(*** out of *****)
Film Indonesia kerap dituding sebagai
sebuah dunia yang miskin, tidak saja intensifikasi, tapi juga diversifikasi.
Dari tahun ke tahun, tak pernah tersedia cukup banyak pilihan variasi tema buat
penonton. Yang hadir selalu saja drama percintaan, drama remaja, dan
misteri-klenik.
Karena itu ketika film terbaru arahan Rudi
Soedjarwo yang berjudul 9
Naga dirilis, harapan baru
pun membuncah. Film ini bertutur tentang sebuah dunia (pekerjaan) yang sangat
“eksotis” dan hampir-hampir selalu luput dari perhatian orang banyak, yaitu
lika-liku para pembunuh bayaran.
Dikisahkan tiga orang pembunuh bayaran
yang merupakan sahabat dekat sejak kecil. Mereka adalah Marwan (Lukman Sardi),
yang dianggap sebagai saudara tertua, dan Donny (Donny Alamsyah) serta Lenny
(Fauzi Baadillah). Ketiganya telah menjalani profesi itu selama 13 tahun.
Mereka menerima order pembunuhan dari Dipo (Toro Margens), seorang kepala
gangster yang berprofesi sebagai manajer sebuah rumah biliar.
Sebelum menjalankan order yang pertama,
membunuh seorang tokoh penting dengan pisau, Donny mengatakan pada Marwan bahwa
ini akan menjadi pembunuhannya yang terakhir. Selanjutnya ia ingin cuti
panjang. Namun rencana itu berantakan ketika adiknya butuh uang Rp 10 juta
untuk mendaftar kuliah. Donny pun kembali beraksi ketika Marwan mendapatkan
order lagi dari Dipo.
Kali ini, mereka harus membunuh dua orang
tokoh yang tengah bersantap di sebuah warung. Malang, gerak-gerik mereka telah
tercium polisi. Ketika baru satu target yang berhasil ditembak jatuh, Marwan cs
terlibat kontak senjata dengan polisi. Dan dalam kekalutan, Marwan justru salah
menembak Donny yang ia kira polisi. Donny pun tewas sebelum sempat memperoleh
honor yang sedianya akan ia berikan pada adiknya.
Insiden tragis ini membuat Marwan amat
terpukul dan merubah total kepribadiannya. Dari pria sangar yang keras dan
dingin, ia menjelma menjadi insan sejati yang penuh dengan kepekaan nurani dan
dramatisasi diri serta kata-kata. Ia mulai peduli pada Ajeng (Ajeng Sardi),
isterinya, dan anaknya lelaki semata wayang.
Ia bahkan mulai berpikir untuk membelikan
keluarganya sebuah rumah idaman. Karena tabungannya yang hanya bernilai Rp 2
juta dikatakan “masih agak jauh” oleh petugas sales perumahan yang mematok
harga cash Rp 120 juta, ia pun nekat meminta kekurangan honor order
pembunuhannya yang terakhir pada Dipo.
Sayang Dipo menolak mentah-mentah
permintaan itu. Kesal karena ditolak dan dimaki-maki, Marwan menghabisi Dipo
dan menguras isi kas Dipo untuk dipakainya membeli rumah buat keluarganya. Lalu
ia menjadi pelarian yang terpaksa bersembunyi dari kejaran baik polisi maupun
para anak buah Dipo.
Ada pula subplot yang melibatkan Lenny
dengan dua pengelola warung tuak Batak tempat ia biasa minum. Warung itu milik
seorang pria tua Tapanuli yang diperankan aktor kawakan Dorman Borisman dan
keponakannya, Rosminah (Desi Floresita). Rupa-rupanya, Lenny menyukai Rosminah
tapi tidak tahu bagaimana harus memulai bicara.
Secara umum, 9 Naga menampilkan banyak gambaran yang
selama ini jarang tersentuh kamera para sineas kita. Film ini berlokasi di
gang-gang sempit kelas menengah ke bawah di Jakarta yang sedikit lebih kotor
dari kafe, mal, salon, atau kantor-kantor ber-AC yang kerap tampil di film-film
Indonesia masa kini, dan sedikit lebih bersih dari gang-gang kumuh pinggir kali
yang sering hadir di film-film Garin Nugroho.
