
Sebagian besar teman dan orang-orang di sekitar saya bilang, saat ini rasa patriotik mereka berkurang, nggak kayak 10 tahun lalu pas kita memperingati Indonesia Emas. Kenapa berkurang? Karena kondisi negara ini sekarang lagi sungsang sumbel tertimpa banyak masalah gede dan ketahuan kalo penghuninya pada gemar korupsi semua (kecuali saya, karena saya belum ketahuan!).
Saya pun lantas jadi mikir, seperti itukah arti rasa patriotik buat kita? Yaitu sesuatu yang (boleh) berkurang kalo keadaan lagi nggak bagus dan baru bisa kuat kalo semua pulih dan sehat lagi seperti yang seharusnya?
Saya lantas jadi teringat lagi definisi Bayu, a cousin of mine, tentang true love. Tempo hari dia bilang “Pilih satu aja di antara cewek-cewek itu. Siapapun yang mau bersamamu, itulah cinta sejatimu. Yang enggak mau, ya bukan true love”. Alamak! Dunia udah sableng atau cuman tinggal saya tok yang masih sableng di dunia ini?
Setahu saya true love adalah sesuatu yang berdiri sendiri secara independen atas kehendak takdir. Seseorang yang bener-bener perfect dan PAS buat kita, for each of us. TL nggak ada kaitannya dengan mau atau nggak, jadian atau nggak, merrid atau nggak. Kalo bisa ya sukur, pasti sukses, tapi sebagian besar pasti nggak bisa. Soalnya kalo semua bisa, lha novelis kayak saya mau dapat ide novel romance dari mana?
Kembali ke urusan patriotisme, rasa-rasanya kok nggak adil mengukur kadar nasionalisme kita dari kondisi terkini yang tengah dialami negara. Sama nggak adilnya kalo saat ditanya soal perasaan kita pada pacar/isteri/suami, kita menjawabnya dengan ukuran kondisi fisik, mental, atau kesehatan dan kesempurnaannya.
“Maaf Mas Aldi Bragi, apakah Anda saat ini menyayangi istri Anda, Ikke Nurjanah?”
“Wah, kebetulan lagi nggak tuh.”
“Lho, kenapa?”
“Soalnya dia lagi pilek. Kalo pas pilek, suaranya jadi bindeng, matanya merah, hidungnya bengkak, wajahnya merah padam, ingusen terus, duh… pokoknya jelek lah!”
“Trus apa rencana Anda sekarang?”
“Ya sementara ini saya pulang ke rumah Tamara Bleszynski dulu karena dia cantik, sehat, segar bugar. Ntar saya balik lagi ke Ikke kalo dia juga udah sehat dan cakep lagi!”
Duennksss!!
(trademark “Duennksss!!” appears courtesy of Darina)
Kita pantas malu kalo mikirnya masih dengan sistem gitu. Malu pada para pejuang dulu yang udah pada patriotik semua bahkan pada saat negara masih belum ada. Pada saat Indonesia udah bukan lagi compang-camping kayak sekarang, tapi masih belum sempurna terbentuk jadi sebuah negara.
Malu pada Pak Dirman yang pergi berkelana terlunta-lunta merambah hutan selama berbulan-bulan dalam keadaan sakit parah dengan hanya punya satu paru-paru hanya demi memperjuangkan negeri kecil tak berarti yang disebut Indonesia. Padahal waktu itu Indonesia hanyalah sepetak kecil Jawa dan sedikit wilayah terpencar-pencar di luar Jawa yang sama sekali jauh dari sebutan nyaman, apalagi sempurna.
Bagi saya, nasionalisme dan patriotisme, sama kayak true love, juga berdiri sendiri secara independen dan nggak terpengaruh “cuaca”. Mau hujan badai, mau banjir bah, mau terang benderang sejuk pas panen padi, perasaan saya akan tetap sama aja. Biar jelek, semrawut, amburadul, nggak rapi, annoying, ruwet, mBingungi, dan penuh dengan orang korupsi, Indonesia is still my homeland. Still make me proud.
Tempat yang membuat saya bangga menyebut namanya kalo suatu saat pas ada di luar negeri ditanyai, “Where r u from?”. Tempat yang membuat saya homesick kalo misalnya pas suatu saat ada di keteduhan dan keromantisan Paris atau London, tau-tau terngiang di kuping ini lagu Keroncong Tanah Airku-nya Kelly Puspito,
“Mendalam lembah curam… Di sela gunung meninggi… Suatu pemandangan, Tanah Airku Indonesia, elok adil… Indah Tanah Airku, Indonesia Raya, pujaan hatiku…!”
Seperti Dirman yang bergerilya dengan satu paru-paru. Seperti Kumbakarna yang memerangi Sri Rama bukan karena membela Rahwana, tapi karena nggak rela Alengka, negaranya tercinta, diinjak-injak.
Jelek dan ruwet? Well, emang siapa sih yang nggak pernah jelek dan semrawut? Amerika juga nggak dengan sekejap mata langsung menjelma jadi negara adidaya seperti sekarang. Ada masanya ketika orang seperti Abraham Lincoln pusing mengurusi negara yang terpecah belah hanya oleh urusan perbudakan.
Ada masanya ketika Jepang dikenal sebagai negara “psikopat” yang membunuh dan memperkosa manusia seenak udel mereka sendiri.
Ada masanya ketika seluruh Eropa terkungkung Masa Kegelapan selama ratusan tahun sampai-sampai orang yang berpendapat benar secara ilmiah justru malah diasingkan oleh institusi agama dan bahkan dihukum mati!
Kini mereka udah bisa jadi keren karena berhasil melewati masa-masa sulit itu dengan gemilang tanpa mengalami “krisis identitas”. Yang Amrik ya tetap Amrik, yang Prancis ya tetap Prancis, dan yang Inggris ya tetap Inggris. So, kalo mereka bisa, kenapa kita enggak?
Soalnya, saya cuman mikir, kalo belum apa-apa kita udah langsung loyo hanya karena melihat kondisi negara yang ruwet begini, bukankah itu artinya kita sendiri adalah bagian dari yang ruwet-ruwet itu?
0 komentar:
Posting Komentar