Saya sangat suka main video game. Kayaknya, waktu saya jauh lebih banyak “teralokasikan” untuk nge-game daripada kerja, hehe…
Pertama kali saya kenal game adalah tahun 1985, waktu saya diajak Bapak ke arena ding dong di Mickey Morse Departmen Store, Simpanglima, Semarang. Game yang bikin saya kecanduan saat itu adalah Kamikaze.
Pertemuan pertama langsung berefek eternal. Saya nggak bisa melepaskan diri dari game, terlebih ketika kemudian saya mulai kenal komputer sejak 1988. Game berubah dari hanya sekadar hobi menjadi semacam… ummm… “way of life”.
Saya bermain game nggak hanya sekadar untuk spending time to have fun. Tapi dengan passion. Dengan hasrat. Bahkan dengan keinginan untuk belajar dan menyerap ilmu-ilmu baru.
Nggak kayak gamers lain yang maunya cuman berburu game-game terbaru dan termutakhir, saya menemukan keasyikan yang sama baik saat main NFS Underground 2 maupun saat main Hearts di Windows. Baik saat main Medal of Honor maupun saat iseng main Digger.
Saya bahkan menemukan sebuah dunia baru di sana. Dunia tempat kita bisa jadi dominan (dengan cheat, hehe…!). Dan dunia tempat pelarian diri dari masalah sama sekali nggak memerlukan rokok, alkohol, obat bius, atau seks pranikah!
Banyak yang nanya, apa yang membuat game begitu berarti buat saya? Yang lain nanya tentang hal yang lebih mendasar: apa sih gunanya game? Tidakkah itu sama aja dengan membuang waktu yang semestinya bisa dipakai untuk hal2 yang lebih berguna?
Jawaban pertanyaan itu ada pada bagaimana otak saya bekerja. Dia nggak pernah berhenti muter. Kenapa? Karena main game mirip kayak membaca, yaitu menuntut otak kita untuk terus bekerja dan berproses pada saat fisik melakukan aktivitas relaksasi yang disebut istirahat alias mengaso.
Apa yang kamu pilih untuk mengisi waktu luang? Sebagian besar pasti milih mendengarkan musik atau nonton TV. Kedua kegiatan ini mengistirahatkan sekaligus fisik dan otak. Yang lainnya pilih membaca. Saat kita membaca, otak berputar karena membaca merupakan sebuah kegiatan aktif dan bukan kejadian yang pasif saat kayak kita nonton TV.
Main game membuat otak kita bekerja lebih cepat. Saat main game, otak kita dituntut untuk melakukan pekerjaan yang sama dengan yang dilakukannya saat kita menghadapi dunia nyata, yaitu problem solving.
Memikirkan bagaimana kita bisa melewati satu level, bisa menyelesaikan satu puzzle, bisa mengalahkan boss monster yang hebat, bisa menang di satu seri balapan, atau bisa mengalahkan balatentara Romawi adalah sama “berat” dengan mikirin gimana kita bisa membayar tagihan Telkom & PLN serta gimana kita bisa dapet duit untuk beli susu buat si kecil!
Dan membiarkan otak untuk terus bekerja bahkan pada waktu badan istirahat membuat otak saya akhirnya (terbiasa untuk) nggak pernah “libur” hampir selama 24 jam full tiap hari.
Saat lagi melamun pun otak saya masih bisa “mikir”.
Efeknya lebih jauh apa? Ide-ide, mulai dari yang paling remeh sampai yang paling aneh, lebih gampang nongol. Jalan menuju pemecahan (almost) segala masalah ketemu dengan relatif cepat even sampai ke level yang setingkat lebih tinggi, yaitu pencegahan masalah (orang-orang sering mengkritik saya karena terlalu hati-hati dan jarang mau ambil risiko, tapi so what? I’m just trying to save my a** just like anyone else!).
Efek itu juga nggak lepas dari pilihan genre game yang saya suka. Orang lain lebih suka action dan arcade, saya jauh lebih suka strategi dan simulasi. Game-game yang saya mainkan kadang nggak keliatan kayak game sama sekali.
Salah seorang teman (yang buta game) mengira saya lagi mengerjakan sebuah proyek arsitektur waktu liat saya lagi main Age of Empires II: The Conquerors pake komputer kantor!
Beda dari genre action dan arcade yang mengutamakan reflek dan reaksi, genre strategi dan simulasi menuntut kita untuk melakukan proses problem solving dengan pola berpikir yang runtut, ilmiah, dan realistis.
Untuk mencegah musuh menguasai teritori kita, maka kita harus terlebih dulu menyerbu bentengnya. Untuk menyerbu benteng, kita harus punya tentara. Agar punya tentara, kita harus punya anggaran dan logistik yang mencukupi.
Untuk memperkaya anggaran, kita harus menggiatkan roda ekonomi dan pajak. Untuk mempunyai persediaan logistik yang cukup, kita harus menggalakkan kegiatan pertanian. Agar kedua bidang itu bergerak, kita butuh rakyat. Agar rakyat mau melakukan semuanya, kita harus membuat mereka bahagia. Dan agar mereka bahagia, kita harus… begitu seterusnya dan seterusnya.
Proses berpikir persis seperti itulah yang kita pake dalam menjalani kehidupan ini, baik dalam karier, kehidupan sosial, hubungan dengan keluarga dekat, maupun dalam our love life. Proses serupa juga yang kita pake saat mengerjakan skripsi.
Intinya, saya menemukan, mempelajari, dan memakai proses itu saat bermain game. Di situ saya menemukan “miniatur” hidup, sebuah virtual life yang amat mengasyikkan. Dan karena saat bermain, bersantai, dan menikmati hiburan pun saya udah menggunakannya, maka ketika kembali terjun ke dunia nyata, saya udah nggak terlalu kaget lagi menghadapi semua masalah, rintangan, dan aral yang ada.
Saya pernah menghadapi yang macam gini, meski nggak mirip-mirip betul, begitu selalu kata hati saya. Dan “latihan” berpikir yang saya lakukan saat nge-game bener-bener bermanfaat, kayak tentara yang nggak grogi ketemu musuh sungguhan di medan perang karena sebelumnya udah sering berlatih perang-perangan di markas.
So, itulah arti game buat saya. Hal yang saya masuki untuk bersenang-senang, bermalas-malasan, membuang-buang waktu, dan menghibur diri, tapi akhirnya membuat saya bertemu lagi dengan sebuah tempat yang secara resmi udah saya tinggalkan 15 tahun yang lalu.
Sekolah.
0 komentar:
Posting Komentar