scribo ergo sum

Minggu, 12 Maret 2006

Agar Melek Film

12:44 Posted by wiwien wintarto No comments
Richard Roeper & Roger Ebert
Dalam dunia pertelevisian, Amerika Serikat adalah trendsetter dan “suri tauladan” yang harus ditiru serta diikuti demi kesuksesan, baik dalam reputasi maupun dalam urusan gemerincing uang. Jaringan-jaringan TV di seluruh dunia relatif hanya menunggu apa yang meroket di sana untuk diterapkan secara lokal, dan hanya segelintir yang merupakan kreasi asli buatan sendiri.
Di Indonesia pun, stasiun TV, produser, dan kreator layar kaca cenderung untuk selalu pasif dan hanya siap sedia menjadi “mesin fotokopi” bagi apapun yang menghasilkan rating tinggi di AS. Itu berlaku sejak mulai film seri, acara dokumenter, reality show, variety show, hingga talk show dan kuis.

Namun di antara sederetan jenis acara TV Amerika yang ditiru di sini, tetap ada beberapa programa yang tak juga kunjung disadur meski seharusnya pantas dan bahkan harus secepat mungkin diindonesiakan, atau setidaknya ditayangkan di sini. Salah satunya adalah acara talk show unik yang berjudul Ebert & Roeper.
Disebut unik karena programa ini menampilkan obrolan yang tak dipunyai acara lain sejenis, yaitu kritik film. Dipandu dua kolumnis dari koran Chicago Sun-Times, Roger Ebert dan Richard Roeper, Ebert & Roeper memberikan ulasan dan analisis secara mendalam terhadap film-film terbaru yang dirilis di Amerika, baik produksi Hollywood sendiri maupun film-film berbahasa asing dari negara lain.
Dalam tiap episode yang berdurasi 30 menit, mereka biasanya mengulas antara tiga hingga lima judul film sekaligus. Dengan cita rasa dan penilaian yang objektif namun tajam, Ebert dan Roeper akan memberikan predikat “thumbs up” untuk film-film yang mereka anggap berkualitas dan “thumbs down” untuk film-film yang bermutu seadanya.
Unsur paling menarik dalam talk show ini bukan hanya mengetahui penilaian akhir mereka terhadap satu judul film, melainkan juga proses ke arah tersebut. Ya, Ebert dan Roeper tidak langsung bersepakat mengajukan penilaian, melainkan mendahuluinya dengan debat dan adu argumen yang sangat seru, sebelum pada akhirnya sama-sama sampai pada kesimpulan yang sama.
Perdebatan yang pedas dan kadang menyertakan ejekan-ejekan sarkastis inilah yang membuat Ebert & Roeper begitu digilai pemirsanya. Hebatnya, meski di layar kaca keduanya saling adu mulut dengan keras, di luar studio mereka tetap menjadi rekanan dan sahabat yang sangat dekat dan selalu tampil bareng dalam berbagai kesempatan.
Kini, acara tersebut tak hanya mampu meraih popularitas tinggi namun juga pengaruh besar secara “politis” dalam industri perfilman Hollywood. Ketika sebuah judul film menghasilkan ulasan positif dari mereka dalam acara screening (pemutaran khusus untuk konsumsi pers dan kritikus film), pihak studio selalu memajang kutipan kata-kata Ebert dan Roeper terhadap film tersebut di poster-poster, iklan media, dan trailer-nya.
Dan sebagaimana yang sudah terbukti selama kira-kira satu dasawarsa terakhir, pujian dari kedua kritikus kenamaan itu memang selalu berbanding lurus dengan angka penjualan tiket. Penonton berbondong-bondong menyaksikan sebuah film yang mendapat “thumbs up”, entah karena merasa mendapatkan “restu” untuk menonton entah itu hanya karena penasaran untuk membuktikan kebenaran analisis Ebert dan Roeper.
Tahun 2005 kemarin, acara Ebert & Roeper merayakan hari jadinya yang ke-30. Embrio programa tersebut dimulai pada tahun 1975 oleh Ebert bersama partner lawasnya, almarhum Gene Siskel. Sebagai sesama kritikus film, waktu itu mereka membawakan acara ulasan film Coming Soon to a Theater Near You buatan stasiun TV pendidikan PBS yang diproduksi oleh stasiun TV lokal Chicago, WTTW.
