![]() |
Kompleks Suara Merdeka Kaligawe, tempat Redaksi tabloid Tren berlokasi. |
Buat yang tinggal di luar Semarang & Jawa Tengah, Tren adalah tabloid remaja keluaran Suara Merdeka Group. Segmen kita pembaca remaja kelas ekonomi B dan C. Motto kita adalah “dari kamu ke kamu”. Intinya, sebagian besar isi Tren ditulis oleh pembaca sendiri. Ada cerpen, puisi, liputan berita, artikel, opini, pengalaman lucu-lucu, konsultasi dengan Darmanto Jatman, dan curhat.
Tren menghindari berita-berita yang terlalu mabuk dengan selebriti. Itu udah jatah Hai, Kawanku, Gaul, Keren Beken, atau Fantasi Teen. Kita nggak mau cuman sekadar membongkar dan menunjukkan kamar, dompet, isi tas, kendaraan pribadi, pengalaman cinta pertama, first kiss, atau pacar terkini para seleb remaja. Tren juga nggak mau nampilin artikel-artikel yang nggak ada manfaatnya, seperti arti warna favorit, tanda-tanda doi naksir, atau “Valentine’s Day di Berbagai Belahan Dunia”.
Kita pengin info kita bener-bener berfaedah buat pembaca. Menjelang pembagian Piala Oscar dan media-media lain cuman bisa mengulas film-film favorit juara, bintang-bintang calon pemenang, atau baju apa aja yang akan dipake Tom Cruise dan Katie Holmes ke puncak acara, Tren tampil dengan artikel beda.
Tren nampilin mekanisme pemilihan nominasi, siapa-siapa aja anggota juri Oscar, bagaimana sebuah film dipilih menjadi yang terbaik, serta gimana cara seseorang bisa terpilih jadi anggota Academy dan berhak jadi juri. Kita pernah pula punya rubrik CineMagic. Di situ kita nampilin artikel tentang sejarah film, apa saja tugas sutradara, gimana seseorang bisa jadi sutradara, langkah-langkah studio bikin film, tips bikin film indie, dan teknik dasar penulisan skenario film/sinetron beserta contoh-contoh skenario film-film sukses Hollywood.
Dulu ada juga rubrik Trenologi. Suatu saat, kita nampilin artikel tentang doping buat atlet, bukan dengan menggunakan steroid dan obat-obatan terlarang, melainkan dengan doping kromosom. Nggak dinyana, artikel itu lantas rame-rame jadi bahan untuk pelajaran biologi di sekolah. Banyak yang membikinnya jadi makalah, paper, dan bahan diskusi yang menimbulkan perdebatan panjang di kelas.
Isi materi Tren adalah hal-hal yang langsung berkaitan dengan hidup kita sehari-hari. Nulis cerpen dan dapat honor, kirim salam buat guru favorit, kenalan lewat SMS, atau nyeritain pengalaman konyol pas pedekate ama gebetan.
Gagasan tentang media remaja kayak Tren udah ada di benakku sejak tahun 1997, ketika aku masih jadi editor Tabloid Berita Dharma. Yaitu media yang berisi info-info smart, menampung aneka macam kreativitas pembaca dalam hal tulis-menulis, serta lebih bersifat lokal sehingga terasa dekat di hati. Bukan media yang melulu hanya bisa nampilin info dan profil para seleb, resensi film & kaset, serta pameran baju-baju dan aksesori mahal yang hanya ada di mal-mal Jakarta.
Maka ketika Tren bener-bener terbit tanggal 20 Februari 2000, aku seperti menemukan “This is the one!”-ku. Aku langsung jatuh cinta. Aku menulis banyak hal buat Tren. Meski saat itu tulisanku lebih sering masuk tempat sampah (cuman ada 1 cerpen yang dimuat!), aku tetep gila nulis dan gila ngirim. Dan ketika bulan Maret 2001 Tren buka lowongan, aku nggak perlu pikir panjang untuk melamar (dan diterima).
Di Tren lah aku betul-betul menjalani pengalaman bekerja yang paling menyenangkan. Aku bekerja dengan hobiku (menulis), di media yang membuat aku jatuh cinta, menempati kantor dengan suasana yang menakjubkan, punya teman-teman kerja yang baik, dan dengan sistem kerja yang rileks.
