scribo ergo sum

Jumat, 14 Oktober 2005

Makin Tragis, Makin Baik

14:04 Posted by wiwien wintarto 1 comment
Judul: Bidik!
Pengarang: Nugroho Nurarifin
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tebal: 92 hal (Sisi 1: Lomotions) + 156 hal (Sisi 2: Loco Motive)
Cetakan: Ke-1 (Agustus 2005)
Genre: Drama
My Grade: C+

Pertanyaan: apa yang membuat sebuah karya seni digolongkan dan diakui sebagai karya avant garde yang bermutu tinggi? Jawaban: karya itu harus semuram mungkin, setragis mungkin, sevulgar mungkin, se-disturbing mungkin, dan pastikan semua tokoh yang ada di dalamnya untuk tidak pernah bahagia dengan kehidupan mereka.
Well, begitulah yang saya pahami sejauh ini. Film-film Teguh Karya berisi cerita dan tokoh-tokoh yang selalu muram dan tragis. Film-film Garin Nugroho juga selalu memuat kehidupan kumuh perkotaan dengan orang-orang karatan yang mukanya selalu berminyak karena tidak pernah mandi.

Novelnya Djenar Maesa Ayu, Nayla, bercerita tentang Nayla yang dihukum berdiri di atap seng dengan kaki telanjang pada tengah hari dan kalo nakal, vaginanya ditusuk pake jarum jahit. Novel lain, dikarang oleh sastrawan perempuan kenamaan yang saya lupa namanya (dan saya juga nggak peduli meski nggak pernah ingat!), bahkan nampilin nama sejenis minyak pelumas yang dipake oleh para homoseks dalam bercinta.
Image seperti itu pula yang membayangi benak saya waktu membaca novel Bidik! karangan Nugroho Nurarifin. Buku ini jelas dimaksudkan sebagai bacaan sastra (atau biar dikelompokkan sebagai karya sastra avant garde) karena penuh dengan gaya bahasa, kondisi, dan tokoh-tokoh yang semuanya muram bin kelam binti tragis.
Agak lain dari novel konvensional, Bidik! adalah sebuah buku yang memuat novel ganda. Artinya, dalam satu buku terdapat lebih dari satu novel. Yang pertama adalah novel Bidik! Sisi 1: Lomotions, dan yang kedua novel Bidik! Sisi 2: Loco Motive. Kedua novel ini diletakkan saling terbalik (upside down) di kedua sisi buku dan persis bertemu di tengah-tengah.
Lomotions berkisah tentang seorang pria muram bernama Hendrik. Hidupnya nggak bahagia karena menikah dengan orang yang salah, terjebak rutinitas kerja yang membosankan, dan selalu akrab dengan kegagalan, terutama mengenai impiannya untuk menjadi seniman tenar yang kaya raya.
Untuk membebaskan diri dari kemuraman itu, Hendrik kemudian menyibukkan diri dengan sebuah cabang fotografi yang disebut lomography. Ia memotret seorang sekretaris cantik bernama Astari selama 22 hari nonstop. Karena tiap hari ketemu, lama-lama benih cinta tumbuh dalam diri Hendrik terhadap Astari. Sayang semua impiannya kandas ketika dalam pemotretan hari terakhir, ia dan Astari tiba-tiba ditembaki seseorang dari gedung seberang jalan.
Sedang Loco Motive bertutur tentang seorang pria (yang tentu juga harus) muram bernama Satrijo. Seumur hidup ia terobsesi dengan Astari. Ia selalu ada untuk Astari namun Astari nggak pernah menganggapnya lebih dari sekadar teman. Mereka adalah teman SMA dan teman kuliah yang, setelah berpisah 2 tahun, tiba-tiba bertemu kembali saat bekerja bareng di sebuah perusahaan retail di Pontianak, Kalimantan Barat.
Di sana cinta Satrijo kembali berkobar. Namun meski berkali-kali nyatain, Astari tetap bergeming dan nggak terpengaruh sedikitpun pada ketulusan cinta Satrijo. Akibatnya, Satrijo terpukul dan mengalami depresi mental berkepanjangan sampai-sampai ia gemar menyiksa dirinya sendiri. Ia lantas di-PHK dan mudik ke Bandung sebelum kemudian pindah ke Jakarta untuk mendirikan sebuah perusahaan marketing communications bernama Fire Communications.
Ndilalah-nya, kantor Fire Communications terletak persis di seberang kantor Astari tempat ia difoto oleh Hendrik. Satrijo pun stres lagi, terlebih waktu ia mengira kini Astari udah bersama Hendrik. Depresi dan frustrasi, ia pun lantas membeli pistol untuk membunuh Astari. Satrijo lah si penembak misterius yang mengacaukan pemotretan Hendrik terhadap Astari.
