scribo ergo sum

Selasa, 11 Oktober 2005

Tanpa Plot Utama

15:44 Posted by wiwien wintarto No comments
Judul: It’s My Solitaire
Pengarang: Maya Lestari Gf.
Penerbit: DAR! Mizan, Bandung
Tebal: 236 halaman
Cetakan: Ke-1 (September 2005)
Genre: Drama
Harga: Rp 28.000
My Grade: C+

Pernahkah kamu bertemu dengan seseorang yang kotor, kumal, berpakaian compang-camping, dan mendadak suka ketawa atau menangis sendiri tanpa sebab? Yap, itulah yang biasa kita sebut dengan orgil alias orang gila. Dalam istilah mediknya, mereka mengidap skizofrenia. Pengidap penyakit ini hidup dalam dunia khayal yang seakan-akan nyata baginya.
It’s My Solitaire karangan penulis asal Padangpanjang, Sumatera Barat, Maya Lestari Gf., bicara soal seorang penderita skizofrenia bernama Dean. Jiwanya terganggu karena mempunyai masa kecil yang traumatis. Ia kerap disiksa Andini, nyokapnya yang gila, dan bahkan nyaris mati ketika terjebak dalam rumah yang dibakar ibunya sendiri.

Memasuki masa remaja, Dean dirawat di RSJ Raflesia di bawah pengawasan Rania, tantenya yang juga seorang dokter jiwa. Ketika dirasa udah sembuh, Dean dikeluarkan dari Raflesia dan diasuh oleh Rania. Dari sana, ia kemudian pindah ke rumah kos sesudah ia diterima sebagai mahasiswa di Global University.
Hidupnya berubah ketika ia mulai menulis diary. Gara-gara bingung akan nulis apa, Dean kemudian malah sibuk mengamati tingkah laku para penghuni Apartemen Waskita yang berlokasi di seberang jalan rumah kosnya. Di sana, ia menemukan banyak sekali karakter yang amat menarik.
Ada suami-isteri Hariguna yang selalu murung, ada Vonnie yang selalu ceria, ada tiga bersaudara Prem yang punya watak saling bertolak belakang, dan ada juga Nyonya Jane yang tinggal sendirian bersama seekor kucing. Polah merekalah yang akhirnya ia tuliskan ke diary-nya. Selama tiga setengah tahun ngekos, “serial” Diary Waskita-nya udah mencapai 38 jilid!
Pengamatannya menjadi cerita heboh ketika muncul seorang penghuni baru di Apartemen Waskita yang bernama Julian. Cowok misterius berambut panjang ini kayak punya agenda misterius untuk merusak para penghuni Waskita. Pertama, Vonnie dibikin nyaris bunuh diri. Dan kedua, pasangan suami-isteri Sam dan Angelie bercerai cuman karena suatu masalah yang sepele. Semua terjadi gara-gara hasutan Julian.
Ketika Dean terpanggil untuk menghentikan niat jahat Julian, tirai pun tersibak. Tiga setengah tahun dan 38 jilid Diary Waskita tu ternyata cuman hidup dalam halusinasinya. Mirip ama khayalan tentang kehidupan spionase yang dialami John Forbes Nash (Russel Crowe) dalam film A Beautiful Mind.
Pertama sekali, ini novel remaja yang luar biasa. Pilihan tematiknya, permasalahannya, dan detailnya, semua terasa kayak langit dan bumi dibandingin dengan “junk food literature” novel-novel teenlit yang gak pernah mengulas permasalahan yang lebih dalem ketimbang hanya “Si-A-yang-naik-BMW-naksir-si-B-yang-naik-Jaguar”.
Maya Lestari membawa kita masuk jauh ke dunia psikologi lengkap dengan paparan soal skizofrenia, cogentin, thorazine, dan trilafon. Ada pula footnote di sana-sini untuk memperkuat kadar keilmiahan semua paparan itu. Ini tentu saja jauh lebih bermanfaat ketimbang hanya sekadar tahu merek-merek mobil mewah, denah mal-mal besar di Jakarta, atau prosedur meni-pedi di salon.
