
Pengarang: Dyan Nuranindya
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tebal: 300 halaman
Cetakan: Ke-9 (Juni 2005)
Genre: Drama/romance
My Grade: D
Membaca novel DeaLova karangan Dyan Nuranindya berasa kayak menikmati junk food di gerai-gerai sejuk ber-AC. Semua udah terpola dengan rapi sejak dari pabriknya. Biar kata kita memesan menu dengan nama apapun, yang keluar tetap aja akan terdiri atas gumpalan ayam goreng tepung, french fries, dan regular drink.
“Menu” yang tersaji dalam DeaLova pun kita udah nggak asing lagi, karena semua pernah muncul di novel-novel seri Teenlit lainnya terbitan Gramedia Pustaka Utama (GPU). Ada anak kecil jet set bermobil BMW, ada cewek tomboy jago basket yang nggak peduli penampilan, dan ada siswa baru ber-gender cowok yang jadi idola semua cewek tapi justru bertingkah dingin dan sadis pada mereka semua.
ABG bermobil mewah itu adalah semua tokoh dalam buku ini, cewek pebasket yang gak peduli penampilan dan mengingatkan kita pada Sasha dari Me VS High Heels!-Maria Ardelia dan Fairish-nya Esty Kinasih itu bernama Karra, dan si cowok dingin yang mirip Davi dari Fairish itu adalah Dira, anak baru SMU Persada pindahan dari Aussie.
Dikisahkan, Karra terlibat dalam love-hate relationship yang amat membingungkan dengan Dira. Di pihak lain, Karra juga dekat dengan Ibel, sobat kental Iraz, kakak semata wayangnya. Lazimnya dalam sebuah kasus cinta segitiga, akan ada fenomena “pilih yang mana?”.
Namun Dyan ternyata nggak nampilin urusan dilema itu dalam DeaLova. Sebagai gantinya, ia memaparkan betapa Karra telah berhasil mengubah kehidupan baik Dira maupun Ibel. Ketika pada akhirnya salah satu di antara kedua cowok itu meninggal karena kanker paru-paru (untung bukan tumor otak atau leukemia!), Karra pun jadian dengan salah satunya lagi yang masih hidup segar bugar.
Sebenernya sama sekali nggak ada yang salah dengan hasil karya Dyan alias Dichiel ini. Gaya bahasa dan skill menulis Dyan yang lahir di Jakarta, 14 Desember 1985, udah memenuhi standar novelis pemula. Problem terparah yang membuat rating novel laris ini jadi ngedrop adalah judulnya, karena bener-bener bikin pembaca “tertipu”!
Apa itu DeaLova? No one knows, termasuk yang ngarang sendiri. Kata keren itu sama sekali nggak muncul baik secara denotatif maupun konotatif dalam keseluruhan isinya. Sesudah menutup halaman ke-300 buku ini, kita pun manyun karena rasanya kayak baru aja membuka bungkusan snack dengan label “Potato Chips” tapi isinya ternyata permen!
Asli, antara judul dan “batang tubuh” (emang UUD ’45?) sama sekali nggak nyambung. Jangankan nyambung, nyenggol pun enggak. DeaLova sebenernya bagus sekali sebagai sebuah judul, sayang nasibnya jadi terbuang sia-sia karena Dyan nggak berusaha untuk mencarikan materi dalam isi buku yang berkaitan dengan kata ini.
Padahal arah ke sana sebenernya mudah banget bagi seorang pengarang yang bener-bener imajinatif. DeaLova itu bisa nama kafe tempat Karra dan Finta nongkrong, nama mereka sebagai sebuah geng cewek, atau… astaga, kenapa nggak milih kata itu sebagai nama band Iraz dkk dan bukannya Blue Rivalry yang udah jelas nggak bakalan menjual karena susah dilafalkan?
DeaLova juga, mirip novel-novel seri Teenlit lainnya (kecuali Kana di Negeri Kiwi-nya Rosemary Kesauly), nggak nampilin problematika yang lebih dalem ketimbang hanya urusan suka-sukaan cuman karena penampilan fisik doang. Hanya karena Dio, Dira, dan Ibel berwajah ganteng dan berpostur atletis (plus anak-anak milyarder!), bukan karena mereka baik hati, penyabar, pengertian, dewasa, atau smart.
Enggak adanya character development, terutama dalam diri tokoh utamanya, si Karra, juga bikin novel ini left meaningless. Sekali lagi, di antara semua novel seri Teenlit, hanya Kana di Negeri Kiwi aja yang nunjukin bahwa tokoh-tokohnya bergerak dari satu titik ke titik kesadaran lain yang lebih tinggi.
Karra, sebagaimana Sasha dan Fairish, nggak beranjak ke level kesadaran yang lebih tinggi, melainkan cuman berpindah status dari jomblo ke eks-jomblo. Satu-satunya pelajaran terindah yang ada dalam DeaLova hanyalah kata-kata Iraz tentang “If you can’t have the one you love, love the one you have” (hal 122).
DeaLova juga meninggalkan satu plot hole yang sangat berat, yaitu keberadaan Karra di Jakarta sementara semua anggota keluarganya udah pindahan “bedhol desa” ke New York. Alasan dan urgensi apa yang membuat kedua ortunya tetap meninggalkannya sendirian di Indonesia?
Nggak akan ada ortu yang rela membiarkan putri bungsunya tinggal sendirian sejauh puluhan ribu kilometer hanya dipercayakan pada pembantu dan para teman cowok. Kalo kamu gemar baca 17tahun.com, dengan cara inilah cerita-cerita dalam rubrik “Sedarah” dan “Daun Muda” di situs itu bermula!
So, DeaLova hanyalah sekadar another name dalam jajaran “junk food literature” abad ke-21. Rasanya enak, kemasannya warna-warni, dan kalo ditenteng menimbulkan perasaan keren. Namun sebagaimana kampanye Morgan Spurlock lewat film dokumenternya, Super Size Me yang terkenal itu, menyantap junk food terlalu banyak akan sangat berbahaya bagi kesehatan kita…
0 komentar:
Posting Komentar