scribo ergo sum

Minggu, 15 Januari 2006

Lubang Logika "9 Naga"

13:08 Posted by wiwien wintarto No comments

(*** out of *****)

Film Indonesia kerap dituding sebagai sebuah dunia yang miskin, tidak saja intensifikasi, tapi juga diversifikasi. Dari tahun ke tahun, tak pernah tersedia cukup banyak pilihan variasi tema buat penonton. Yang hadir selalu saja drama percintaan, drama remaja, dan misteri-klenik.
Karena itu ketika film terbaru arahan Rudi Soedjarwo yang berjudul 9 Naga dirilis, harapan baru pun membuncah. Film ini bertutur tentang sebuah dunia (pekerjaan) yang sangat “eksotis” dan hampir-hampir selalu luput dari perhatian orang banyak, yaitu lika-liku para pembunuh bayaran.

Dikisahkan tiga orang pembunuh bayaran yang merupakan sahabat dekat sejak kecil. Mereka adalah Marwan (Lukman Sardi), yang dianggap sebagai saudara tertua, dan Donny (Donny Alamsyah) serta Lenny (Fauzi Baadillah). Ketiganya telah menjalani profesi itu selama 13 tahun. Mereka menerima order pembunuhan dari Dipo (Toro Margens), seorang kepala gangster yang berprofesi sebagai manajer sebuah rumah biliar.
Sebelum menjalankan order yang pertama, membunuh seorang tokoh penting dengan pisau, Donny mengatakan pada Marwan bahwa ini akan menjadi pembunuhannya yang terakhir. Selanjutnya ia ingin cuti panjang. Namun rencana itu berantakan ketika adiknya butuh uang Rp 10 juta untuk mendaftar kuliah. Donny pun kembali beraksi ketika Marwan mendapatkan order lagi dari Dipo.
Kali ini, mereka harus membunuh dua orang tokoh yang tengah bersantap di sebuah warung. Malang, gerak-gerik mereka telah tercium polisi. Ketika baru satu target yang berhasil ditembak jatuh, Marwan cs terlibat kontak senjata dengan polisi. Dan dalam kekalutan, Marwan justru salah menembak Donny yang ia kira polisi. Donny pun tewas sebelum sempat memperoleh honor yang sedianya akan ia berikan pada adiknya.
Insiden tragis ini membuat Marwan amat terpukul dan merubah total kepribadiannya. Dari pria sangar yang keras dan dingin, ia menjelma menjadi insan sejati yang penuh dengan kepekaan nurani dan dramatisasi diri serta kata-kata. Ia mulai peduli pada Ajeng (Ajeng Sardi), isterinya, dan anaknya lelaki semata wayang.
Ia bahkan mulai berpikir untuk membelikan keluarganya sebuah rumah idaman. Karena tabungannya yang hanya bernilai Rp 2 juta dikatakan “masih agak jauh” oleh petugas sales perumahan yang mematok harga cash Rp 120 juta, ia pun nekat meminta kekurangan honor order pembunuhannya yang terakhir pada Dipo.
Sayang Dipo menolak mentah-mentah permintaan itu. Kesal karena ditolak dan dimaki-maki, Marwan menghabisi Dipo dan menguras isi kas Dipo untuk dipakainya membeli rumah buat keluarganya. Lalu ia menjadi pelarian yang terpaksa bersembunyi dari kejaran baik polisi maupun para anak buah Dipo.
Ada pula subplot yang melibatkan Lenny dengan dua pengelola warung tuak Batak tempat ia biasa minum. Warung itu milik seorang pria tua Tapanuli yang diperankan aktor kawakan Dorman Borisman dan keponakannya, Rosminah (Desi Floresita). Rupa-rupanya, Lenny menyukai Rosminah tapi tidak tahu bagaimana harus memulai bicara.
Secara umum, 9 Naga menampilkan banyak gambaran yang selama ini jarang tersentuh kamera para sineas kita. Film ini berlokasi di gang-gang sempit kelas menengah ke bawah di Jakarta yang sedikit lebih kotor dari kafe, mal, salon, atau kantor-kantor ber-AC yang kerap tampil di film-film Indonesia masa kini, dan sedikit lebih bersih dari gang-gang kumuh pinggir kali yang sering hadir di film-film Garin Nugroho.
