
Judul: Teen’s Heart: Ciuman Terhangat
Pengarang: Nora Umres
Penerbit: PT Elex Media Komputindo, Jakarta
Tebal: 160 halaman
Genre: Comedy/romance
Harga: Rp 17.800
Verdict: B-
Ada perasaan tenteram yang muncul ketika kita menikmati suatu karya seni yang membuat kita merasa dekat karena kesederhanaannya. Itulah yang terjadi saat kita menutup halaman ke-160 novel seri Teen’s Heart berjudul Ciuman Terhangat (CT) karangan Nora Umres.
Masih satu genre dengan buku-buku Esti Kinasih, Laire Siwi Mentari, Maria Ardelia, Christian MSS, dan juga Muharram Rijalulhaq, CT menjadi pengecualian di tengah berondongan satu “spesies” baru dunia literatur yang oleh banyak kalangan dipandang dengan sebelah mata.
Baru di sinilah akhirnya kita bertemu dengan sesuatu yang nyata, yang real. Real human, real problem, real personality, dan bahkan real city. Nora membuat kita dekat karena menampilkan dunia dan orang-orang yang tampak begitu nyata sehingga mengundang simpati. Mirip yang dilakukan Hilman lewat Lupus, Boim, Gusur, Anto, Fifi Alone, dan lain-lain hampir 20 tahun yang lalu.
Diset di Semarang, CT adalah sebuah kisah sederhana tentang petualangan sederhana seorang cowok SMA yang sederhana bernama Dhika dalam menjalani sekolah, pekerjaan magang, dan percintaannya. Cerita diawali ketika ia diterima sebagai wartawan magang di Tabloid Remaja Zigzag.
Di redaksi tabloid itu, ia mengasah kemampuannya sebagai reporter. Ia berkenalan dengan dunia kewartawanan dan jadi akrab dengan Redaktur Pelaksana Zigzag, seorang wanita dewasa nan anggun bernama Loli. Sayang, pekerjaan itu justru malah membuatnya putus dari Nila.
Pengisi Hati
Dalam keadaan labil, Loli lantas muncul sebagai pengisi hati. Mereka pun kian dekat, meski nggak jelas apakah kedekatan mereka semata pertemanan, hubungan profesional, atau sesuatu yang lebih dalam dari itu. Dan urusan jadi rumit karena gosip yang mengiringi kedekatan mereka bisa membuat Loli terancam kehilangan pekerjaan.
Pada bagian akhir, cerita mengerucut pada diri Dhika dan Loli saja. Mereka ditantang untuk menguji perasaan masing-masing, terlebih di tengah tradisi norma ketimuran yang kadang belum rela melihat seorang lelaki menjalin cinta dengan wanita yang berusia lebih tua.
Kelebihan CT berada pada, sekali lagi, kesederhanaannya. Kita dipertemukan dengan tokoh-tokoh, permasalahan, dan motivasi yang semuanya biasa-biasa saja.
Kita nggak melihat anak SMA yang mengemudi BMW Z3 dan habis Rp 3,5 juta untuk beli baju, celetukan “I dunno” atau “Helloooo…?” yang bukan terjadi di Harlem tapi di Manggarai, gerakan boikot suporter tim basket dengan sogokan duit Rp 10 ribuan, atau kesadaran yang baru muncul setelah ada korban jiwa jatuh.
Memang kita masih berjumpa dengan urusan percintaan di sini, tapi urusan percintaan itu dikelilingi oleh hal-hal lain yang lebih besar, kayak prinsip, komitmen, idealisme, pencarian jati diri, dan terutama sekali problematika kehidupan sehari-hari.
Bila dalam novel era teenlit lain kita hanya disuguhi urusan pacaran sebagai satu-satunya problema yang harus diselesaikan, dalam CT, itu jadi nggak berarti sama sekali. Nora nunjukin pada kita betapa kehidupan semasa ABG nggak hanya sesederhana urusan cari pacar doang.
Pertanyaan Standar
CT juga membawa satu elemen yang nggak ditemui pada novel-novel era teenlit lain, yaitu detail. Dunia kewartawanan ditampilkan dengan gamblang lewat adegan Dhika yang ditertawakan karena mengajukan pertanyaan standar saat meliput konferensi pers Padi, Dhika yang meliput konser Padi jauh sampai Cilacap dengan mencarter angkudes seharga Rp 100 ribu pada malam hari, hingga ungkapan Loli soal “pagar api” antara iklan dan berita.
Meski begitu tetap ada beberapa materi yang membuat kita ingin lebih karena nggak tergarap maksimal. Salah satu contoh adalah hubungan spesial antara Nila dan Sasi yang terlalu cepat sampai garis finish. Sasi pun akhirnya lenyap, padahal ia bisa menjadi satu subplot tersendiri buat Nila.
Paparan dunia modelling juga hanya nongol satu kali dan nggak pernah muncul lagi. Awalan bagus soal Yuba Modelling dan Mas Bayu yang genit akhirnya jadi terbuang percuma. Pembaca yang hobi soal modelling pasti iri karena kawan mereka yang pengin jadi wartawan mendapat “servis” yang mendalam sedang mereka hanya memperoleh jatah nggak lebih dari 4 halaman.
Dan bobot percintaan antara Dhika dan Mbak Loli akan terasa lebih “berat” kalo kita diizinkan untuk tahu berapa persisnya perbedaan usia antara mereka. Apa dua tahun? Tiga tahun? Atau 10 tahun?
Ke Majenang
Salah satu momen paling menarik dalam CT adalah saat Dhika ragu-ragu untuk mengikuti tur konser Padi dari Cilacap ke Majenang. Karena bete, ia nggak mau terus ke Majenang, tapi pengin langsung pulang ke Semarang dari Cilacap. Lewat SMS, Loli nyuruh Dhika untuk terus ikut ke Majenang karena “SELALU ADA YG BEDA”.
Ketika kemudian pulang dari Cilacap (dan juga Majenang), ia mengakui kata-kata Loli memang benar. Hidup selalu penuh kemungkinan yang membuat hal yang sama pun akan selalu jadi tampak beda. Novel ini, begitu pula, membawa kita pada pengertian itu. Selalu ada yang beda, even from the most simplest and smallest thing…
Overall, Nora Umres jauh lebih advance daripada kebanyakan pengarang genre teenlit (dan Teen’s Heart) lain. CT-nya meninggalkan makna, dan nggak hanya sekadar kepuasan karena menyaksikan kedua tokoh utamanya berhasil jadian pada ending cerita.
Tapi itu segera aja membuat kita bertanya-tanya, karena ada satu hal yang left unexplained dari seorang Nora, yaitu who she really is. Di Semarang, ia dikenal sebagai pengarang yang paling tertutup dan paling menghindari publikasi. Fans hanya diperbolehkan mengenali karya-karyanya, tapi bukan dirinya.
Jejak kehidupannya bisa diterangkan kayak semboyan Phantom sang superhero hutan: “no one ever saw her face”!
Untungnya, ini sastra, bukan showbiz, tempat pencitraan secara fisik kadang jauh lebih penting daripada produk. Dan lagi, semua misteri akan kembali pada pesan SMS yang diberikan Loli buat Dhika tadi.
Selalu ada yang beda.
0 komentar:
Posting Komentar