Ada pula satu adegan komedik yang sangat
langka dan menyentuh, yaitu ketika Marwan membawa anaknya ditimbang di
posyandu. Terpaksa ia sendiri yang membawanya karena Ajeng lumpuh setelah
beberapa tahun yang lalu tertabrak angkot. Marwan yang tak sabaran nekat
menerobos antrean dan hendak menyogok para petugas dengan uang Rp 50 ribu agar
anaknya bisa mendapatkan dispensasi.
Sayang 9
Naga justru gagal total
dalam premis yang ditawarkannya sendiri. Dan seperti biasa, kegagalan terbesar
yang dialami sebagian besar sineas kita adalah saat mencoba-coba menggambarkan
dunia kerja yang berada jauh baik di luar frame pengetahuan mereka maupun di
luar perhatian masyarakat awam.
Sebagaimana ketika Gunawan Paggaru gagal
total saat menampilkan belantara jurnalisme televisi dalam Issue (2004), kali ini Rudi Soedjarwo gagal
pula (meski belum total!) saat mencoba bergaul dengan lika-liku kehidupan para
pembunuh bayaran. “Pengetahuan baru” soal mereka hanya ada dalam adegan saat
Dipo memberi order dan saat Marwan cs dengan rapi melakukan eksekusi.
Selanjutnya, 9 Naga lebih sibuk dalam menampilkan kepekaan
dan efek-efek dramatis yang terjadi dalam diri Marwan sesudah peristiwa salah
tembak itu. Ia jadi kerap terlibat dalam obrolan-obrolan penuh drama baik
dengan Ajeng maupun dengan adik almarhum Donny (Marcel Anthony), termasuk saat
ia memberikan buku komik 9
Naga yang jadi kegemaran
mereka bertiga pada adik Donny.
Bicara soal kualitas akting, seperti
lazimnya film nasional masa kini, sama sekali tak ada terobosan baru yang
fenomenal. Maklum, para aktor dan aktris zaman sekarang kan tidak merupakan
hasil pembenihan dari pentas-pentas dan kelompok-kelompok teater, melainkan
hasil “audisi” dari berbagai kontes modelling.
Penampilan yang berhasil mencuri perhatian
tetap saja datang dari para tokoh lama “warisan” dunia film Indonesia pradekade
1900-an, yaitu Toro Margens dan Dorman Borisman. Akting Desi Floresita sebagai Rosminah
juga patut diberi nilai tersendiri, terlebih karena ia sama sekali tidak
kebagian jatah dialog sepanjang durasi film.
Tapi unsur yang relatif selalu hadir dalam
sebagian besar judul film kita adalah lubang logika (logic hole). Itu
terjadi dalam adegan baku tembak di warung dalam order pembunuhan yang kedua.
Pertama, pembunuhan di tempat umum secara terang-terangan dengan menggunakan
senjata api jelas akan menjadi sebuah kasus kriminalitas yang amat
menggemparkan seluruh Indonesia.
Dan kedua, ke mana para polisi saat Marwan
tengah sibuk meratapi Donny yang tengah meregang nyawa? Fakta bahwa ia berhasil
lolos dari kepungan polisi dan masyarakat sambil menggotong-gotong mayat Donny
serta sekaligus masih sempat membuang jenazah itu ke sungai dengan rapi juga
amat mengganggu logika.
Masih ada lagi satu fakta yang amat
pincang di akhir cerita. Jika Marwan bisa menulis sepucuk surat kepada
isterinya dengan kata-kata yang begitu puitis dan tertata secara artistik
sampai ia bisa menemukan istilah “pulang ke hatimu”, mengapa ia harus
merepotkan dirinya sendiri dengan menjadi pembunuh bayaran?
Duduk manis saja seharian di depan mesin
ketik bekas untuk menulis cerpen, puisi, atau novel pasti akan menghasilkan
duit (yang halal) untuk membayar DP cicilan rumah yang ia idam-idamkan. Dan ia
pada akhirnya tidak perlu memperlihatkan semua ekspresi dramatis itu pada kita
semua…
(Dimuat di Suara Merdeka, Minggu 15
Januari 2006)
0 komentar:
Posting Komentar