Ada pula satu adegan komedik yang sangat langka dan menyentuh, yaitu ketika Marwan membawa anaknya ditimbang di posyandu. Terpaksa ia sendiri yang membawanya karena Ajeng lumpuh setelah beberapa tahun yang lalu tertabrak angkot. Marwan yang tak sabaran nekat menerobos antrean dan hendak menyogok para petugas dengan uang Rp 50 ribu agar anaknya bisa mendapatkan dispensasi.
Sayang 9 Naga justru gagal total dalam premis yang ditawarkannya sendiri. Dan seperti biasa, kegagalan terbesar yang dialami sebagian besar sineas kita adalah saat mencoba-coba menggambarkan dunia kerja yang berada jauh baik di luar frame pengetahuan mereka maupun di luar perhatian masyarakat awam.
Sebagaimana ketika Gunawan Paggaru gagal total saat menampilkan belantara jurnalisme televisi dalam Issue (2004), kali ini Rudi Soedjarwo gagal pula (meski belum total!) saat mencoba bergaul dengan lika-liku kehidupan para pembunuh bayaran. “Pengetahuan baru” soal mereka hanya ada dalam adegan saat Dipo memberi order dan saat Marwan cs dengan rapi melakukan eksekusi.
Selanjutnya, 9 Naga lebih sibuk dalam menampilkan kepekaan dan efek-efek dramatis yang terjadi dalam diri Marwan sesudah peristiwa salah tembak itu. Ia jadi kerap terlibat dalam obrolan-obrolan penuh drama baik dengan Ajeng maupun dengan adik almarhum Donny (Marcel Anthony), termasuk saat ia memberikan buku komik 9 Naga yang jadi kegemaran mereka bertiga pada adik Donny.
Bicara soal kualitas akting, seperti lazimnya film nasional masa kini, sama sekali tak ada terobosan baru yang fenomenal. Maklum, para aktor dan aktris zaman sekarang kan tidak merupakan hasil pembenihan dari pentas-pentas dan kelompok-kelompok teater, melainkan hasil “audisi” dari berbagai kontes modelling.
Penampilan yang berhasil mencuri perhatian tetap saja datang dari para tokoh lama “warisan” dunia film Indonesia pradekade 1900-an, yaitu Toro Margens dan Dorman Borisman. Akting Desi Floresita sebagai Rosminah juga patut diberi nilai tersendiri, terlebih karena ia sama sekali tidak kebagian jatah dialog sepanjang durasi film.
Tapi unsur yang relatif selalu hadir dalam sebagian besar judul film kita adalah lubang logika (logic hole). Itu terjadi dalam adegan baku tembak di warung dalam order pembunuhan yang kedua. Pertama, pembunuhan di tempat umum secara terang-terangan dengan menggunakan senjata api jelas akan menjadi sebuah kasus kriminalitas yang amat menggemparkan seluruh Indonesia.
Dan kedua, ke mana para polisi saat Marwan tengah sibuk meratapi Donny yang tengah meregang nyawa? Fakta bahwa ia berhasil lolos dari kepungan polisi dan masyarakat sambil menggotong-gotong mayat Donny serta sekaligus masih sempat membuang jenazah itu ke sungai dengan rapi juga amat mengganggu logika.
Masih ada lagi satu fakta yang amat pincang di akhir cerita. Jika Marwan bisa menulis sepucuk surat kepada isterinya dengan kata-kata yang begitu puitis dan tertata secara artistik sampai ia bisa menemukan istilah “pulang ke hatimu”, mengapa ia harus merepotkan dirinya sendiri dengan menjadi pembunuh bayaran?
Duduk manis saja seharian di depan mesin ketik bekas untuk menulis cerpen, puisi, atau novel pasti akan menghasilkan duit (yang halal) untuk membayar DP cicilan rumah yang ia idam-idamkan. Dan ia pada akhirnya tidak perlu memperlihatkan semua ekspresi dramatis itu pada kita semua…


(Dimuat di Suara Merdeka, Minggu 15 Januari 2006)

0 komentar:

Posting Komentar