Dibuat dalam bentuk dua novel, Bidik! dimaksudkan sebagai gambaran tagline yang tertera di kedua kover buku, yaitu “Tragedi selalu memiliki dua sisi”. Dari segi kreativitas dan inovasi, format novel 2in1 yang diusung Nugroho amat original dan fresh. Ibaratnya, dengan satu harga (Rp 47 ribu), kita bisa membaca dua novel sekaligus.
Sayang ketika dikaitkan dengan tagline itu tadi, Lomotions dan Loco Motive bisa dibilang gagal total menggambarkannya. Tragedi siapa yang memiliki dua sisi tersebut? Apakah kehidupan Hendrik yang muram? Astari yang nggak pernah bahagia dengan lelaki? Atau cinta buta tak terbalas Satrijo pada Astari?
Meski berada dalam “alam semesta” yang sama, kedua novel ini berkisah tentang dua hal yang berbeda. Lomotions tentang derita Hendrik, dan Loco Motive tentang derita Satrijo. Kebetulan saja hidup keduanya bersilang di Jakarta pada satu orang yang sama, yaitu Astari Wirjono.
Pasti akan sangat berbeda seandainya tokoh utama baik dalam Lomotions maupun dalam Loco Motive sama-sama Astari. Perbedaannya hanyalah letak sudut pandangnya. Lomotions melihat penderitaan hidup Astari dari kaca mata muram penderitaan hidup Hendrik, sedang Loco Motive melihat tragedi hidup Astari dari kaca mata cinta tak terbalas Satrijo. Baru dengan cara begini tagline “Tragedi selalu memiliki dua sisi” itu akan terasa pas dan klop.
Nugroho juga gagal ngasih ending yang seimbang buat kedua tokoh utama dalam Lomotions dan Loco Motive. Dalam Loco Motive, Satrijo mencapai akhir yang “sempurna”. Ia bunuh diri sesudah menembak Astari, tepat ketika SMS Astari yang berisi penerimaan cinta setelah penantian dan derita yang panjang sampai ke HP-nya.
Sedang dalam Lomotions, nggak terdapat info yang jelas tentang akhir nasib Hendrik. Ia hanya dikisahkan terkapar setelah tertembak Satrijo, tapi nggak ada konklusi jelas tentang seperti apa kegagalan tragis yang kembali harus dialaminya sehubungan dengan proyek Lomotions-nya bersama Astari itu.
Sebetulnya, jika tidak dimaksudkan untuk bersastra-sastra dan berkreatif-ria dengan format novel 2in1 yang langka itu pun, Bidik! udah cukup punya “amunisi” untuk menjadi novel drama atau black comedy biasa yang mencengangkan. Terlebih Nugroho juga mampu memberi pembacanya banyak detail yang bermanfaat soal lomography dan uraian teknis soal BTL, ATL, dan CRM dalam dunia marketing promosi.
Satu hal yang lagi-lagi sangat mengganggu adalah soal “perlombaan” tragis-tragisan dalam dunia sastra itu tadi. Nuansa hidup dalam Bidik! begitu kelam dan buram seolah nggak mau kalah gelap dengan dunia ruwet yang akrab tampil dalam novel-novel Djenar atau Ayu Utami. Apakah “semakin kelam, semakin baik” telah menjadi jargon baru dunia sastra modern Tanah Air?
Sehingga agar seorang pengarang pemula dapat “diterima” masuk ke komunitas sastrawan avant garde, ia harus membuat karangan-karangannya sekelam mungkin dan penuh bertabur dengan hal-hal yang sangat annoying seperti “setubuh”-“sanggama”, vagina ditusuk jarum, homoseksualitas dan lesbianisme, atau “darah merembes masuk ke dalam wastafel. Biji-biji beling tertancap” (hal 59 Loco Motive).
So, saya nggak akan kaget kalo dua atau tiga tahun lagi, buku yang meraih Hadiah Kesusasteraan Nasional adalah sebuah buku karangan seorang novelis perempuan cantik jelita yang berisi kisah cinta beastiality seorang banci homoseks pecandu narkoba dengan anjingnya yang bernama Pleki dan terkena rabies lengkap dengan deskripsi-deskripsi cara mereka bercinta. Lalu, ketika diinterviu media, pengarang itu dengan enteng menjawab, “Yang seperti itu emang ada di sekitar kita. Kita-nya aja yang kadang-kadang nggak tahu…”
E’ealaaah…!

1 komentar:

  1. BIDIK !! BIDIK !!
    ayo kita bidik yg cakep-cakep !!!
    (jaka sembung yak?? biarin deh...)

    BalasHapus