Wah… akhirnya bisa posting blog lagi! Lama juga saya absen, gara-gara konflik politik penutupan Tabloid Tren dan pembukaan Majalah Olga. Untungnya, sekarang itu udah berakhir (meski nggak dengan baik-baik dan memunculkan keinginan untuk membalas dendam kayak di cerita-cerita silat, hehe…!). Yang jelas sekarang saya udah bisa balik lagi.
Topik cerita kali ini adalah soal duit yang berputar secara ajaib. Seperti kata Robert T Kiyosaki atau para dedengkot multilevel marketing, “biarkan uang yang bekerja untuk Anda, dan bukan sebaliknya”.
Beberapa waktu lalu, seorang teman pernah meng-approach saya mengenai apa yang disebut passive income. Intinya adalah penghasilan yang masuk dan melimpah ruah tanpa kita perlu aktif bekerja. Cukup dengan duduk-duduk dan menjadi pasif, uang akan terus datang tanpa henti.
Ternyata dia sedang “mengemban tugas sakral” dari Amway, yaitu nyari downline untuk jaringan marketing-nya. Inilah yang dia sebut dengan passive income tadi. Tanpa harus kerja (dalam arti kerja ngantor tiap hari atau bentuk-bentuk kerja formal lainnya), kita akan terus punya penghasilan. Yang perlu kita kerjakan hanyalah rajin-rajin mencari downline dan memperluas jaringan. Dari perkembangan downline itulah duit akan mengucur ke kantong kita.
Saya menolak tawaran untuk bergabung ke Amway dengan dua alasan. Pertama, mencari downline itu bisa jauh lebih rumit dan depressing ketimbang kegiatan ngantor Senin-Jumat 9 to 5. Bagaimana pula hal yang seperti itu bisa dikatakan sebagai passive? Dan yang kedua, karena saya sudah menemukan lapangan pekerjaan lain yang jauh lebih pasif dalam konteks passive income itu, yakni menjadi seorang penulis novel.
Yap, dunia buku adalah sebuah bidang profesi yang memiliki karakteristik perputaran uang yang paling unik dan aneh. Disebut unik karena proses aliran duitnya nggak sesederhana transasksi jual-beli dalam bidang-bidang lainnya, dan disebut aneh karena, bagi seorang pembuat novel, duit akan terus-terusan muncul sepanjang waktu tanpa batasan, cukup dengan ia menjadi pasif dalam arti pasif yang sesungguh-sungguhnya—duduk bertumpang kaki, nganggur nonton TV, main game, atau bahkan ngorok sekalipun!
Semua itu dapat terjadi berkat suatu penemuan jenius (menurut saya ini bahkan penemuan paling cerdas dalam sejarah umat manusia setelah Digger, The Sims, dan kondom!) yang disebut royalti. Royalti membuat penghasilan pengarang nggak pernah putus sepanjang bukunya masih terus dibeli orang.
Saat menerbitkan naskah menjadi buku, entah novel, antologi, atau buku nonfiksi, penerbit menentukan apa yang dinamai royalti bruto. Ini adalah nilai keseluruhan buku tersebut, didapat dari perkalian jumlah eksemplar cetakan buku dengan harga jualnya di tingkat toko buku ditambah persentase-persentase lainnya. Sesudah penandatanganan kontrak penerbitan, pengarang menerima antara 15-20% dari royalti bruto sebagai uang muka.
Sesudah itu, pengarang akan menerima lagi sebanyak 10% dari harga jual tersebut tiap ada satu eksemplar bukunya yang dibeli orang. Misal novel metro pop Anda yang seharga Rp 30 ribu hari ini laku dua eksemplar di toko buku saat Anda masih tidur nganggur di rumah, maka sambil ngorok itu Anda sudah mendapatkan durian runtuh sebanyak Rp 6.000.
Penerbit biasanya mengkalkulasi penjualan buku-bukunya dan membayarkan royalti pada pengarang tiap enam bulan sekali, Januari-Juni dan Juli-Desember. Katakanlah buku metro pop Anda itu tadi dalam tempo satu semester laku 10 ribu eksemplar, maka bayangkan berapa duit yang masuk ke kantong Anda. Semua terjadi tanpa Anda perlu mengerjakan apapun juga selain sibuk ngetik untuk bikin novel berikutnya.
Nah, pasif mana pekerjaan sebagai novelis (dan penulis buku format lainnya) ketimbang sebagai “kader” Amway (dan bisnis MLM jenis lainnya)? Pada saat para MLMers sibuk berdandan necis dengan sepatu mengkilap dan dasi mencorong untuk ngotot berpidato dalam sesi seminar dan aneka macam presentasi yang melelahkan untuk memperluas jaringan (dan biasanya berakhir dengan menderita penyakit radang tenggorokan karena terlalu banyak pidato!), para penulis buku cukup nongkrong di rumah dan menunggu “biarkan uang yang bekerja untuk Anda” dalam artian sesungguhnya!
Para novelis cukup bekerja satu kali, yaitu saat mengerjakan bukunya. Itupun nggak tepat juga dibilang pekerjaan, melainkan kesenangan. Nggak ada orang yang “memilih” atau “terpaksa” menjadi novelis dan kemudian “diterima” setelah terlebih dulu ngirim lamaran dan menjalani psikotes. Semua novelis berangkat dari hobi, dan seperti kata orang barat, “When you do something you like as your job, then you don’t have to work a day in your life”.
Setelah bukunya jadi dan dipasarkan, novelis udah nggak perlu pusing lagi. Semua tetek bengek promosi, penjualan, distribusi, dan penghitungan uang, menjadi pekerjaan penerbit, distributor, dan toko buku sepenuhnya. Pengarang boleh istirahat dan mengerjakan buku berikutnya. Kalau ia punya, katakanlah lima buku saja, maka perputaran uang kelima buku itu sudah cukup untuk membiayai kehidupan sehari-hari.
Apalagi kalau ia bisa seperti Agatha Christie, yang menghasilkan lebih dari 70 buku seumur hidup. Dan karena buku-bukunya masih terus dibeli orang sampe sekarang (salah satunya oleh saya!), maka 30 tahun sesudah ia meninggal pun, duit Agatha Christie masih terus berputar dan melimpah ruah dengan ajaibnya. Ia nggak cuman sekadar membikin dirinya sendiri kaya raya, tapi juga menjamin kehidupan anak cucunya seterusnya. Isn’t it wonderful?
Pekerjaan lain mana ada yang begitu? Eksekutip yang setinggi apapun tetep harus kerja banting tulang (mengerjakan hal-hal yang kadang belum tentu disukai) sebelum boleh dapat gaji. Pedagang hanya dapat uang dari satu kali penjualan. Selanjutnya, ia harus memproduksi dan menjual barang baru lagi untuk mengalirkan duit kembali. Dan pakar teknik sipil pembuat jembatan hanya menerima duit satu kali pas bikin tu jembatan. Di dunia teknik sipil nggak ada royalti, sehingga si pembangun juga nggak menerima bagian sekian persen tiap kali ada kendaraan yang melintasi jembatannya!
Maka baru belakangan ini saya mengerti mengapa 20 tahun lalu saya merasa “wajib” dan “harus” menjadi seorang pengarang. Ternyata saya dibawa masuk ke sebuah dunia kerja yang tiada duanya, tempat pekerjaan yang harus kita tempuh bisa diselesaikan dan dinikmati hasilnya tanpa perlu bekerja sama sekali…
0 komentar:
Posting Komentar