Sejak kecil kita dididik untuk punya cita-cita, punya tujuan hidup kelak akan ke mana. Saya juga. Tadinya cita-cita saya adalah jadi dokter, lalu jadi komikus kayak bapak saya karena faktor genetik, saya juga bisa nggambar.
Masuk kelas akhir SD dan lantas naik ke SMP, saya makin tertarik pada dunia komik (terutama komik kartun setelah baca Tintin). Sayangnya, tiap kali pengin bikin komik, hasilnya nggak pernah maksimal. Selalu saja ada yang terasa kurang.
Tahun 1985, pas kelas II SMP, saya jadi anggota Perling (Perpustakaan Keliling) diajak Itok, adik saya. Mobil Perling (saya masih ingat betul mereknya Datsun pikup yang bagian belakangnya dibikin rak buku merangkap meja administrasi peminjaman!) singgah di Blok A Perumahan Genuk Indah tiap Rabu pukul 15.00.
Saban Rabu, abis pulang sekolah dan lunch, kita semua selalu udah siap nongkrong di Blok A dekat TK Taman Indrya, nunggu mobil Perling nongol. Begitu mobil udah dateng, kita langsung rebutan minjem buku-buku Lima Sekawan, Pasukan Mau Tahu, Sersan Grung-grung, Trio Detektif, atau misteri Agatha Christie.
Dari Perling, saya menemukan dunia baru, yaitu novel. Dan kemudian, suatu ide terlintas di benak: why not become a novelist? Dan ide ini begitu dominan sampai kemudian saya “nobatkan” jadi cita-cita. Mungkin sayalah satu-satunya orang di dunia yang punya cita-cita pengin jadi pengarang, dalam hal ini novelis. Bukan sekadar hobi, tapi bener-bener CITA-CITA!
Fakta bahwa saya sama sekali nggak punya skill menulis sama sekali nggak membuat itu berakhir. Skill saya gambar, bukan nulis. Anyway, saya tetap maju tak gentar. Nggak punya mesin ketik? Juga tetap maju tak gentar! Saya beli buku tulis melebihi kuota. Sisanya saya pake untuk bikin “novel” dengan tulisan tangan gedrig.
“Novel” pertama saya berjudul Yang Dinanti Datanglah Jua, sebuah cerita melodrama tentang seorang cewek yang bertemu dengan kakak cowoknya setelah terpisah 10 tahun lebih gara2 banjir (aieeee… ndesoooo!!). “Novel” ini saya tulis di buku tulis biru cap Banteng setebal 36 halaman, komplet dengan desain kover dan halaman kredit buku dengan “penerbit” bernama CV Eka Jaya Sakti (hahaha… khayalan bocah!!).
Sepanjang era 1980-an saya terus nulis cerita (biasanya misteri-detektif) di buku tulis sampai terkenal dan rame dipinjem ama teman-teman sekelas. Saya juga bikin “majalah” anak-anak bernama Idaman yang ditulis di buku (cap Banteng) dan juga “dilanggan” teman-teman pas SMP.
Saya nulis dan nulis terus tanpa peduli pendapat orang (terutama Bapak yang gondok karena saya ternyata nggak mau jadi komikus, hehe…!). Acara nulis tiap hari ternyata jadi “sekolah” yang sangat berguna. Pantas orang bilang “practice makes perfect”. Dari sama sekali nggak bisa, saya akhirnya bener-bener BISA nulis dan resmi jadi penulis sejak 1992.
Dan akhirnya bisa bener-bener menguasai teknik penulisan fiksi pada sekitar tahun 2000. Such a long, long way. A loooong journey. Bayangin sesuatu yang baru kamu dapatkan setelah bekerja keras selama 15 tahun lebih. Dan bayangin kayak apa berharganya sesuatu yang kamu impikan dan baru terwujud setelah 20 tahun.
2005 ini, novel pertama saya diterbitkan oleh Elex Media Komputindo, setelah saya banting tulang tanpa pernah nyerah sejak 1985. Rasanya jauh lebih indah daripada saat ketika melihat seseorang bilang “ya, aku mau!” saat kutanya “will u marry me?”…
Mimpi jadi nyata. Nggak ada yang lebih indah daripada itu.
0 komentar:
Posting Komentar