Judul: Nothing But Love (Semata Cinta)
Pengarang: Laire Siwi Mentari
Penerbit: Kata Kita
Tebal: 196 halaman
Genre: Comedy/romance
My Grade: C-
Cinta itu berarti kita harus berani memilih. Milih satu di antara beberapa opsi yang paling mungkin untuk dijadiin pasangan hidup. Terlebih ketika, macam pilkada yang kini lagi musim-musimnya, terdapat lebih dari dua orang “kandidat” yang sama-sama berkualitas dan punya kelebihan serta kekurangan masing-masing.
Tema inilah yang diangkat oleh pengarang ABG Laire Siwi Mentari lewat novel pink-nya, Nothing But Love (Semata Cinta) terbitan Kata Kita, Depok. Laire nampilin tokoh utama seorang cewek bernama Airel yang harus dihadapkan pada tiga pilihan cinta sekaligus.
Yang pertama adalah Tama, kakak kelasnya yang udah lama jadi gebetannya namun ditaksir si ganjen Sandrina. Yang kedua adalah Reksa, kakak kelasnya yang lain, yang dianggap sebagai cowok paling funky di sekolah. Dan yang terakhir adalah Arvan, eks tetangganya yang kini kuliah dan tinggal di Denpasar.
Airel menjalani hari-harinya dalam curahan perhatian ketiga cowok itu. Susahnya, ia nggak tau musti milih yang mana sebagai cowoknya. Belakangan, salah satu kandidat, yaitu Arvan, rontok ketika ketauan udah tunangan dengan seorang cewek Bali. Namun berkurangnya calon nggak lantas bikin hidup Airel tambah gampang.
Ia justru kian bingung nentuin pilihan antara Tama atau Reksa. Terlebih ketika kedua cowok itu menyadari bahwa mereka tengah bersaing untuk mendapatkan perhatian Airel dan mereka nunjukin gejala untuk meneruskan persaingan itu ke arah penyelesaian dengan adu fisik macam wayang berebut puteri pendeta.
Seperti pengarang-pengarang generasi teenlit lainnya, Airel bertutur dengan gaya yang lincah dan gampang diikuti. Kalo istilah musiknya, easy listening. Gaya bahasanya ngremaja banget. Nggak heran bukunya cetak ulang sampai lima kali hanya dalam tempo enam bulan sejak dirilis Juni 2004.
Ia juga menawarkan banyak materi literatur baru, terutama penggunaan simbol-simbol ala SMS berupa campuran huruf dan angka untuk membentuk kata kayak “D3@R D1@Ry” atau “53p3RT1 53MuL@” yang bener-bener orisinal buatan Laire dan belum pernah dipakai pengarang-pengarang lain sebelumnya.
Ada pula sentuhan brilian berupa novel Nothing But Love yang dibeli Airel atas anjuran sahabat karibnya, Reval. Airel heran karena kisah novel itu sama persis dengan kisah cintanya yang terombang-ambing di antara tiga nama cowok. Plot meningkat naik ke puncak seiring perjalanan cintanya yang ia takut akan sama juga dengan ending novel yang sangat unhappy ending banget.
Jeniusnya lagi, Laire mengakhiri novelnya pada saat ketika Airel, Tama, dan Reksa bertemu bertiga di kantin untuk membicarakan kisah cinta segitiga mereka. Pembaca pun penasaran, apa yang selanjutnya terjadi pada mereka? Apakah ending kisah cinta Airel akan sama dengan cerita di novel yang dibacanya?
Semata Cinta pun akhirnya jadi sebuah novel yang menghentak. Yang bikin kita nggak akan melupakannya untuk jangka waktu lama. Sayang seperti kebanyakan “Sastrawan Angkatan TeenLit” lain, Laire juga boros dalam bercerita. Ia menampilkan terlalu banyak materi yang nggak berkaitan langsung dengan keseluruhan struktur plot.
Salah satu contoh adalah adegan Airel terpeleset lantai dan kejedot pegangan telundakan (hal 29-30). Bandingkan adegan ini dengan adegan yang hampir mirip ketika Sasha terjungkal di tangga saat mencoba-coba sepatu high heel dan menimpa tubuh Lola dalam Me Vs High Heels-nya Mardel.
Yang pertama hanya sekadar muncul begitu saja, sedang yang kedua adalah bener-bener pencerminan puncak ke-desperate-an benak Sasha dalam merubah penampilannya menjadi cewek feminin dalam rangka memenuhi standar yang diterapkan cowok gebetannya, Arnold.
Contoh lain adalah lirik lagu Nothing But Love-nya Mr Big yang ditulis komplet (hal 42-43) dan dijadiin judul novel namun hanya lewat satu kali itu dan nggak dijadiin “theme song” cerita secara keseluruhan.
Dan sangat disayangkan peristiwa saat Reval memaksa Airel membeli novel Nothing But Love baru muncul di halaman 116. Begitu telatnya elemen penting ini muncul memberi kesan Laire juga terlambat mendapatkan gagasan cemerlang ini, bukannya emang udah dipikirkan sejak awal saat ia mulai menuliskan halaman pertama.
Padahal kalo kejadian ini udah muncul sejak awal cerita, Semata Cinta akan bener-bener berbobot saat baik Airel maupun pembaca sama-sama penasaran dan heran mengetahui satu demi satu betapa kisah cinta Airel sama persis dengan kisah yang terjadi di dalam novel yang dibacanya.
Maka ketika pada ending-nya Laire memenggal cerita dengan menggantung untuk membuat pembaca bertanya-tanya “lantas apakah ending Airel juga sama dengan ending di novel?”, Semata Cinta nggak hanya akan ber-impact besar dalam blantika per-teenlit-an, tapi mungkin juga dunia sastra kontemporer Indonesia secara keseluruhan!
Satu lagi yang patut disayangkan dengan hati mendalam adalah kegemaran para pengarang teenlit, termasuk Laire, untuk menampilkan gaya hidup bermewah-mewah remaja jet set metropolitan.
Membaca tentang rumah yang selalu bertingkat dan punya kolam renang serta semua anak “balita” berusia 15-16 tahunan ngeluyur ke mana-mana memakai BMW seri Z3 bukan merupakan sebuah hiburan yang menyenangkan di tengah kondisi bangsa saat ini tempat ditemukannya bayi-bayi terkena busung lapar dan ABG-ABG di daerah yang bunuh diri karena nggak punya uang untuk bayar SPP!
Yang seperti ini benar-benar mengganggu karena sangat mengiris hati, terutama jika membayangkan novel teenlit dibaca oleh seorang remaja berusia 15 tahun yang tinggal di Wamena dan berangkat ke SMP-nya berjalan kaki sejauh 4 atau 5 kilometer bertelanjang kaki dengan perut kosong karena belum ada apapun di rumah yang bisa dimakan untuk sarapan…
0 komentar:
Posting Komentar