scribo ergo sum

Kamis, 06 Oktober 2005

3 dari 5

11:37 Posted by wiwien wintarto 2 comments
Paquita Widjaja
Sebagai seorang penulis, kerjaan jadi penulis skenario alias screenwriter merupakan salah satu impian yang paling menyenangkan. Selain karena duitnya lumayan, ada juga satu misi mulia yang pengin kuemban, yaitu mengembalikan dunia sinema (film + sinetron) kita ke “jalan yang benar”.
Karena itu ketika, tahun 2003 lalu, aku mendapat peluang kerja jadi penulis skenario untuk sinetron dari sebuah PH di Jakarta, aku bener-bener menyambutnya dengan antusias. Ini adalah once in a lifetime opportunity, pikirku. Kesempatan untuk memperbaiki apa yang udah rusak parah tapi justru makin laris dijual.
Ceritanya, pasangan suami isteri Humam Afief & Paquita Widjaja yang dengan PH mereka, Sintesa Production, sukses lewat serial Sangkuriang di SCTV, pengin nyari cerita rakyat lain lagi untuk diangkat ke sinetron mirip Sangkuriang. Dan yang mereka pilih adalah dongeng Roro Jonggrang.

Humam lantas nyari seorang tokoh pendongeng di Jawa Tengah yang paham betul cerita itu. Dan teman mereka yang bernama Pak Yehana merekomendasikan nama bapakku, Pak Masdi Sunardi (yang ngarang komik strip Pak Bei itu lho!). Singkat kata, Bapak pun kenalan dengan Humam dan sepakat akan berkolaborasi untuk bikin serial Roro Jonggrang.
Awalnya, Bapak diminta bikin sinopsis untuk 26 episode. Karena dia nggak sempat, kerjaan itu lantas dilimpahkan ke aku. Setelah membacanya tuntas, Humam bilang suka. Ceritanya bagus. Lantas dia malah nawarin kalo aku sekalian pengin bikin skenarionya. Wah, gimana aku tega nolak suruhan kerja seempuk ini?
Sebelum aku mulai bikin, Humam terlebih dulu ngasih ancer-ancer teknisnya. Dia bilang, untuk sinetron ber-genre action/adventure/fantasy kayak Sangkuriang dan Roro Jonggrang, penulis skenario harus make perbandingan 5:3. Artinya, dalam 5 adegan, 3 di antaranya harus berisi adegan laga dan hanya 2 yang berisi adegan drama.
Dengan penuh semangat, aku mengerjakan skenarionya. Begitu jadi, langsung kukirim via email. Sayang, nggak kayak sinopsisnya dulu, yang ini mirip skripsi, tersendat di tangan “dosbing” yang rewel dan perfeksionis. Skenarioku berkali-kali dikembalikan untuk direvisi sana-sini. Intinya selalu sama, ceritaku belum memenuhi Rumus 5-3 tadi. Masih terlalu banyak drama daripada laganya. Padahal sesuai teori, unsur laga harus diperbanyak untuk membuat penonton tetap tertarik.
Pada akhirnya, cita-citaku untuk jadi screenwriter sinetron kandas karena urusan Rumus 5-3 ini. Setelah 2 episode, aku resmi di-PHK oleh Humam karena dianggap belum bisa memenuhi standar mereka. Selanjutnya, skenario episode 3 hingga 26 akan digarap oleh “orang dalam” (kalo gak salah Imam Tantowi) yang sudah terbiasa bikin skenario sinetron laga.
Sampai sekarang, satu pertanyaan yang pengin banget kusampaikan pada Humam bukanlah “Kenapa aku diberhentiin? Kenapaaa!?”, tapi “Orang gila mana di IKJ yang mengajarkan rumus goblok itu sama sampeyan!?”. Sebab, seluruh alur ceritaku jadi hancur lebur gara-gara Humam terlalu mematuhi aturan itu.
Bayangin, ada satu sekuen adegan saat seorang tokoh masuk ke Kota Brambanan untuk bertemu dengan temannya. Belajar dari film-film Amerika, aku membuat rentetan adegan seperti ini untuk menjelaskan sekuen ini pada pemirsa tanpa display dan tanpa dialog apapun:
SCENE 1: Si A naik kuda ngebut melewati hutan untuk menuju Brambanan.
SCENE 2: Si A masuk Brambanan dengan kuda, melewati kerumunan pejalan kaki.
SCENE 3: Si A tiba di rumah Si B, turun dari kuda, menambatkan tali kekang kuda, dan beranjak masuk rumah.
Sesuai rumus, Humam menuntut pada Scene 3, Si A sudah harus berkelahi agar penonton tetap betah nonton. Pertanyaannya adalah, berkelahi dengan siapa? Hebatnya, meski kondisinya secara logika belum memungkinkan terjadinya suatu perkelahian, tuntutan itu tetep mutlak harus dipenuhi entah dengan cara apapun.
Akibatnya, cerita dalam skenario itu pun jadi peot dan centang-perentang nggak keruan demi memenuhi tuntutan “semua orang harus sesering mungkin berkelahi” itu tadi. Dan aku kaget bukan main ketika membaca ulang skenarioku sendiri, aku menjumpai bahwa Si A tadi dalam sehari berkelahi sampai enam kali dengan perampok, pemerkosa, prajurit lawan, perampok lagi, anggota perserikatan jahat, dan terakhir dengan orang gila!
