Terkadang sebuah buku lahir dari ketidakpuasan dan rasa penasaran
terhadap buku lain. Novel teranyarku ini, Elang Menoreh: Perjalanan Purwa Kala,
barangkali tak akan ada tanpa satu buku lain dari tahun 2010 yang membuatku
mangkel. Ia berkisah soal para ksatria, namun tak memuat satu pun adegan laga.
Alih-alih, para tokohnya malah sibuk drama dan bertangisan.
Gondok tak tertahankan, aku pun menulis cerita tentang tokoh ksatria
yang sama namun dengan pendekatan yang sangat eksyen. Terlebih genre cerita
favoritku sesudah membaca karya-karya SH Mintardja dan Arswendo Atmowiloto (di Senopati
Pamungkas) adalah cerita silat. Maka imajinasiku soal pertarungan-pertarungan
terdahsyat pun tumpah di situ, menggantikan memori kelam soal para pendekar
nangis itu tadi.
Tokoh yang kumaksud adalah Panembahan Senopati ing Alaga (sekitar
1535-1601), pendiri dinasti Mataram yang kini menjadi Keraton Yogyakarta dan
Keraton Surakarta. Cerita dibuka dengan awal masa jabatannya sebagai pemimpin
Mataram sesudah sang ayah kandung, Ki Gede Mataram alias Ki Pemanahan,
meninggal dunia. Ia dibantu oleh puteranya, Raden Rangga, di sisi militer, dan
pakdenya, Ki Juru Mertani, sebagai penasihat.
Meski begitu, tokoh utama kisah ini bukan dia, melainkan pesilat muda
dari lereng bukit Menoreh bernama Nara. Ia turun gunung melaksanakan penugasan
dari gurunya, Empu Soca. Serentetan peristiwa kemudian membawanya bertemu
dengan Senopati, dan terseret dalam intrik politik tingkat tinggi antara
penguasa Mataram itu dengan para adipati Bang Wetan yang dipelopori Adipati
Demak Arya Pangiri dan Adipati Tuban Arya Pamalad. Keduanya berambisi terhadap
satu hal: takhta Pajang yang kemungkinan tak lama lagi akan ditinggalkan Sultan
Hadiwijaya.
Nara juga terlibat urusan lain, yaitu perebutan harta Gelang Mas yang
menggegerkan rimba persilatan. Sejak awal tak pernah jelas apa itu Gelang Mas.
Apakah senjata pusaka? Apakah kitab silat terhebat? Tak ada yang tahu. Yang
jelas, ketika rahasia terungkap, semua terenyak karena harta karun itu tak seperti
apa pun yang pernah terbayangkan oleh mereka sebelumnya.
Dan di tengah semuanya, Nara bertemu Dayu Margantari alias Retna Wilis,
perempuan luar biasa cantik dari selatan yang seperti tak pernah mengganti
bajunya yang berwarna serbahijau itu. Wilis yang mengagumkan membuatnya
bertekuk lutut, tapi ia harus siap menerima kenyataan jika sang bidadari
mungkin ditakdirkan untuk bersama pria lain.
Elang Menoreh mulai kutulis sekitar bulan Mei 2010. Bahwa proses
kreatifnya hingga terbit memakan waktu delapan tahun menunjukkan bahwa bisnis
pernovelan memang hanya untuk yang berkesabaran baja. Mirip novel Ingsun yang
tayang di Webcomics, Elang juga mengalami buanyak sekali perubahan dan
revisi, di tingkat diri sendiri. Versi aslinya sempat kupajang di Wattpad
beberapa waktu lalu.
Sejarah berubah ketika di Facebook aku berkenalan dengan Langit Kresna
Hariadi, pengarang seri Gajah Mada yang fenomenal itu. Waktu kutanya penerbit
mana yang kira-kira berminat terhadap kisah genre silat-sejarah, ia merekomen
Tiga Serangkai, yang kini memiliki imprint Metamind untuk novel-novel dewasa.
Segera kukirim Elang ke sana, dan ternyata memang benar. Lolos.
