Sebagai manusia normal, tentu
kita sudah pernah mengunjungi pasar. Baik dalam format pasar tradisional maupun
supermarket, pasar sangat menarik karena apapun ada di sana. Mulai pakaian,
bahan pangan, hingga alat pertukangan dan bahkan senapan angin, semua ada.
Keragaman content-nya itu menjadikan pasar jauh lebih menarik daripada toko
kelontong yang serba terbatas.
Membandingkan sinetron Tanah Air
dengan serial-serial televisi sejenis produksi Amerika Serikat adalah seperti membandingkan
toko kelontong sebelah rumah dengan Pasar Johar. Yang satu sepi dan statis,
sedang yang satunya lagi demikian ingar bingar, sibuk, dan sangat dinamis.
Demikian kondisi yang ada jika
kita menarik perbandingan dari segi tema cerita. Serial-serial TV kita (dan
termasuk film-film layar lebar juga) memiliki kecenderungan yang amat tinggi
untuk “sengaja” stagnan dalam penggarapan tema. Sejak era 1980-an hingga
sekarang, selama dua dekade lebih, penonton televisi kita harus puas disuguhi
cerita yang itu-itu saja: drama rumah tangga, melodrama percintaan, drama
remaja, dan misteri klenik.
Keberadaan para sineas papan atas
seperti Dedi Setiadi, Tatiek Maliyati WS, Garin Nugroho, atau Imam Tantowi pun
tetap tak sanggup memunculkan perbaikan dalam segi ini. Ibarat kata begitu
mereka menemukan bukti secara ilmiah bahwa tempe sangat bergizi dan enak, maka
tak perlulah kita mencari dan mengerjakan menu-menu baru di luar tempe.
Salah satu judul serial AS
terbaru yang kini tengah tayang di Indonesia, yaitu CSI: Miami, menjadi bukti
keragaman tersebut. Serial ngetop yang dibintangi David Caruso, Emily Procter,
dan Kim Delaney ini mengambil tema garapan yang amat jarang disentuh para
sineas kita, yaitu dunia kepolisian. Lebih menarik lagi karena menampilkan
gambaran profesi yang amat asing dari pengetahuan keseharian kita, yakni
kehidupan para petugas lab forensik.
Dibidani kelahirannya oleh
Anthony E Zuiker, Ann Donahue, dan Carol Mendelsohn, CSI: Miami merupakan spin off (cerita sempalan) dari serial CSI: Crime Scene Investigation yang sangat spektakuler itu. Di sini, CSI: Miami mengudara lewat layar Indosiar tiap Jumat pukul 24.00 WIB, persis
setelah jam tayang serial peraih Golden Globe 2006, Lost.
Dalam CSI: Miami, bertindak sebagai
tokoh utama adalah Letnan Horatio Caine (David Caruso), kepala lab forensik
Kepolisian Miami. Di negara asalnya, serial ini hadir sejak tahun 2002 dan
hingga kini masih terus diproduksi. CBS buru-buru membuat spin off CSI karena menyadari, cepat atau lambat,
pengekor “genre” CSI pasti akan bermunculan. Jadi sebelum
kreasi Zuiker ini dijiplak, mending mereka sendiri yang membuat “tiruan
asli”-nya!
Tema lain yang selalu punya daya
tarik tinggi dan kemudian melahirkan basis fans loyal yang kadang bisa lebih
fanatik dan militan daripada kader-kader parpol adalah fantasi, termasuk di
dalamnya genre fiksi ilmiah. Amerika memiliki sederetan judul paten di lahan
ini, seperti “franchise” Star
Trek, Battlestar
Galactica, Farscape, Planet of the Apes, Land of the Giant, hingga
serial komedi Mork &
Mindy.
Beberapa di antara mereka, macam Star Trek atau Voyage
to the Bottom of the Sea, bahkan diproduksi pada dasawarsa 1960-an, ketika
teknologi sinematek masih sangat tradisional dan animasi komputer sama sekali
belum dikenal. Meski begitu, semua keterbatasan itu tidak menghalangi para
sineas negeri Paman Sam untuk berkreasi dan berimajinasi.
Yang terjadi, justru mereka
melejit dengan memanfaatkan keterbatasan-keterbatasan itu sebagai senjata.
Salah satu legenda paling terkenal dalam jagat pertelevisian AS adalah kisah
yang melatarbelakangi kehadiran “teknologi” transporter dalam pesawat bintang
Enterprise di serial Star
Trek.