Ketika aku mencoba membandingkan pengalamanku dengan sinetron-sinetron laga lain kayak Damarwulan, Misteri dari Gunung Merapi, atau Jaka Tingkir, ternyata Rumus 5-3 itu emang nyata dan sungguh-sungguh ada. Nggak heran plot Jaka Tingkir begitu ngaco belo dan asal mBrojol seenaknya, karena Jaka Tingkir dan teman-temannya memang harus rajin untuk adu jotos. Malahan, emang hanya itulah tugas mereka di dunia ini.
Aku pun jadi mikir, benarkah sesimpel dan segampang itu menilai mentalitas kita para pemirsa TV? Apakah kita lebih tertarik nonton film komedi jika adegan orang kejebur sungai diperbanyak? Apakah kita lebih tertarik nonton film drama jika adegan orang tewas tertabrak truk diperbanyak? Apakah kita lebih betah makan sate jika dalam tiap sujen nggak hanya terdiri atas 7 atau 8 sobekan daging, melainkan 40 sekaligus?
Bagaimana dengan karakterisasi? Bagaimana dengan cliffhanger? Bagaimana dengan humor? Bagaimana dengan dialog-dialog yang simpel namun berkesan dan mengharukan?
Aku ingat banget ada salah satu adegan dalam serial Xena: The Warrior Princess yang sangat indah. Digambarkan Xena dan Gabrielle lagi jalan berdampingan dalam bagian ending salah satu episode. Xena bertanya, mengapa Gabrielle selalu setia mengikutinya bertualang. Apa dia nggak tertarik untuk pulang ke rumah.
Ditanya begitu, Gabrielle menjawab ringan, “Temanku Sayang, kadang yang namanya rumah itu nggak harus selalu berarti sebuah tempat di muka Bumi ini. Rumah kita bisa aja berada di dalam hati seseorang…”
Yakin deh, kecuali kamu teroris yang hobi meledakkan bom di tempat umum, pemimpin negara yang memerintahkan praktik genocide, atau karburator yang nggak pernah bisa disuruh untuk memahami emosi, kamu pasti pengin nangis terharu melihat adegan itu dan mendengar dialog sedahsyat itu. Dan penonton udah cukup tertarik untuk menyaksikannya meskipun di situ sama sekali nggak ada orang yang baku pukul sambil berteriak, “Kubunuh kau, Keparat! Ciaaaaaattt…!!”
Intinya, kalo cuman bicara soal elemen yang mampu menarik perhatian pemirsa, penulis skenario yang paling bodoh pun bisa menginventarisasi 10 ribu hal berbeda untuk diletakkan berselang-seling dengan adegan laga. So, aku berkesimpulan dan berkeyakinan, kita tetap bisa bikin pemirsa nggak pindah channel meskipun sebuah episode Roro Jonggrang atau Jaka Tingkir nggak mengandung satupun adegan laga.
Tapi agaknya, yang seperti ini nggak pernah laku di negeri ini. Para sineas TV kita entah terlalu angkuh dengan keyakinan mereka sendiri atau terlalu malas untuk masuk ke gagasan-gagasan baru yang fresh. Dan kurikulum IKJ barangkali emang membentuk sineas-sineas yang punya mentalitas “Penonton kita kan goblok, jadi pikirkan aja ide-ide paling bodoh yang bisa kamu bikin hanya dalam 2 hari syuting!”
Mengingat kembali pengalaman itu dan membandingkannya dengan pengalamanku kini terjun di bisnis novel remaja, aku bersyukur akhirnya nggak jadi masuk ke dunia sinetron tempat satu-satunya motto yang dikenal hanyalah “Makin bodoh, makin baik” itu. Meski tetep aja profit-oriented banget dan sama sekali nggak berdasar atas idealisme, orang-orang Elex Media nggak pernah ngasih tuntutan aneh-aneh seperti “Semua tokoh di novelmu harus kaya raya dan sekali seumur hidup at least pernah naik BMW”.
Soal serial Roro Jonggrang sendiri, akhirnya setelah lewat 2 tahun lebih, saat ini nggak ada lagi kabarnya lebih lanjut. Terakhir kali kontak pas nerima honor Rp 1 juta untuk skenario 2 episode, Humam bilang Roro Jonggrang udah syuting 13 episode dan tinggal nunggu jadwal tayang dari SCTV.
Namun hingga kini belum juga ada tanda-tanda Roro Jonggrang-ku (meski hanya 2 episode) bakalan muncul di SCTV. Yang nongol justru sinetron bodoh tentang Gatotkaca melawan Dajjal bikinan MD Entertainment. Kabar terakhir bahkan nyebutin, Sintesa Production kolaps dan nggak lagi berproduksi.
Tapi sudahlah, sekarang aku nggak lagi peduli tentang itu, tentang mereka. Percuma diurusi. Yang bodoh tetap saja bodoh…

2 komentar:

  1. Aku suka banget tuturan ini, begitu hidup, begitu nyata. Jengkelnya itu lho, brasa banget.

    BalasHapus
  2. Anonim21.47

    Mba... Roro Jonggrangnya sekarang tampil di ANTV.. dan saya kecewa bgt sama alur ceritanya... mudah2an bkn ini yang mba tulis

    BalasHapus