scribo ergo sum

Minggu, 19 Februari 2006

Di Sini Seragam, di Sana Beragam

12:42 Posted by wiwien wintarto No comments

Sebagai manusia normal, tentu kita sudah pernah mengunjungi pasar. Baik dalam format pasar tradisional maupun supermarket, pasar sangat menarik karena apapun ada di sana. Mulai pakaian, bahan pangan, hingga alat pertukangan dan bahkan senapan angin, semua ada. Keragaman content-nya itu menjadikan pasar jauh lebih menarik daripada toko kelontong yang serba terbatas.
Membandingkan sinetron Tanah Air dengan serial-serial televisi sejenis produksi Amerika Serikat adalah seperti membandingkan toko kelontong sebelah rumah dengan Pasar Johar. Yang satu sepi dan statis, sedang yang satunya lagi demikian ingar bingar, sibuk, dan sangat dinamis.

Demikian kondisi yang ada jika kita menarik perbandingan dari segi tema cerita. Serial-serial TV kita (dan termasuk film-film layar lebar juga) memiliki kecenderungan yang amat tinggi untuk “sengaja” stagnan dalam penggarapan tema. Sejak era 1980-an hingga sekarang, selama dua dekade lebih, penonton televisi kita harus puas disuguhi cerita yang itu-itu saja: drama rumah tangga, melodrama percintaan, drama remaja, dan misteri klenik.
Keberadaan para sineas papan atas seperti Dedi Setiadi, Tatiek Maliyati WS, Garin Nugroho, atau Imam Tantowi pun tetap tak sanggup memunculkan perbaikan dalam segi ini. Ibarat kata begitu mereka menemukan bukti secara ilmiah bahwa tempe sangat bergizi dan enak, maka tak perlulah kita mencari dan mengerjakan menu-menu baru di luar tempe.
Salah satu judul serial AS terbaru yang kini tengah tayang di Indonesia, yaitu CSI: Miami, menjadi bukti keragaman tersebut. Serial ngetop yang dibintangi David Caruso, Emily Procter, dan Kim Delaney ini mengambil tema garapan yang amat jarang disentuh para sineas kita, yaitu dunia kepolisian. Lebih menarik lagi karena menampilkan gambaran profesi yang amat asing dari pengetahuan keseharian kita, yakni kehidupan para petugas lab forensik.
Dibidani kelahirannya oleh Anthony E Zuiker, Ann Donahue, dan Carol Mendelsohn, CSI: Miami merupakan spin off (cerita sempalan) dari serial CSI: Crime Scene Investigation yang sangat spektakuler itu. Di sini, CSI: Miami mengudara lewat layar Indosiar tiap Jumat pukul 24.00 WIB, persis setelah jam tayang serial peraih Golden Globe 2006, Lost.
Dalam CSI: Miami, bertindak sebagai tokoh utama adalah Letnan Horatio Caine (David Caruso), kepala lab forensik Kepolisian Miami. Di negara asalnya, serial ini hadir sejak tahun 2002 dan hingga kini masih terus diproduksi. CBS buru-buru membuat spin off CSI karena menyadari, cepat atau lambat, pengekor “genre” CSI pasti akan bermunculan. Jadi sebelum kreasi Zuiker ini dijiplak, mending mereka sendiri yang membuat “tiruan asli”-nya!
Tema lain yang selalu punya daya tarik tinggi dan kemudian melahirkan basis fans loyal yang kadang bisa lebih fanatik dan militan daripada kader-kader parpol adalah fantasi, termasuk di dalamnya genre fiksi ilmiah. Amerika memiliki sederetan judul paten di lahan ini, seperti “franchise Star Trek, Battlestar Galactica, Farscape, Planet of the Apes, Land of the Giant, hingga serial komedi Mork & Mindy.
Beberapa di antara mereka, macam Star Trek atau Voyage to the Bottom of the Sea, bahkan diproduksi pada dasawarsa 1960-an, ketika teknologi sinematek masih sangat tradisional dan animasi komputer sama sekali belum dikenal. Meski begitu, semua keterbatasan itu tidak menghalangi para sineas negeri Paman Sam untuk berkreasi dan berimajinasi.
Yang terjadi, justru mereka melejit dengan memanfaatkan keterbatasan-keterbatasan itu sebagai senjata. Salah satu legenda paling terkenal dalam jagat pertelevisian AS adalah kisah yang melatarbelakangi kehadiran “teknologi” transporter dalam pesawat bintang Enterprise di serial Star Trek.
