
Judul: Real Life Story Teenage: Cinta Adalah…
Pengarang: Hendrik Sukmana HP
Penerbit: Cupid, Yogyakarta
Tebal: 141 halaman
Genre: Drama/romance
My Grade: E
Kadang-kadang, kita bertemu dengan sesuatu yang luar biasa jelek, awful, horrible, namun bukannya muak, reaksi emosional yang muncul dalam diri kita justru sebaliknya. Itu yang saya alami waktu membaca novel mungil ini, Real Life Story Teenage: Cinta Adalah… karangan Hendrik Sukmana HP terbitan Cupid, Yogyakarta.
Novel ini sedemikian jeleknya sehingga sebutan “novel” pun masih terdengar terlalu mewah disematkan padanya. Dalam hampir segala sisi teknis, Cinta Adalah… belum memenuhi standar baku sehingga sebuah karangan secara empirik layak disebut sebagai novel.
Tokoh utama buku ini adalah seorang remaja tanggung bernama Adi. Ia sekolah di SMK Negeri 1 Bondowoso. Bener! Bukan Jakarta, Bandung, Tangerang, Depok, atau at least Semarang (kayak novel-novel Teen’s Heart-nya Elex Media!), namun Bondowoso, sebuah kota kecil di Jatim yang “nyaris tak terdengar”!
Adi adalah seorang remaja Islam yang saleh, alim, multitalenta, multiaktivitas, cuek, baik, dan, meski nggak bertampang fotomodel, namun disukai banyak cewek. Hidupnya penuh berisi cewek, namun semua selalu saja membuatnya patah hati dan merana.
Yang pertama adalah Dwi, sahabat pena asal Solo yang kenalan karena, entah bagaimana caranya, surat pembaca Adi untuk Majalah Hot Cord di Solo justru nyasar ke rumah Dwi. Mereka jadian setelah Dwi nembak Adi duluan lewat telepon, tapi kemudian memutuskan hubungan secara sepihak setelah ia mengalami kecelakaan dan wajahnya cacat.
Abis itu ada Yati, teman sekolah Adi yang keliatannya ngasih lampu ijo namun ternyata nolak saat ditembak karena udah punya pacar duluan. Ada pula Fitri, yang setelah jadian beberapa bulan, tau-tau menikah dengan lelaki pilihan kakeknya.
Di bagian separuh akhir, Adi dibingungkan dengan sedemikian banyak cewek yang hilir mudik mengelilinginya. Ia naksir Desti alias Erwina, Leni, Nurul, dan termasuk adik-adik kelasnya di SMK 1 yang berebut mendapatkan perhatiannya, seperti Ida Agustina, Fanny, serta Veronica.
Tak jelas siapa yang akhirnya ia pilih. Cuman ada puisi berjudul Puspitaku yang ia persembahkan buat Leni dan keinginannya untuk menanyakan kembali cintanya pada gadis itu yang dijadikan ending buku oleh Hendrik.
Yang paling awal kelihatan, Hendrik sama sekali belum punya “amunisi” skill untuk menjadi seorang novelis. Ia hanya sekadar bertutur dan bercerita apa adanya, terlebih karena ini adalah kisah nyata dirinya sendiri yang terjadi antara tahun 2001-2004 semasa ia duduk di bangku SMK 1 Bondowoso.
Cinta Adalah… jelas bukanlah novel pertama yang diangkat dari kisah nyata. Tapi kita semua tahu, kita nggak bisa dengan begitu saja memindahkan “what was happened” ke halaman novel secara mentah 100% tanpa sentuhan kreativitas dan, terutama, imajinasi.
Sayangnya, itulah yang dilakukan Hendrik dalam buku ini. Ia bertutur sangat lurus dan polos. Sama sekali nggak ada plot, struktur cerita, karakterisasi dan bangunannya, serta rumus baku “awalan-klimaks-solusi” yang terkenal itu.
Mirip Bravo! Jins Belel-nya Anita, Cinta Adalah… pun hanyalah sebuah kronik dari hari-hari Adi selama tiga tahun belajar di SMK 1. Bedanya, bila Jins Belel adalah sebuah novel yang character-based story sehingga kita tetep bisa ngedapetin kedalaman tokoh-tokohnya, Cinta Adalah… nggak punya satupun basis yang jelas, apakah akan ke storyline oriented, plot oriented, atau character-based.
