(Foto: CBS) |
Judul Star Trek sudah menjadi legenda di kalangan pencinta fiksi ilmiah
dan petualangan luar angkasa. Selama setengah abad sejak serial perdana serial
Star Trek mengudara tahun 1966 (Star Trek: The Original Series), telah muncul
banyak judul serial sempalan dan juga berseri-seri film layar lebar. Setelah
sekian lama, tak heran inovasi dan pembaruan diperlukan tiap kali satu judul
baru Star Wars muncul. Dan itu diaplikasikan oleh produk terbaru waralaba media
satu ini, yaitu Star Trek: Discovery.
Tayang di sasiun TV internet CBS All Access mulai 24 September 2017
hingga 11 Februari 2018, Star Trek: Discovery menempuh jalan berbeda dalam
model penceritaan dibanding serial-serial pendahulunya. Jika produk lama, sejak
Star Trek: TOS hingga Star Trek: Enterprise (2005) diceritakan dalam format
serial (satu episode tamat, cerita berbeda-beda), maka Discovery bertutur dalam
gaya berkelanjutan alias bersambung. Kelimabelas episode dalam musim pertama
mengisahkan satu cerita tunggal terkait perang besar antara Federasi
Antarplanet melawan bangsa Klingon.
Cerita Discovery sendiri berlatar satu dekade sebelum latar waktu di
Star Trek: TOS, yaitu pada zaman USS Enterprise dipimpin Kapten James T. Kirk
(William Shatner) dan Mr. Spock (Leonard Nimoy). Mantan wakil kapten USS
Shenzou, Michael Burnham (Sonequa Martin-Green) yang menjadi narapidana militer
karena kasus pemberontakan, direkrut oleh Kapten Gabriel Lorca (Jason Isaacs)
untuk menjadi spesialis sains di kapalnya, USS Discovery, dalam berperang menghadapi
Klingon.
Discovery sebetulnya bukan kapal perang, melainkan kapal penelitian
ilmiah. Ia terpaksa berubah fungsi sejak komandan sainsnya, Letnan Paul Stamets
(Anthony Rapp), menemukan teknologi baru dalam hal bepergian jarak jauh secara cepat
melebihi teknologi mesin warp, yaitu dengan spora. Kemampuannya melompat-lompat
secara kilat menjadikan Discovery sebagai mesin perang garda terdepan dalam
perang besar tersebut.
Gara-gara satu kesalahan saat melakukan lompatan, Discovery terlempar ke
semesta paralel. Tak ada Federasi di sana, melainkan Kekaisaran Terran di bawah
pimpinan Kaisar Philippa Georgiou (Michelle Yeoh) yang luar biasa sadis.
Burnham dan kawan-kawan pun menghadapi situasi pelik antara hidup dan mati,
sekaligus fakta-fakta mengejutkan mengenai dua kawan mereka, yaitu Kapten Lorca
dan pacar Burnham, Letnan Ash Tyler (Shazaad Latif).
Star Trek: Discovery dibidani oleh Bryan Fuller dan Alex Kurtzman,
meneruskan warisan kisah yang awalnya dikerjakan oleh mendiang Gene Rodenberry.
Ini menjadi kelanjutan seria-serial Star Trek sebelumnya, yaitu Star Trek: The
Next Generations (1987-94), Star Trek: Deep Space Nine (1993-99), Star Trek:
Voyager (1995-2001), dan Star Trek: Enterprise (2001-05). Kesemua judul
tersebut, kecuali yang terakhir, pernah ditayangkan di stasiun-stasiun TV
swasta Tanah Air yang sekarang melulu dimabok sinetron, infotainemt, dan
reality show "setting"-an.
Perbedaan cara bertutur dari format serial menjadi bersambung ditempuh
karena tuntutan zaman. Perlu diketahui, dunia sinetron Amerika Serikat saat ini
tengah menjalani Golden Age alias puncak keemasaannya. Ini terjadi sejak
kemunculan serial legendaris Breaking Bad dan apalagi setelah HBO memunculkan
Game of Thrones. Karakteristik serial-serial gaya baru adalah cerita yang terus
berkelanjutan dalam satu musim dan tokoh-tokoh “lakon” yang bisa saja mati
mendadak (seperti adegan Red Wedding di musik keempat Game of Thrones yang
menggemparkan itu!).
Bryan Fuller merasa Discovery harus mengadaptasi format ini, dan tak
mempertahankan format serial Star Trek lama, yang tiap episode pergi ke planet
baru dan dengan persoalan beda-beda dan semuanya tuntas dalam satu episode
tunggal tersebut. Ia sudah memikirkan hal ini sejak Deep Space Nine tayang pada
era 1990-an lalu, dan baru terwujud tahun 2015 saat kali pertama ia merintis
gagasan Discovery.
Dan hasilnya tidaklah mengecewakan. Selain mendapatkan skor 82% di
Rotten Tomatoes dan 72 di Metacritic, Star Trek: Discovery mendapat tanggapan
yang sangat baik di kalangan Trekkies (sebutan bagi para penggila franchise
Star Trek, termasuk saya). Pujian para kritikus terutama dialamatkan pada
penampilan akting Sonequa Martin-Green, yang sangat sukses memainkan karakter
Michael Burnham, tokoh utama kedua yang berlatarbelakang Afro-Amerika sesudah
Benjamin Sisko (Avery Brooks) di Deep Space Nine. Tak aneh bila CBS langsung
meluncurkan musim kedua, yang kemungkinan akan dirilis akhir tahun 2018 ini.
Faktor kesuksesan lain ada pada set dekorasi dan efek visual yang
prima. Teknologi CGI memungkinkan penampakan kapal-kapal bintang secara jauh
lebih detail dan realistis. Favorit saya adalah pengambilan long shot USS
Discovery yang kemudian mendekat hingga titik ekstrem pada jendela anjungan
kapal tempat kapten dan awak kapal bekerja. Dan untuk kali pertama juga dalam
sebuah serial Star Trek terdapat pemandangan landscape kota Paris abad ke-23
yang bermandikan cahaya. Spektakuler!
Namun tak seperti hasil pekerjaan Joss Whedon dkk. di Marvel Cinematic
Universe (MCU), semesta Star Trek di TV tidak berkenaan atau saling berkaitan
dengan rekan sejawatnya di layar lebar, yaitu pada versi reboot sejak film Star
Trek tahun 2009 hingga yang terbaru, Star Trek Beyond (2015).
Padahal akan sangat bagus jika semesta fiktif TV nyambung dengan versi
bioskop seperti di MCU, sebab tokoh yang ditemui para awak USS Discovery di
adegan penutup musim pertama adalah tokoh penting yang muncul pada bagian awal
film Star Trek, dan diperankan oleh Bruce Greenwood. Well, mungkin belum
tersambung saja, sementara nunggu para kru marketing dan lawyer saling
bernegosiasi soal rights.
Yang jelas Star Trek: Discovery adalah tontonan yang tak boleh
dilewatkan oleh para penggemar kisah-kisah science fiction dan space opera. Ia
membuka mata hati bahwa urusan duniawi lebih gede dari seputar asmara dan
konflik tingkat planet Bumi.
0 komentar:
Posting Komentar