Pada era medsos ini, akan mudah bagi
kita untuk menjumpai tulisan-tulisan bagus bertebaran di mana-mana, baik itu di
Facebook, Twitter, Instagram, maupun blog. Tulisan-tulisan itu sangat kreatif
karena memotivasi, menggugah, menjengkelkan, atau berisi humor-humor yang
sangat lucu meski receh. Setelah mendapat begitu banyak atensi dan respon,
tulisan-tulisan itu pun kemudian viral.
Pengunggah tulisan-tulisan viral
itu kemudian dikenal luas sehingga menjelma selebritas. Dan berhubung yang
mereka geluti bagaimanapun adalah produk seni menulis, wajar bila mereka kemudian
berpikir pasti akan bisa jadi penulis yang berkelas, terutama untuk menulis
buku fiksi. Logika awam pun menyatakan demikian. Siapapun yang memiliki tulisan
bagus, pasti akan dengan mudah bergerak makin dalam untuk menulis buku.
Benarkah demikian?
Kenyataannya adalah serupa dengan
aksi-aksi lihai seorang pemain freestyle
football. Sudah adakah seorang pesepakbola freestyle dengan skill yahud
kemudian menjadi pesepakbola profesional sekelas Harry Kane, Richarlison, atau
Mohamed Salah? Jika tak banyak—kalau tak boleh dibilang belum ada sama sekali—itu
tak lain karena urusan sepakbola profesional tak semata hanya mengandalkan skill mengontrol dan mengolah bola.
Banyak skill lain harus juga dikuasai, atau terlebih dulu dikuasai, seperti
soal patuh pada perintah (pelatih), kemampuan menekan ego sehingga bisa
bekerjasama dengan orang lain, serta kemampuan mengeksekusi strategi sehingga
lancar menerima instruksi pelatih.
Hal yang sama berlalu dalam dunia
kepenulisan. Level tertinggi dalam dunia ini, yaitu menulis buku, apalagi secara
rutin dan kontinu, membutuhkan banyak skill
lain yang cukup njelimet selain hanya urusan tulisan bagus. Bahkan, khusus
untuk kepenulisan fiksi, peran banyak skill
lain itu justru lebih penting ketimbang basis dasar atau talenta kemampuan menulis
semata.
Tulisan bagus, biarpun selama ini
terbukti selalu viral di medsos, tak akan menolong penyelesaian sebuah buku
tanpa terkuasainya kemampuan-kemampuan itu terlebih dulu. Sebaliknya, kemampuan
menulis yang pas-pasan bisa dipoles jadi matang setelah hal-hal tersebut
dipahami dan dipraktikkan secara nyata. Mengapa begitu? Sebab aspek-aspek
krusial dalam kemampuan menulis hampir seluruhnya adalah urusan mental dan
emosi, bukan yang berkaitan dengan hal-hal teknis semata.
Ada beberapa hal penting harus
dicermati. Pertama, bidang ini harus dijalani dengan tingkat kesabaran yang
supertinggi. Buku fiksi tidak diproduksi kilat semacam tulisan jurnalistik yang
terbatasi tenggat mepet atau buku-buku nonfiksi yang dirilis berdasar jendela
tren. Ia adalah anak ideologis penulis, yang harus hadir sesempurna mungkin,
memenuhi semua standar teknis kepenulisan umum, dan telah sesuai benar dengan
ukuran-ukuran personal sang penulis.
Tak jarang sebuah karya fiksi
ditulis dalam jangka waktu lama, dan diedarkan setelah melewati kurun waktu
panjang sesudah manuskrip diselesaikan. Tak ada buku fiksi, terutama novel,
yang mulai ditulis hari ini dengan target sudah harus ada di toko buku bulan
depan—kecuali novel-novel tie-in
dengan film yang diproduksi secara kilat karena mengikuti jadwal edar filmnya.
Seandainyapun bisa, hasilnya tak
akan maksimal. Itu sebabnya mayoritas novel tie-in
dengan film pasti berkategori semenjana—bahkan buruk—karena hanya dikerjakan
selama 4-5 hari dan langsung segera dimasukkan percetakan secepat mungkin.
Hasil cetakannya pun kadang menyedihkan pula. Baru saja dibeli, lemnya memudar dan
semua kertasnya terlepas dari kover!