Maka kita pun berasa kayak tengah mengintip baca diary Hendrik (yang di buku disebut dengan nama Adi). Dan demikian polosnya ia bercerita membuat kita berpikir, jangan-jangan seluruh dialog percakapan di buku pun sama persis dengan yang sungguh-sungguh terjadi dalam kehidupan nyata Hendrik saat itu!
Kesalahan fatal lain, Hendrik juga melanggar aturan tak tertulis dunia literatur yang mengatakan “Kalau kamu ingin menceritakan kehidupanmu sendiri lewat novel secara gamblang, jangan pernah menggunakan sudut pandang orang ketiga!”, karena ntar pasti akan terlihat betul kayak pengarang yang narsis.
Dan Hendrik emang jadi narsis banget ketika menulis “Adi menjadi nomor satu di kelas dua, guru-guru memujinya. Semua guru, bahkan seisi sekolah mengetahui siapa Adi. Dia menjadi naik daun dan cukup terkenal di sekolahnya” (hal 46) yang mana tak lain tak bukan ia sedang menggambarkan dirinya sendiri!
Tapi, seperti saya bilang tadi, hanya karena Cinta Adalah… luar biasa jelek, nggak lantas bikin saya membencinya. Sebaliknya, saya justru merasakan kedekatan yang sangat akrab dengan buku ini, yaitu kedekatan sebagai sesama orang “pedalaman” dari kota kecil yang jauh dari sentuhan kosmopolitan dan hedonisme. Hendrik dari Bondowoso, saya dari Borobudur, Magelang.
Apa yang bisa kita tangkap dari novel ini adalah orang-orang, pola pikir, dan situasi-situasi yang “bukan Teenlit banget”. Di sini nggak ada BMW, salon, meni-pedi, jalan-jalan ke mal, SMS, food court, e-mail, atau pesta ultah nan mewah. Tokoh-tokoh dalam Cinta Adalah… adalah anak-anak yang lugu, polos, jujur, baik hati, impulsif, semua cewek pake jilbab, cemas ketika teman-teman mulai menjauh, dan nggak mikirin hal yang lebih rumit ketimbang hari ini udah salat dhuhur apa belum.
Kondisi pergaulan di novel ini pun pasti bakal bikin kita yang tinggal di kota-kota besar tercengang. Semua begitu simpel dan sederhana. Dwi enak aja nembak cowok duluan lewat telepon, pacaran tanpa pernah ketemu muka, dan mutusin hubungan via surat (pos). Cukup hanya karena naksir (bukan fall in love), Adi udah nembak Yati. Dan pikiran Adi udah langsung kalut luar biasa ketika Leni, cewek yang ia taksir, ternyata disukai oleh sahabatnya sendiri.
Fakta bahwa isi buku ini adalah kisah nyata membuat kita mafhum bahwa semua karakterisasi dan fenomena itu pun bukanlah sesuatu yang dihasilkan oleh imajinasi, melainkan emang betul realitas paling nyata apa yang ada di Bondowoso. So, meski “terganggu” sekali oleh kualitasnya yang emang parah, membaca buku ini ngasih kita banyak pandangan baru soal “dunia lain” yang selama ini nggak pernah kita tahu.
Penerbit Cupid patut juga diberi acungan jempol atas keberanian mereka menyeruak di jalur “indie” penerbitan buku remaja di tengah raksasa-raksasa penerbitan Tanah Air kayak GPU, GagasMedia, serta Elex Media Komputindo. Inovasi untuk menghadirkan “Teenlit” mereka sendiri dengan seri Real Life Story Teenage (terlalu panjang dan nggak jelas artinya apa karena ngawur secara grammar; mending pake Real Life aja!) yang nampilin novel-novel berisi kisah nyata juga sangat original dan fresh karena belum dipakai penerbit lain.
Pendek kata, bila disangga dengan marketing dan manajemen yang modern, Real Life bisa menjadi penantang serius buat Teenlit-nya GPU dan novel-novel remaja terbitan GagasMedia yang selama ini menguasai toko buku. Satu saran kecil aja, “terinspirasi” model desain sampul serial Chicken Soup bukanlah sebuah ide bagus untuk rencana bisnis jangka panjang!
0 komentar:
Posting Komentar