scribo ergo sum

Minggu, 30 April 2006

Ternyata Bukan "Charlie's Angels"

13:14 Posted by wiwien wintarto No comments

(* out of *****)

Apa yang Anda rasakan ketika menyaksikan sebuah film yang memajang Justin Timberlake dan Carmen Electra sebagai pemeran utama dan menampilkan Al Pacino, Meryl Streep, Jack Nicholson, dan Judi Dench cukup hanya sebagai cameo? Sakit? Tidak rela? Terganggu? Atau marah-marah?
Perasaan yang sama akan muncul saat Anda menyaksikan D’Girlz Begins (DB), film laga-komedi yang menjadi debut penyutradaraan aktor merangkap presenter Tengku Firmansyah. Ada banyak talenta luar biasa yang hadir, tentu lengkap dengan skill luar biasa mereka dalam berakting, namun mereka muncul dalam kapasitas yang jauh lebih terbatas dari supporting role.

Sebagai para tokoh utama justru dipajang nama-nama baru yang amat tidak jelas kapasitas dan curriculum vitae mereka dalam berakting. Alasan pembenarnya, kesempatan berakting tersebut merupakan hadiah bagi para pemenang kontes modelling yang digelar produsen pembalut wanita kenamaan, PT Softex Indonesia. 
DB sendiri dibuat dengan premis yang pasti akan langsung mengingatkan kita pada serial televisi dan film layar lebar sukses, Charlie’s Angels. Ada tiga gadis cantik nan seksi, ada aktivitas penyamaran, dan ada pula misi rahasia untuk memberantas kawanan penjahat besar. Tokoh sentral DB adalah seorang petugas kepolisian bernama Alexa (Shabrina S).
Tentu saja, karena ini film Indonesia, tak perlulah dijelaskan pangkat Alexa dan dari kesatuan mana ia berasal. Apakah satreskrim, antinarkoba, Densus 88 Antiteror, Brimob, Gegana, atau mungkin Satpol PP! Yang jelas, ia menangani kasus-kasus yang sangat beragam, mulai trafficking hingga narkoba.
Dikisahkan, polisi (juga tak jelas kepolisian dari tingkatan apa; apakah Mabes Polri, Polda Metro, atau Polsek Petamburan!) tengah kewalahan memburu seorang gembong narkoba yang bernama Ricardo Monte Carlo (Rudy C Wowor). Ricardo menghilang tanpa jejak, dan satu-satunya kunci menuju persembunyiannya adalah mantan orang dekatnya, Ari Ristanto (Nizar Zulmi).
Masalahnya, jejak Ari pun ikut-ikutan lenyap. Untuk mengetahui di mana ia berada, kepolisian mencoba mendekati Cassandra alias Cassy (Kirana Larasati), putri Ari. Maka dikirimlah Alexa yang menyamar menjadi mahasiswi untuk mengawasi Cassy yang kuliah di Institut Kesenian Indonesia (IKI).
Di kampus, Alexa bertemu dengan dua mahasiswi lain yang segera menjadi teman baiknya. Mereka adalah Nicky (Disa) dan Amanda (Dhena). Bertiga, mereka membentuk sebuah gang yang dinamai Deluxe Girlz. Komitmen mereka adalah, Alexa akan mengajarkan teknik bela diri, Nicky mengajarkan cara dandan anak gaul, dan Amanda mengajarkan cara-cara memainkan turntables di diskotek.
Pada saat yang bersamaan, Ricardo mengirimkan seorang pembunuh bayaran bernama Sam Sunyi (Tengku Firmansyah) untuk menculik Cassy demi untuk mendapatkan Ari pula. Sam adalah seorang bandit yang melakukan serentetan pembunuhan dengan penuh gaya namun mati hanya karena batuk!
Terdapat pula subplot yang mengisahkan drama percintaan Alexa di kampus. Ia ditaksir Randy (Andhika), mahasiswa paling tampan di IKI. Randy akhirnya tewas di tangan para anak buah Ricardo, suatu “ketentuan” yang memungkinkan Shabrina untuk memeragakan kemampuan akting dramatiknya sebagai Alexa saat menangis meraung-raung meratapi jenazah Randy.