Tulisan nonfiksi bisa dikejar
secepat mungkin, namun tulisan seni tak bisa dibuat dengan pendekatan serupa.
Nanti pasti akan lebih terasa seperti barang dagangan dan bukan karya seni. Saat
penulis medsos bertulisan bagus itu ingin berkarier menulis buku fiksi, ia
harus mudeng bahwa yang ia kerjakan saat ini selayanya memang akan menempuh
waktu yang tidak singkat dalam penggarapan.
Kedua, kita tidak bisa memasang
ekspektasi terlalu tinggi pada buku pertama. Adalah sangat wajar kita idealis,
ingin melahirkan buku yang “pembaca tak hanya baca cerita, namun juga
mendapatkan sesuablablablah”, atau buku pertama itu langsung best seller (lalu difilmkan) dan memberi
impact yang nyata pada kebudayaan
seperti Laskar Pelangi-nya Andrea
Hirata.
Sayang dunia nyata tak bekerja
seindah itu. Pada satu judul buku best
seller akan terdapat sejuta judul yang biasa-biasa saja dan menghasilkan
dampak yang juga standar-standar saja. Semua penulis harus mengantisipasi ini.
Jika tidak, kita akan tetap saja mengalami hal buruk entah ekspektasi tinggi
tersebut jadi nyata atau tidak.
Jika buku pertama itu langsung
berdampak sosial budaya tinggi dan sekaligus juga best seller, sang penulis akan mengalami semacam hangover saat akan menuliskan buku
kedua. Harapan yang muncul tentu adalah bahwa buku itu lebih bagus daripada
buku pertama. Namun jika kita sudah telanjur mengerahkan seluruh kemampuan
terbaik pada judul pertama, kemampuan lebih baik mana lagi yang harus digunakan
untuk karya berikut?
Kita akan pusing duluan memikirkan
ini. Dan karena terlalu keras berpikir, ujung-ujungnya malah naskah kedua tak
segera selesai-selesai karena telanjur memasang ekspektasi dan standar yang
kelewat tinggi.
Harapan jadi nyata saja
menghasilkan dampak buruk, apalagi jika yang terjadi adalah sebaliknya. Buku
kita berdampak biasa saja padahal kita merasa sudah mengeluarkan segala yang
terbaik. Ini fatal. Jika mental belum terdidik sebagai penulis sejati, bisa
saja kita patah arang dan kehilangan motivasi untuk menulis.
Dan aspek krusial ketiga adalah yang
tersulit di antara segala. Apa itu? Kita harus berlatih untuk diam dan tidak
membantah dalam sebuah diskusi atau perdebatan sekalipun kita yakin—atau bahkan
tahu persis—bahwa kita sedang berada di pihak yang benar. Kemampuan ini berguna
saat buku kita nanti sudah melanglah buana ke dunia luas dan dibaca ratusan
atau ribuan orang.
Sekadar informasi saja, rimba
belantara di luar sana bisa sangat kejam dan telengas. Sekalipun kita merasa tulisan
kita sudah bagus, pengkritik dan orang yang tidak satu selera akan selalu ada.
Mereka beredar di Goodreads dan blog-blog pribadi lewat berbagai resensi
amatir, tak jarang dengan bahasa yang sangat telanjang. Jika kita masih selalu
berhasrat untuk berargumen, waktu dan energi hidup akan habis hanya untuk
ngurusin semua ulasan tersebut satu demi satu—membantah, menjelaskan,
mengklarifikasi. Terus nulisnya kapan?
Memang jika kita kaji lebih jauh,
profesi sebagai penulis fiksi unik karena sisi-sisi mental justru lebih
berperan untuk meningkatkan skill
daripada urusan pendalaman teknis dan jam terbang. Maka sekadar bisa nulis
bagus (di medsos) saja tak pernah cukup. Banyak hal genting harus digali lebih
dulu sebelum memutuskan untuk terjun sebagai penulis permanen.
Lain soal kalau kita memang hanya
akan melahirkan satu-dua buku saja sekadar untuk mempercantik CV, seperti yang
kerap dilakukan para selebritas dunia hiburan.
0 komentar:
Posting Komentar