkan, polisi (juga tak
jelas kepolisian dari tingkatan apa; apakah Mabes Polri, Polda Metro, atau
Polsek Petamburan!) tengah kewalahan memburu seorang gembong narkoba yang
bernama Ricardo Monte Carlo (Rudy C Wowor). Ricardo menghilang tanpa jejak, dan
satu-satunya kunci menuju persembunyiannya adalah mantan orang dekatnya, Ari
Ristanto (Nizar Zulmi).
Masalahnya, jejak Ari pun
ikut-ikutan lenyap. Untuk mengetahui di mana ia berada, kepolisian mencoba
mendekati Cassandra alias Cassy (Kirana Larasati), putri Ari. Maka dikirimlah
Alexa yang menyamar menjadi mahasiswi untuk mengawasi Cassy yang kuliah di
Institut Kesenian Indonesia (IKI).
Di kampus, Alexa bertemu dengan
dua mahasiswi lain yang segera menjadi teman baiknya. Mereka adalah Nicky
(Disa) dan Amanda (Dhena). Bertiga, mereka membentuk sebuah gang yang dinamai
Deluxe Girlz. Komitmen mereka adalah, Alexa akan mengajarkan teknik bela diri,
Nicky mengajarkan cara dandan anak gaul, dan Amanda mengajarkan cara-cara
memainkan turntables di diskotek.
Pada saat yang bersamaan, Ricardo
mengirimkan seorang pembunuh bayaran bernama Sam Sunyi (Tengku Firmansyah)
untuk menculik Cassy demi untuk mendapatkan Ari pula. Sam adalah seorang bandit
yang melakukan serentetan pembunuhan dengan penuh gaya namun mati hanya karena
batuk!
Terdapat pula subplot yang
mengisahkan drama percintaan Alexa di kampus. Ia ditaksir Randy (Andhika),
mahasiswa paling tampan di IKI. Randy akhirnya tewas di tangan para anak buah
Ricardo, suatu “ketentuan” yang memungkinkan Shabrina untuk memeragakan
kemampuan akting dramatiknya sebagai Alexa saat menangis meraung-raung meratapi
jenazah Randy.
DB adalah sebuah film yang akan
membuat para pencinta teater dan seni peran dihinggapi semacam rasa penyesalan
yang teramat sangat. Menyaksikan para “pakar” seperti Didi Petet, Jajang C
Noer, Nizar Zulmi, dan Rachel Maryam memamerkan kemampuan akting masing-masing
seharusnya menjadi sebuah pengalaman yang menyenangkan. Sayang ini tak
kesampaian karena mereka hanya hadir sekelebatan.
Didi bermain sebagai Dekan IKI
(maaf, kalau boleh bertanya, sejak kapan sebuah institut memiliki dekan?),
Jajang sebagai dosen seni peran, Nizar sebagai Ari, dan Rachel sebagai
mahasiswi musuh Alexa yang bernama Melly. Mereka masing-masing tak pernah
tampil lebih lama daripada dua adegan. Layar justru didominasi permainan akting
Shabrina, Disa, dan Dhena yang tidak lebih baik daripada kemampuan akting para
akademia AFI. Mereka bertiga tak lain adalah para pemenang kontes Super Deluxe
Girls 2005 yang digelar PT Softex Indonesia. Sebagai hadiah, mereka berhak
menjadi pemeran-pemeran utama film buatan perusahaan produsen pembalut wanita
tersebut melalui label Softex Heritage Movie.
Pada akhirnya, tuduhan
penjiplakan Charlie’s Angels itu sama sekali tidak terbukti. Betul
Alexa, Nicky, dan Amanda memang membentuk Deluxe Girlz, tapi mereka tak pernah
beraksi sebagai satu kesatuan dalam menangani isu utama film ini, yaitu
pengejaran terhadap diri Ricardo. Mereka bertindak sebagai tim hanya ketika
jalan-jalan di mal dan ngedugem di diskotek. Sejak awal, DB hanya merupakan kisah pribadi Alexa,
terlebih karena seluruh durasi film ini tak lain adalah flashback renungannya saat berada di makam
Randy. Nicky dan Amanda hadir hanya sebagai pelengkap, sekadar memenuhi “kuota”
dari Softex Heritage Movie bahwa pemeran utama harus berjumlah tiga orang. Jika
tidak, film ini cukup memajang judul Alexa
Begins, dan tak harus membawa-bawa nama D’Girlz.
Sebagai sebuah karya perdana, DB adalah suatu hal yang dapat dimasukkan
ke dalam kategori tempat para bijak hanya dapat berkomentar “next time
better lah…” dengan raut
wajah penuh penghiburan. Sang sutradara, Tengku Firmansyah, tak dapat terlalu
disalahkan karena ia juga tak disuplai dengan skenario yang memadai.Banyak hal
dalam struktur ceritanya yang tak terjelaskan dengan gamblang. Apa kaitan
sesungguhnya antara Ari dan Ricardo? Apa yang telah dilakukan Ari sehingga ia
diburu oleh polisi dan Ricardo sekaligus? Dengan cara bagaimana polisi akhirnya
bisa menemukan markas persembunyian Ricardo?
Dan, ini yang paling seru,
mengapa penggerebegan terhadap markas gerombolan trafficking di awal film dilakukan oleh aparat
berseragam hitam-hitam? Bukankah polisi berseragam hitam tak lain adalah satuan
Gegana? Dan bukankah Gegana seharusnya hanya menangani urusan bahan peledak
berbahaya? Atau barangkali mereka didandani dengan seragam serba hitam agar
mirip kesatuan SWAT dari Amerika?
Kisah Sam Sunyi yang “berevolusi”
dari tukang semir sepatu jalanan menjadi bandit yang membunuh korban-korbannya
dengan style mirip tokoh-tokoh film John Woo pun sama sekali tak terjelaskan.
Padahal elemen ini bisa melahirkan satu cerita tersendiri yang, jika didukung
skenario yang bagus, bisa menjadi sebuah film yang amat berbobot.
D’Girlz Begins akhirnya menjadi sebuah tontonan
yang tidak jelas karena tak jelas juga sisi kehidupan mana yang sebenarnya
ingin dipotret. Apakah dunia kampus yang serba gaduh dan romantis? Apakah dunia
kepolisian yang keras dan penuh disiplin? Atau apakah dunia kriminal yang kejam
dan biadab?
(Dimuat di Suara Merdeka, Minggu 30
April 2006)
0 komentar:
Posting Komentar