Ide tentang teknologi fantastis ini muncul ketika kreator Star Trek, Gene Roddenberry, tak punya baik dana maupun teknologi untuk membuat adegan pesawat raksasa Enterprise mendarat dan terbang dari planet ke planet. Sebagai gantinya, Enterprise tak perlu mendarat, melainkan cukup para awaknya yang didaratkan dengan cara mengurai partikel tubuh mereka untuk ditembakkan ke planet dan kemudian di tempat tujuan direkonstruksi lagi menjadi bentuk materi semula.
Selama ini, genre fantasi dan fiksi ilmiah jarang dan bahkan hampir tak pernah lahir dari kreativitas para sineas televisi kita. Alasan yang paling kerap mengemuka adalah kendala teknologi. Kita tidak memiliki pakar-pakar animasi seperti yang dipunyai Georghe Lucas melalui Industrial Light & Magic, yang memungkinkan sutradara kenamaan itu menampilkan berbagai adegan spektakuler dalam serial Star Wars-nya.
Namun, belajar dari pengalaman Roddenberry, kendala dan aral itu tidak pernah berada dalam konteks sarana dan prasarana, melainkan hanya sebatas ada atau tidak kemauan untuk menjadi kreatif. Maka tak heran bila belantara pertelevisian terus berkembang melebar dan kian dalam karena para sineasnya terus berlomba melahirkan hal-hal baru yang belum pernah dipunyai orang lain.
Bahkan dalam satu genre yang sama pun, masing-masing sineas mempertunjukkan kebolehannya untuk menampilkan ciri khas yang menjadi kelebihannya dibanding para kompetitor. Ambil contoh genre soap opera alias opera sabun, yang ditayangkan pada siang hari untuk konsumsi ibu-ibu rumah tangga di dapur.
Ratusan judul opera sabun beredar di AS tiap tahun, namun masing-masing memiliki kekhasan yang langsung bisa membedakannya dari judul-judul lain. Ciri khas itu terutama berada pada tema ceritanya. Dallas dan Dynasty, dua judul opera sabun yang bersaing ketat pada akhir dekade 1980-an, menyajikan tema yang sama sekali berbeda meski digarap dengan formula melodrama yang persis sama.
Dallas yang dibintangi Larry Hagman, Patrick Duffy, Barbara BelGeddes, dan Victoria Principal dan Dynasty yang menampilkan akting prima John Forsythe, Joan Collins, dan Linda Evans sama-sama bertutur tentang suka duka jutawan perminyakan namun dengan tema yang berbeda. Jika Dallas soal konflik internal keluarga, maka Dynasty lebih terfokus pada kisah seorang Blake Carrington (Forsythe).
Judul-judul opera sabun lain pun menghadirkan tematik yang saling berlainan. Ada kisah pengusaha ladang anggur dalam Falcon Crest, cerita di balik gemerlap dunia mode dalam The Bold & The Beautiful, kiprah para dokter dalam General Hospital, atau kehidupan para warga sebuah kota kecil dalam Peyton Place.
Mengamati semua keberagaman itu, dunia sinetron Tanah Air pun jadi terlihat amat terbelakang. Di negara yang menganut motto “Bhinneka Tunggal Ika”, sinema layar gelas kita justru sama sekali tak memiliki kebhinekaan yang patut dibanggakan. Tak cukup hanya itu, para sineas kita saat ini bahkan berada dalam zaman kegelapan karena mereka tak sekadar miskin tema, namun juga miskin daya kreasi. Mereka hanya saling mengekor satu sama lain demi keamanan finansial rumah produksi masing-masing.
Ketika Rahasia Ilahi menjulang, mendadak televisi dipenuhi upacara pemakaman, ustaz pidato, dan mayat berbelatung. Ketika Anglingdharma meroket, pemirsa pun dipaksa untuk sepanjang hari menyaksikan para pendekar saling baku hantam tanpa henti. Dan ketika ABG serta Cinta SMU melejit, para fotomodel remaja sontak menampilkan apa yang mereka sendiri sebut sebagai “berakting”.
Ujung-ujungnya, kita juga sebagai pemirsa yang dirugikan karena tidak pernah mendapatkan tontonan yang berfaedah dan mencerdaskan. Mungkin kita perlu menuntut lewat YLKI, karena jika tren ini dibiarkan, efek yang muncul akan sama gawat dengan formalin: merusak dalam jangka panjang…


(Dimuat di rubrik hiburan Suara Merdeka Edisi Minggu)

0 komentar:

Posting Komentar