Kantor (Redaksi) Tren sangat menyenangkan karena iklimnya egaliter banget. Beda pangkat jelas ada. Mulai Pemred, Wapemred, Redpel, Editor, Reporter, hingga Setter, Kontributor, dan Reporter Magang. Tapi kita semua merasa satu dan sama, sama-sama bekerja mengejar (atau dikejar) deadline.
Tak ada sekat antarmeja seperti yang ada di kantor-kantor lain. Orang yang di pojok sana bisa berteriak bebas pada orang di pojok lainnya. Ruang Bos (Pemred) terbuka lebar dan bisa bebas dimasuki siapa aja. Pemred pun bukan manusia eksklusif yang gemar mengisolasi diri di kantor tertutup. Kita nggak perlu mengetuk pintu untuk menghadapnya. Kita bahkan nggak perlu menghadapnya karena ia lebih sering ngeluyur di luar ruangannya untuk nonton TV di luar atau ngegame atau ngobrol.
Ada yang unik saat jabatan Pemred dipegang Mas Handry TM. Hobi dia adalah ngajak makan di luar—atau beli duren di Gunungpati. Sebagai yang tertua dan dengan pangkat yang tertinggi, selalu dia yang bayar saat makan-makan di luar. Lucunya, karena di antara semua kru Redaksi cuman dia yang punya mobil dan cuman dia yang bisa nyupir mobil, otomatis dialah yang harus jadi sopir tiap kali kita pergi-pergi bareng!
Kantor kita juga nggak punya office boy. Yang ada cuman petugas kebersihan keseluruhan gedung yang pekerjaannya di Tren khusus cuman mencuci gelas/piring kotor dan mengepel lantai. Karena itu semua pekerjaan remeh temeh harus kita selesaikan sendiri.
Bikin kopi sendiri, bikin teh sendiri, kalo pengin makan gorengan juga terpaksa harus beli sendiri, kalo gula pasir pas abis ya terpaksa harus beli sendiri (ntar notanya dituker ke bagian keuangan), dan bahkan aku sebagai Wakil Pemimpin Redaksi pun harus mau angkat-junjung sendiri kalo menjumpai dispenser air kosong dan harus diganti.
Kondisi yang seperti itu membuat kita semua cepat kompak karena selalu merasa selalu sama dan senasib sepenanggungan. Nggak ada perbedaan antara orang dengan pangkat yang lebih tinggi atau lebih rendah. Beda jabatan hanya dipakai untuk ngatur sistematika pekerjaan, bukan membuat yang satu merasa lebih dibanding yang lain.
Para kru Redaksi Tren juga unik-unik. Ada Nana yang hobi nonton BF dan ngefans berat ama Hendro Kartiko, ada Dwi NR yang tiap ada cewek datang bertamu ke kantor pasti difoto dan disuruh bergaya ala fotomodel, ada Hermansah yang hobi muter MP3 lagu-lagunya Didi Kempot dan Benyamin Suaeb, ada Bambang RSD yang fotografer handal dan kalo ngantor cuman seminggu sekali (itupun paling lama cuman 1,5 jam!), ada Wawan yang selalu sok akrab sama selebritis (kalo nelpon Eross So7 selalu dengan kalimat, “Ros, piye kabare? Wingi tak goleki ra ono…!”), ada Kusnandar penuh dengan cerita-cerita aneh soal pekerjaan-pekerjaannya terdahulu, dan ada Sigit yang nggak pernah tersenyum.
Kantor kita juga kedatangan banyak makhluk unik. Ada NWU, kontributor freelance yang ahli soal musik Indonesia 1980-an dan selalu menyamakan wajah semua orang dengan wajah seleb (“Si A itu mirip Dian Sastro” atau “Si B itu mirip Alyssa Soebandono”, dlsb.). Ada juga Muhlas, tetangga kantor sebelah yang kalo cerita pasti pake suara keras menggegegar dan tiap kali nongol pasti langsung ambil gitar dan menyanyikan lagu ciptaannya sendiri dengan lirik “Manis… tutur katanya…”!
Kini semua itu udah nggak ada lagi. Tabloid Tren resmi ditutup tanggal 22 Desember 2005 lalu dan diganti dengan Olga! Girls Magazine yang akan terbit mulai 14 Februari 2006 nanti. Dan karena oleh owner Suara Merdeka (Kukrit Wicaksono MBA) seluruh kru Redaksi dianggap kampungan dan nggak gaul (jadi bukan karena mampu atau nggak mampu), kita semua di-PHK. Untuk Olga! dipilih para cewek gaul dan kaya raya (jadi bukan karena kemampuan menulis & jurnalistiknya) sebagai editor, reporter, dan kru desain grafis.
