scribo ergo sum

Kamis, 07 Juli 2005

Bizzare Love Triangle

11:11 Posted by wiwien wintarto No comments
Judul: Jangan Bilang Siapa-siapa
Pengarang: Christian MSS
Penerbit: PT Elex Media Komputindo, 2005
Tebal: 169 hal
Genre: Drama/romance
My Grade: C

Cinta segitiga adalah suatu hal yang sangat menarik. Entah itu terjadi pada diri kita sendiri atau pada diri orang lain. Keeksotikannya terletak pada romantika milihnya itu. Ketika dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama kuat, semua akan tertarik untuk mengamati ending-nya. Akhirnya siapa yang akan dipilih?
Novel Jangan Bilang Siapa-siapa (JBS) memaparkan ketika kisah cinta segitiga mampu merubah hidup seseorang. Atau tepatnya, menghentikan rangkaian dendam yang udah berlangsung lama dan udah pula memakan banyak korban.

Tokoh utama novel bikinan Christian MSS ini adalah seorang remaja jet set metropolitan bernama Shayna. Bersama karibnya, Lola, Shayna adalah pelahap fashion terkemuka merek Prada, Anya Hindmarch, Juicy Couture, dan juga FrostFrench.
Shayna punya penyakit gonta-ganti (dan mempermainkan hati) cowok. Ia pacaran bukan karena cinta, tapi karena alasan-alasan sepele kayak nggak tega nolak. Ini terjadi pada pacar terbarunya, Rafael, yang sebenernya udah sangat pengin ia putus karena udah bosan!
Masalah mulai muncul ketika Shayna deket ama Fabio, personel band deLuxe yang ganteng, keren, dan sebentar lagi bakal ngetop menyamai Ariel “Peterpan”. Shayna berada pada persimpangan yang mBingungi. Pengin jalan sama Fabio, tapi ia belum juga tega untuk ngasih vonis putus ke Rafa.
Lantas Rafa mengalami kecelakaan dan sepasang kakinya terancam lumpuh seumur hidup. Merasa bertanggung jawab sebagai pacar, Shayna kembali ke pelukan Rafa dan menyemangatinya untuk belajar jalan kembali. Ia meninggalkan Fabio yang ternyata bener-bener fall in love sama Shayna.
Urusan jadi runyam ketika Fabio yang bingung nekat mendatangi Rafa di rumah sakit dan membongkar semua kisahnya bareng Shayna selama ini. Rafa pun shock begitu ia mengira semua perhatian kekasihnya itu mungkin hanya sekadar rasa kasihan, bukan karena bener-bener sayang.
So, ia nekat bunuh diri di RS dengan mengiris urat nadi tangannya pake pisau buah. Shayna terpukul. Kisahnya sebagai cewek IWAPI (Ikatan Wanita Penggoda Iman!) berhenti sampai di situ. Akhirnya terkuak juga cerita suram masa lalu yang membuat Shayna ndut sampe bisa menjelma menjadi Shayna “wild girl” seperti yang sekarang.
JBS mengandung semua elemen khas film atau sinetron Indonesia. Ada ABG jet set yang ke mana-mana bermobil dan habis Rp 3,5 juta cuman untuk beli baju, ada tokoh-tokoh dengan nama-nama Barat, ada adegan kecelakaan, dan ada adegan kematian komplet dengan acara penguburannya segala!
Secara umum, Christian alias Ino mampu meramu cerita dengan lancar dan enak diikuti. Ia juga setingkat lebih unggul daripada rata-rata pengarang genre teenlit (entah teenlit-nya Gramedia atau penerbit lain) yang pada boros materi dan banyak nampilin unsur-unsur yang nggak punya kaitan langsung dengan bangunan plot ceritanya.
Ino juga sangat detail dalam membahas materi pokok bukunya, yaitu fashion. Doi tau persis Juicy Couture adalah branded Jepang yang belum masuk ke sini dan bahwa FrostFrench adalah merek milik Sadie Frost, mantan isteri Jude Law yang ganti profesi dari aktris ke desainer fesyen. Ino bahkan ngasih footnote untuk menjelaskan semua pernak-pernik itu (risetnya nggak main-main, lho!).
Sayang JBS lemah dalam bangunan ceritanya. Unsur yang paling menarik, yaitu “apa yang membuat Shayna bisa jadi cewek seperti itu?”, nggak diletakkan sejak halaman pertama. Kisah masa lalu Shayna baru hadir pada Bab 15 di halaman 150, sehingga terkesan Ino baru menemukan elemen ini belakangan dan ditaruh dengan tergesa-gesa pada bagian akhir buku.
Sejak awal pembaca digiring pada rasa penasaran tentang “apa dan dengan cara gimana pada akhirnya petualangan Shayna akan berhenti”, dan bukannya pada misteri masa lalu itu. Padahal ini unsur yang sangat kuat dan menjadi ruh keseluruhan cerita.
Akan lebih kuat lagi jika penjelasan pada Bab 15 itu berasal dari mulut Shayna sendiri saat ditanyai orang lain (mungkin Fabio, ortu Rafa, atau adik Rafa) dan bukan narasi flashback langsung dari pengarang.
Lebih bagus lagi jika episode ini ditaruh sebagai Prolog, dan kemudian pada Bab 1 Ino ngasih label “DUA TAHUN KEMUDIAN” atau semacamnya untuk mengawali ceritanya. Sebab agak pincang sebuah kisah diakhiri dengan Epilog tanpa ada Prolog sebagai pasangannya.
JBS juga nggak menyuplai peran penting apapun pada Lola. Fungsinya hanya sebatas sidekick (dan juga penasihat) Shayna tanpa memiliki posisi apapun. “Nasib”-nya mirip dengan tokoh Ratri dan Davin dari buku pertama saya, Kok Jadi Gini?.
Satu lagi, bicara soal selera, saya agak nggak sreg dengan ide perubahan yang harus mengorbankan nyawa orang lain. Unsur ini selalu hadir dalam “tradisi” melodrama khas Indonesia. Si A menyadari kesalahannya setelah si B ditabrak mobil, masuk UGD, dan lantas dokter bilang “Kami sudah berusaha, tetapi…”. Shayna pun baru tobat setelah Rafa meninggal.
Kenapa harus pake acara mati? Sebab saya percaya akan selalu ada cara lain yang lebih lembut daripada kematian untuk mengubah hidup atau kepribadian seseorang.
But anyway, JBS is still a good book dan pantas saya rekomendasiken untuk diborong. Novel kedua Ino terbit sekitar September 2005. Pantas ditunggu tuh.

0 komentar:

Posting Komentar