Sayang ia meninggalkan sebuah lubang besar di buku ini, yaitu main plot. It’s My Solitaire sama sekali nggak punya plot utama. Dalam kasus film A Beautiful Mind, episode spion khayalan yang dialami Nash adalah subplot, sedang main plot-nya adalah kisah hidupnya dalam memerangi penyakit skizofrenia itu hingga akhirnya ia berhasil meraih Hadiah Nobel Ekonomi tahun 1994.
Sutradara beken Ron Howard meraih Oscar untuk film ini karena berhasil menjalin pasangan plot itu dengan sempurna. Ada cerita yang hanya hidup di benak Nash, dan ada pula cerita nyata yang sungguh-sungguh terjadi.
Dongeng seru tentang Julian dan para penghuni Apartemen Waskita amat menarik digambarkan sebagai halusinasi yang dialami Dean. Namun ia sendiri ternyata nggak mengalami masalah apa-apa di dunia nyata. Bahkan sama sekali nggak ada cerita atau plot tentang ini.
Akibatnya, ketika pada halaman-halaman akhir kita tahu semua kisah tentang Apartemen Waskita hanya semu belaka, kita pun jadi lemes karena seolah kita juga nggak membaca cerita apapun. Mirip ama kalo kita nonton sebuah film horor tentang seorang tokoh yang panik dikejar-kejar kawanan zombie sepanjang durasi film kemudian di adegan klimaks tokoh ini terbangun dan menyadari semua itu tadi ternyata cuman mimpi!
Akan jadi beda kalo Maya juga ngasih plot paralel tentang kisah hidup Dean di dunia nyata kampusnya. Mungkin ia naksir atau ditaksir seorang mahasiswi dan kisah hubungan mereka jadi ruwet karena, di benak Dean, sosok cewek gebetannya tercampur-campur dengan tokoh-tokoh khayalan dari Apartemen Waskita di seberang jalan.
Lubang lain yang lebih parah berada pada aspek logis plot cerita dalam halusinasi Dean itu. Hingga akhir nggak pernah jelas apa alasan dan motivasi Julian untuk merusak kehidupan para penghuni Apartemen Waskita termasuk gumamannya di depan dinding tentang “Hidup ini indah kan, Vonnie? Sangat indah kan Vonnie? Indah kan, Vonnie?” yang diulang-ulang mirip echo mikrofon.
Juga nggak ada penjelasan dengan cara bagaimana seorang Dean yang antisosial dan benci bergaul sampai bisa mengetahui berbagai informasi detail tentang pribadi para penghuni Apartemen Waskita. Dean bahkan tahu undangan pembukaan butik baru yang diterima Deni bertuliskan kalimat “Deni dan partner” (hal 103) yang membuat Deni datang ke sana bersama-sama dengan Vonnie.
Keenggakjelasan motivasi Julian dan “kesaktian” Dean dalam menggali semua informasi personal itu membuat It’s My Solitaire jadi kayak novel yang belum selesai. Meski keseluruhan plot ini hanya merupakan halusinasi, tapi tetaplah teramat penting untuk menyokongnya dengan logika dan motivasi yang jelas. Solusi dan konklusi, sebagaimana plot spionase dalam khayalan John Nash, emang nggak perlu ada, tapi logika dan latar belakang mutlak ada untuk membuatnya nampak nyata.
Maya juga perlu lebih banyak membaca tabloid dan majalah remaja agar ia tahu bahwa dalam dunia modelling nggak dikenal adanya audisi, melainkan ajang pemilihan. Audisi hanya dipake di dunia musik untuk menyeleksi bibit-bibit baru penyanyi or musisi, kayak AFI, Indonesian Idol, atau Dreamband gitu.
Selain itu ada baiknya doi juga rajin menonton DVD sehingga tahu film arahan Ron Howard itu tadi berjudul A Beautiful Mind dan bukannya The Beautiful Mind, serta bahwa film komedi romantis yang dibintangi Matthew McConnaughey dan Kate Hudson bukan berjudul How to Lose a Guy in Six Days tapi How to Lose a Guy in 10 Days.
Agak ganjil juga mengapa fakta-fakta yang remeh tapi krusial ini sampai lolos dari “cekalan” para editor di DAR! Mizan. Atau jangan-jangan Mas dan Mbak Editornya juga jarang nonton film ya…?

0 komentar:

Posting Komentar