Hanya saja, naskah asli setebal 380 halaman diminta untuk ditipiskan
jadi 230-an halaman. Kulakukan ini dengan teknik yang sama seperti pada novel Dunia
Dini sebelas tahun lalu, yaitu dengan menghilangkan beberapa karakter dan alur
cerita yang berkaitan dengan mereka.
Maka cerita yang tampil di versi novel cetak ini sudah berbeda sekali
dengan versi Wattpad. Selain itu, penerbit meminta agar naskah di Wattpad
dihapus total. Ini beda dengan PT Neobazar Indonesia (pemegang lisensi
Webcomics yang berasal dari Korea Selatan itu) masih memperbolehkan versi Wattpad
dipajang hingga lima chapter saat Ingsun mulai ditayangkan di web dan app
Webcomics.
Elang pun menjadi tonggak penting karier kepenulisanku karena pada
akhirnya aku bisa sampai juga di titik ini. Gara-gara dua pengarang besar di
atas tadi, saat kali pertama menginjakkan kaki di dunia pernovelan, cita-cita
terbesarku adalah untuk menerbitkan novel kisah silat-sejarah. Sayang itu jelas
tak mudah, karena genre ini sedang tak memiliki pangsa pasar yang kuat pada
abad ke-21. Maka aku pun harus mau bertualang di genre lain yang sebenarnya
bukan comfort zone-ku, yaitu roman remaja-dewasa alias young adult, biasa
disingkat YA (melalui merek-merek Teen’s Heart di Elex Media Komputindo dan
Teenlit, Metropop, Amore, serta Young Adult di Gramedia Pustaka Utama).
Namun justru petualangan awalku di genre itu membuka mata tentang cara
baru memandang genre silat-sejarah. Para tokoh utama novel-novel cersil pada
umumnya, baik berlatar Jawa maupun Tiongkok (ala Jin Yong atau Kho Ping Hoo),
adalah para anak muda remaja (Guo Jing dan Huang Rong di kisah Pendekar
Pemanah Rajawali berumur 18 tahun). Sayang mereka kebanyakan dipotret terlalu
“tua” (resmi, pendiam, kaku, irit ketawa) seperti para pengarangnya, yang
rata-rata sudah berumur 40-50 tahun saat menulisnya.
Pengalaman menulis roman YA memberi gambaran jelas mengenai sosok remaja—ditambah
periode kerja di Tren dan Gradasi. Terlepas dari beda antara ABG abad XXI dan
XVI, mereka tentu serupa: berjiwa bebas, penuh tawa dan kejahilan, serta
berkecenderungan memberontak dan hobi bertualang. Di titik inilah para tokoh
utama Elang seperti Nara, Raden Rangga, Raden Pabelan, dan juga Wilis bisa
hadir seutuhnya sebagai anak muda.
Maka membaca Elang pun bakal terasa seperti menyimak versi milenial
cersil klasik era Niki Kosasih, Widi Widayat, Herman Pratikto, atau Bastian
Tito. Dan aura YA-nya masih jelas terasa, sehingga pembaca kisah-kisah roman
masa kini tak akan terlalu sulit lebur di dalamnya. Yang bakal terasa asing
adalah latar waktu dan aspek kulturalnya, yang membawa kita balik ke Jawa pada
masa 500 tahun lalu.
Seperti biasa, selalu ada hal baru di setiap novelku. Salah satunya
adalah mengenai unit ketentaraan yang di Prancis dikenal dengan istilah
musketeer (novel The Three Musketeers karya Alexandre Dumas). Hal baru lain
adalah pada sisi detail adegan peperangan beserta ulasan taktik dan
strateginya, yang kuambil inspirasinya dari game Age of Empires II: The Age of
Kings beserta set ekspansinya, Age of Empires IIL The Conquerors.
Elang sudah tersedia di toko-toko buku akhir bulan ini, atau
selambatnya awal November. Bagi yang kangen kisah berlatar Jawa, dengan tokoh
yang kakinya menginjak gunung, lembah, lumpur sawah, serta tepian sungai, ini
akan menjadi pilihan yang tepat.
0 komentar:
Posting Komentar