Buatku yang paling menyedihkan bukanlah sekadar kehilangan pekerjaan. Saat ini kerjaanku udah banyak dan menumpuk-numpuk. Yang paling menyedihkan adalah kehilangan Tren, kehilangan soul mate. Aku merasa kayak baru aja ditinggal kekasih tercinta entah karena meninggal gara-gara kanker otak, diputus sepihak, dia dipaksa kawin dengan cowok pilihan ortunya, atau dia menghilang karena direkrut jadi agen CIA (emange Alias!?).
Nggak ada lagi deadline seru sampe pukul 3 pagi. Nggak ada lagi acara makan sore bareng dengan menu katering berupa rawon atau soto. Nggak ada lagi acara berkerumun di depan satu komputer ketika ada yang bawa VCD film XXX baru. Nggak ada lagi balapan main NFS Underground. Nggak ada lagi perasaan harap-harap cemas nunggu apakah para peserta kerja magang angkatan berikutnya cakep atau nggak!
Hari Senin 9 Januari 2006 lalu aku menengok bekas kantorku yang sekarang kosong, gelap, pengap, dan berdebu. Aku tercenung diam lama sekali. Aku membayangkan, kalo ntar biografiku dibikin biopic oleh orang-orang Hollywood, mereka pasti memasang This Used to be My Playground-nya Madonna sebagai soundtrack pas adegan ini.
This used to be my playground
This used to be my childhood dreams
This used to be the place I ran to
Whenever I was in need of a friend
Why did it have to end…?
I think I’ve just lost my soul mate…
mbak wiwien tercinta,saya sangat kaget dengan pingsannya Majalah trend.kenapa saya bilang pingsan,semoga majalah trend yang pingsan dapat segera siuman.
BalasHapusapalgi, saat ini saya masih nyari tabloid itu. kata yang jaga counter tabloid, nggak pernah datang lagi.saya pikir,belum datang atau ada di counter majalah yang lain. tapi saya gak yakin kalo trend bener-bener pingsan.
hari ini saya juga sedang nyari tabloid trend.saya nemuin blog mbak wien, dan saya tau kenyataannya yang menyedihkan...
saya punya kenangan dengan tabloid trend.trend-lah yang pertama kali memuat cerepn saya.empat kali ngirim,1 dimuat, tapi saya nggak tau yang mana cerpen yang dimuat.sebetulnya saya ingin melihat edisi yang memuat cerpen saya.saya masih inget honornya, 71.850 ditangan saya plus kepuasan yang luar biasa saya rasakan melebihi honornya.efeknya, tangan saya jadi gatal untuk terus menulis.bahkan saya ingin sekali menulis novel ala sixta.tetapi saya sedang kalah perang dengan sebuah kehilangan.Ayah Saya meninggal 6 januari 2006. sejak itu tangan saya sekarat,tapi saya selalu berusaha untuk menggerakkan tangan saya.saya hanya punya ide dan ide yang ngumpul dan menuhin otak dan bikin bau dan bikin saya hampir gila sesaat.maksud saya, daripada bikin saya gila, mau saya keluarin dan saya masak biar jadi cerpen ato tulisan yang lezat,enak, bergizi,serta menyehatkan.
ya sudah mbak wien, saya malah gak jadi komentar, malah curhat. tapi saya yakin, mbak wien baik hati sekali untuk sekedar menyempatkan diri mendengarkan calon "downline" anda :P.yang jelas saya suka orang mabuk minum dan sakau akibat tulisan-tulisan saya.
semoga ada trend yang dulu memacu mbak wien untuk melahirkan trend yang lebih gila, lebih heboh,lebih sederhana namun berbobot,dan no gossip!
thx
terima kasih banyak buat komennya, sari. sungguh terkenyut dan terharu mengetahui ternyata setelah lebih dari 1,5 tahun ilang, tren masih ada yg nyari. tp lebih terkenyut lagi manakala dikau memanggilku "mbak" sedangkan aku ini masih berujud laki2 tulen :) tapi emang banyak yg ngira wiwien itu nama cewek dan banyak cowok2 mahasiswa yg kecele klo main ke redaksi tren begitu menjumpai ujudku yg mengerikan ini, hee..
BalasHapusanyway thanks. doakan semoga tren bisa hidup lagi ya?