DB adalah sebuah film yang akan membuat para pencinta teater dan seni peran dihinggapi semacam rasa penyesalan yang teramat sangat. Menyaksikan para “pakar” seperti Didi Petet, Jajang C Noer, Nizar Zulmi, dan Rachel Maryam memamerkan kemampuan akting masing-masing seharusnya menjadi sebuah pengalaman yang menyenangkan. Sayang ini tak kesampaian karena mereka hanya hadir sekelebatan.
Didi bermain sebagai Dekan IKI (maaf, kalau boleh bertanya, sejak kapan sebuah institut memiliki dekan?), Jajang sebagai dosen seni peran, Nizar sebagai Ari, dan Rachel sebagai mahasiswi musuh Alexa yang bernama Melly. Mereka masing-masing tak pernah tampil lebih lama daripada dua adegan. Layar justru didominasi permainan akting Shabrina, Disa, dan Dhena yang tidak lebih baik daripada kemampuan akting para akademia AFI. Mereka bertiga tak lain adalah para pemenang kontes Super Deluxe Girls 2005 yang digelar PT Softex Indonesia. Sebagai hadiah, mereka berhak menjadi pemeran-pemeran utama film buatan perusahaan produsen pembalut wanita tersebut melalui label Softex Heritage Movie.
Pada akhirnya, tuduhan penjiplakan Charlie’s Angels itu sama sekali tidak terbukti. Betul Alexa, Nicky, dan Amanda memang membentuk Deluxe Girlz, tapi mereka tak pernah beraksi sebagai satu kesatuan dalam menangani isu utama film ini, yaitu pengejaran terhadap diri Ricardo. Mereka bertindak sebagai tim hanya ketika jalan-jalan di mal dan ngedugem di diskotek. Sejak awal, DB hanya merupakan kisah pribadi Alexa, terlebih karena seluruh durasi film ini tak lain adalah flashback renungannya saat berada di makam Randy. Nicky dan Amanda hadir hanya sebagai pelengkap, sekadar memenuhi “kuota” dari Softex Heritage Movie bahwa pemeran utama harus berjumlah tiga orang. Jika tidak, film ini cukup memajang judul Alexa Begins, dan tak harus membawa-bawa nama D’Girlz.
Sebagai sebuah karya perdana, DB adalah suatu hal yang dapat dimasukkan ke dalam kategori tempat para bijak hanya dapat berkomentar “next time better lah…” dengan raut wajah penuh penghiburan. Sang sutradara, Tengku Firmansyah, tak dapat terlalu disalahkan karena ia juga tak disuplai dengan skenario yang memadai.Banyak hal dalam struktur ceritanya yang tak terjelaskan dengan gamblang. Apa kaitan sesungguhnya antara Ari dan Ricardo? Apa yang telah dilakukan Ari sehingga ia diburu oleh polisi dan Ricardo sekaligus? Dengan cara bagaimana polisi akhirnya bisa menemukan markas persembunyian Ricardo?
Dan, ini yang paling seru, mengapa penggerebegan terhadap markas gerombolan trafficking di awal film dilakukan oleh aparat berseragam hitam-hitam? Bukankah polisi berseragam hitam tak lain adalah satuan Gegana? Dan bukankah Gegana seharusnya hanya menangani urusan bahan peledak berbahaya? Atau barangkali mereka didandani dengan seragam serba hitam agar mirip kesatuan SWAT dari Amerika?
Kisah Sam Sunyi yang “berevolusi” dari tukang semir sepatu jalanan menjadi bandit yang membunuh korban-korbannya dengan style mirip tokoh-tokoh film John Woo pun sama sekali tak terjelaskan. Padahal elemen ini bisa melahirkan satu cerita tersendiri yang, jika didukung skenario yang bagus, bisa menjadi sebuah film yang amat berbobot.
D’Girlz Begins akhirnya menjadi sebuah tontonan yang tidak jelas karena tak jelas juga sisi kehidupan mana yang sebenarnya ingin dipotret. Apakah dunia kampus yang serba gaduh dan romantis? Apakah dunia kepolisian yang keras dan penuh disiplin? Atau apakah dunia kriminal yang kejam dan biadab?

(Dimuat di Suara Merdeka, Minggu 30 April 2006)

0 komentar:

Posting Komentar