Ide tentang teknologi fantastis
ini muncul ketika kreator Star
Trek, Gene Roddenberry, tak punya baik dana maupun teknologi untuk membuat
adegan pesawat raksasa Enterprise mendarat dan terbang dari planet ke planet.
Sebagai gantinya, Enterprise tak perlu mendarat, melainkan cukup para awaknya
yang didaratkan dengan cara mengurai partikel tubuh mereka untuk ditembakkan ke
planet dan kemudian di tempat tujuan direkonstruksi lagi menjadi bentuk materi
semula.
Selama ini, genre fantasi dan
fiksi ilmiah jarang dan bahkan hampir tak pernah lahir dari kreativitas para
sineas televisi kita. Alasan yang paling kerap mengemuka adalah kendala
teknologi. Kita tidak memiliki pakar-pakar animasi seperti yang dipunyai
Georghe Lucas melalui Industrial Light & Magic, yang memungkinkan
sutradara kenamaan itu menampilkan berbagai adegan spektakuler dalam serial Star Wars-nya.
Namun, belajar dari pengalaman
Roddenberry, kendala dan aral itu tidak pernah berada dalam konteks sarana dan
prasarana, melainkan hanya sebatas ada atau tidak kemauan untuk menjadi
kreatif. Maka tak heran bila belantara pertelevisian terus berkembang melebar
dan kian dalam karena para sineasnya terus berlomba melahirkan hal-hal baru
yang belum pernah dipunyai orang lain.
Bahkan dalam satu genre yang sama
pun, masing-masing sineas mempertunjukkan kebolehannya untuk menampilkan ciri
khas yang menjadi kelebihannya dibanding para kompetitor. Ambil contoh genre
soap opera alias opera sabun, yang ditayangkan pada siang hari untuk konsumsi
ibu-ibu rumah tangga di dapur.
Ratusan judul opera sabun beredar
di AS tiap tahun, namun masing-masing memiliki kekhasan yang langsung bisa membedakannya
dari judul-judul lain. Ciri khas itu terutama berada pada tema ceritanya. Dallas dan Dynasty,
dua judul opera sabun yang bersaing ketat pada akhir dekade 1980-an, menyajikan
tema yang sama sekali berbeda meski digarap dengan formula melodrama yang
persis sama.
Dallas yang dibintangi Larry Hagman,
Patrick Duffy, Barbara BelGeddes, dan Victoria Principal dan Dynasty yang menampilkan akting prima John
Forsythe, Joan Collins, dan Linda Evans sama-sama bertutur tentang suka duka
jutawan perminyakan namun dengan tema yang berbeda. Jika Dallas soal konflik internal keluarga, maka Dynasty lebih terfokus pada kisah seorang
Blake Carrington (Forsythe).
Judul-judul opera sabun lain pun
menghadirkan tematik yang saling berlainan. Ada kisah pengusaha ladang anggur
dalam Falcon Crest,
cerita di balik gemerlap dunia mode dalam The
Bold & The Beautiful, kiprah para dokter dalam General Hospital, atau
kehidupan para warga sebuah kota kecil dalam Peyton
Place.
Mengamati semua keberagaman itu,
dunia sinetron Tanah Air pun jadi terlihat amat terbelakang. Di negara yang
menganut motto “Bhinneka Tunggal Ika”, sinema layar gelas kita justru sama
sekali tak memiliki kebhinekaan yang patut dibanggakan. Tak cukup hanya itu,
para sineas kita saat ini bahkan berada dalam zaman kegelapan karena mereka tak
sekadar miskin tema, namun juga miskin daya kreasi. Mereka hanya saling
mengekor satu sama lain demi keamanan finansial rumah produksi masing-masing.
Ketika Rahasia Ilahi menjulang, mendadak televisi dipenuhi
upacara pemakaman, ustaz pidato, dan mayat berbelatung. Ketika Anglingdharma meroket, pemirsa pun dipaksa untuk
sepanjang hari menyaksikan para pendekar saling baku hantam tanpa henti. Dan
ketika ABG serta Cinta SMU melejit, para fotomodel remaja sontak
menampilkan apa yang mereka sendiri sebut sebagai “berakting”.
Ujung-ujungnya, kita juga sebagai
pemirsa yang dirugikan karena tidak pernah mendapatkan tontonan yang berfaedah
dan mencerdaskan. Mungkin kita perlu menuntut lewat YLKI, karena jika tren ini
dibiarkan, efek yang muncul akan sama gawat dengan formalin: merusak dalam
jangka panjang…
(Dimuat di
rubrik hiburan Suara Merdeka Edisi Minggu)
0 komentar:
Posting Komentar