Tahun 1978, nama acara itu diubah menjadi Sneak Previews dan dengan cepat mampu mengumpulkan pemirsa setia di lingkup nasional. Tiga tahun kemudian, Ebert dan Siskel cabut karena masalah ketidaksepakatan kontrak dengan PBS dan membentuk perusahaan sendiri bernama Tribune Entertainment. Dengan bendera baru, mereka memproduksi acara ulasan film yang diberi titel At the Movies.
Eksperimen ini tak berlangsung lama karena pada tahun 1986 mereka sepakat untuk bergabung dengan Buena Vista Entertainment, divisi televisi dari studio besar Disney. Di situ, mereka membintangi programa baru lagi yang bernama Ebert & Siskel and the Movies.
Kebersamaan Ebert dan Siskel berlangsung selama 13 tahun sampai Siskel mulai terserang tumor otak tahun 1998 dan harus menjalani operasi. Meski demikian, the show must go on dengan Siskel memberikan ulasan dan argumen lewat pesawat telepon dari rumah sakit.
Episode tertanggal 23 Januari 1999 menjadi saat terakhir Ebert dan Siskel masih bersama-sama mengkritik film. Saat itu film-film yang mereka ulas adalah At First Sight, Another Day in Paradise, Hi-Lo Country, Playing by Heart, dan The Theory of Flight. Awal Februari 1999, Siskel memutuskan untuk cabut secara permanen dan tiga pekan kemudian meninggal karena komplikasi parah.
Pascakepergian Siskel, nama acara diganti menjadi Roger Ebert & The Movies. Sepanjang musim 1999, Ebert memandu acara seorang diri dan hanya didampingi para kritikus tamu. Memasuki musim 2000, salah seorang kritikus tamu tersebut, Richard Roeper, akhirnya terpilih sebagai mitra tetap untuk menggantikan posisi Gene Siskel.
Dalam musim terbaru saat ini, salah satu segmen paling menarik dari Ebert & Roeper adalah The Wagging Finger of Shame. Dalam segmen ini, mereka mengolok-olok beberapa judul film yang tidak diputar dalam screening untuk para kritikus. Ini terjadi biasanya karena pihak studio sejak awal sudah menyadari film mereka benar-benar berkualitas rendah sehingga menyajikan screening untuk kolumnis sama saja dengan tindakan bunuh diri!
Film-film yang mendapat “kehormatan” untuk dipajang dalam segmen The Wagging Finger of Shame beberapa di antaranya adalah The Amityville Horror, The Fog, In the Mix, Aeon Flux, Underworld: Evolution, dan Date Movie. Lucunya, terlepas dari label “thumbs down” yang disematkan Ebert dan Roeper, judul-judul ini sama-sama sukses mengeruk dolar dalam daftar box office.
Secara umum, kritik yang disajikan keduanya (dan para kritikus lain) memang boleh dibilang tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap angka penjualan tiket semua film. Sebuah film yang dicerca para kritikus tetap dapat mengumpulkan penonton dalam jumlah besar, karena sebagian besar penonton memang lebih gampang terpikat dengan sekuen laga, pamor bintang, animasi komputer, serta efek visual yang canggih.
Dan fenomena ini dibenarkan oleh Ebert sendiri. “Kata-kata kritikus tak punya arti untuk film-film berbujet besar yang didukung dana promosi melimpah,” katanya. “Tugas kami sebetulnya hanyalah menunjukkan pada penonton, film-film kecil berbiaya murah serta film-film asing berkualitas yang selama ini tak pernah Anda dengar dan lihat melalui media.”
Namun pada gilirannya, sebuah acara TV seunik Ebert & Roeper tetap akan membantu meningkatkan apresiasi penonton pada film. Penonton bakal menjadi sedikit lebih terpelajar untuk melek terhadap batasan mana film bagus dan mana yang bukan, serta tak hanya sekadar melahap mentah-mentah apa yang tersaji di gedung bioskop.
Kita jelas-jelas amat memerlukan programa seperti ini. Sejauh ini, acara-acara sinema di TV kita seperti Cinema Cinema (RCTI), Layar Lebar (Metro TV), atau Nomat (Trans TV) hanya mengumbar informasi mentah belaka tanpa ada satupun unsur pembelajaran untuk membuat kita paham mengapa Crash menang Oscar dan mengapa Stealth serta Fantastic 4 masuk nominasi saja tidak.


(Dimuat di rubrik hiburan Suara Merdeka Edisi Minggu)

0 komentar:

Posting Komentar