
“SBY sucks!”
Begitu isi sebuah SMS yang dikirim seorang teman pada dini hari 1 Oktober ketika Aburizal Bakrie mengumumkan harga premium naik jadi Rp 4.500 perliter dan minyak tanah jadi Rp 2.000 perliter.
Telanjur judeg karena pas main Championship Manager 03/04 kalah terus sementara Desperate Housewifes lagi main di Indosiar dan dipotong oleh kabar buruk itu, aku menjawab dengan ngirim reply berbunyi,
“Persebaya sucks!!”
Aku yakin, Anda-anda, kalian-kalian semua, pasti menyalahkan presiden kita yang pinter nyanyi “Tiga puluh menit…” itu untuk semua keadaan buruk ini. Kalaupun nggak menyalahkan, pasti nyesel kenapa dulu pas Pemilu 2004 nyoblos gambar belio dan bukan gambar Bu Megawati Taufikiemasisteri.
Well, aku bukan golongan pembela SBY. Aku juga bukan simpatisan Partai Demokrat. Tapi aku pengin sekali tahu, what good does it bring? Kalo ada yang punya bukti otentik bahwa “dengan menyalahkan dan marah-marah dan menyesal punya presiden seperti SBY maka harga BBM akan kembali turun”, maka aku pun akan ikut marah padanya. Aku akan mengkoordinir para warga untuk bikin Gerakan SBY Sucks.
Tapi seandainya enggak, dan harga premium tetep aja Rp 4.500 dan PSIS tetep aja juara III Liga Indonesia 2005 nggak peduli berapa kalipun kita marah-marah pada suami Bu Kristiani itu, ya mending kembali ke depan komputer nerusin bikin novel sambil mikir “So what geto loch…?”
Masalahnya adalah, ketika sesuatu (yang buruk) berlangsung, kadang kita jauh lebih sibuk mengeluarkan energi untuk bereaksi daripada “mempersenjatai” diri untuk menghadapi apa yang bakal terjadi.
Ketika ditinggal pergi orang yang disayangi, kita jauh lebih sibuk menangis dan meratap ketimbang memikirkan ke depannya bagaimana kita tetep bisa survive meski tanpa dirinya lagi.
Ketika patah hati karena putus cinta atau ditolak gebetan, kita jauh lebih sibuk bikin puisi dan termehek-mehek selama berbulan-bulan ketimbang mikirin gimana caranya bisa dapet gebetan baru lagi.
Dan ketika harga BBM naik seperti sekarang ini, kita jauh lebih sibuk mengumpat Presiden daripada memikirkan satu hal yang sangat simpel dan remeh temeh, yaitu diri kita sendiri. Bagaimana rearrange anggaran bulanan, bagaimana mengatur jadwal kegiatan biar nggak terlalu sering pergi-pergi, dan bagaimana memanfaatkan every single skill yang kita punyai sehingga kita bisa bilang dengan gagah, “Wahai BBM, naiklah semaumu! Aku pasti bisa naik juga dua kali lipatnya!!”
Kenapa di saat diri sendiri sedang kesulitan, kita justru membuang energi kita yang sangat berharga ini hanya untuk mikirin seorang lelaki gemuk sok serius bernama SBY? Kenapa? Kenapa!? Terus kapan kita mulai mikirin diri kita sendiri?
Sebab bukan seperti ini wisdom yang kupelajari dari sepakbola. Dalam olahraga “bola 1 dikerubut 22 orang” ini, kejadian terburuk berupa kemasukan gol nggak disikapi dengan terlalu banyak marah-marah, sedih, atau meratap sampai mencret, tapi dalam hitungan detik dimulai dari kick off langsung turun berjuang lagi tanpa kenal menyerah dengan mentalitas “Kamu bisa bikin 1.000 gol, tapi kami bisa bikin 1.001 gol!!”
Dalam final Liga Champions 1999, MU ketinggalan 0-1 dari Bayern Munchen hingga menit ke-90. Apakah Beckham cs nangis-nangis, marah-marah, dan menyesal? Enggak! Mereka tetep fight sampai detik-detik penghabisan dan berbalik bisa bikin 2 gol dalam 2 menit terakhir injury time.
Dalam 8 Besar Liga Indonesia 2005 kemaren, PSIS kehilangan peluang jadi juara gara-gara ulah tak sportif Persebaya yang mundur secara abnormal. Apakah Yoyok Sukawi, Bambang Nurdiansyah, Indriyanto Nugroho, dan Emanuelle de Porras menghabiskan seluruh waktu dan energi mereka untuk marah-marah dan mengumpat-umpat tim Bajul Ijo?
Enggak! Mereka cepat kembali lagi ke lapangan unwounded and unharmed, bertarung lagi untuk memenangkan semua pertandingan yang masih mungkin dimenangkan. Dan seperti kita semua tahu, PSIS menggusur PSM 2-0 dalam pertandingan terakhir serta menghabisi PSMS 2-1 dalam playoff perebutan tempat ketiga.
Mereka hanya juara III untuk musim ini, tapi merekalah superhero terbesar yang patut dikenang hingga ratusan tahun ke depan. Merekalah sumber inspirasi tentang sifat-sifat ksatria, keteguhan hati, semangat juang, dan seperti yang kutuang dalam novel ketigaku, The Rain Within, “Hidup baru berharga bila diperjuangkan”.
Dan sejauh yang kupelajari selama ini, marah-marah atau menyesal, entah pada orang atau pada keadaan, sama sekali nggak termasuk dalam definisi perjuangan itu tadi.
So, daripada buang waktu percuma untuk sesuatu yang sama sekali nggak berguna dengan marah-marah atau menyesal punya presiden kayak SBY, aku jauh lebih suka bikin acara balapan dengan harga BBM. Kalo dia bisa naik 80-100%, aku yakin aku juga bisa bikin penduitanku naik dengan persentase yang sama, mungkin lebih.
Dan kegiatan yang ini jauh lebih menyenangkan daripada marah-marah tanpa ujung, because, as usual, eventually I will win again, huahahahaha….!
0 komentar:
Posting Komentar