scribo ergo sum

Rabu, 20 Juni 2018

"Pengabdi Setan" dan Salfok

11:05 Posted by wiwien wintarto No comments
(Foto: kapanlagi.com)

Di dalam kamus anak gaul zaman now terdapat suatu istilah yang disebut salfok. Ini merupakan kependekan dari salah fokus, digunakan dalam keadaan ketika pada kita dipaparkan sesuatu namun kita malah justru lebih memperhatikan hal printilan yang tidak urgen dari hal tersebut. Misal ada foto cewek cantik tapi kita justru lebih tertarik pada pot bunga di pojok belakang foto. Situasi yang sama terjadi saat aku menonton film Pengabdi Setan arahan Joko Anwar.

Normalnya sebuah film horor, tentu yang paling kita antisipasi adalah unsur horornya, yaitu parade hantu dengan segala keseraman rupa sekaligus ancaman yang diberikannya pada para tokoh utama. Tapi ternyata elemen paling menarik film yang merupakan remake dari film berjudul sama keluaran tahun 1980 itu justru berada pada hal lain sama sekali, yaitu pembentukan nuansa 1980-annya yang sangat jitu.
Latar waktu Pengabdi Setan versi 2017 memang mengambil masa dari film originalnya, tepatnya tahun 1981 (tahun kelahiran Zlatan Ibrahimovic dan Bambang Pamungkas). Cerita berkisar soal sakit aneh yang diderita penyanyi veteran Mawarni Suwono (Ayu Laksmi). Penyakit ini, for some reason, membuatnya memiliki wujud dan baju mirip kuntilanak. Gara-gara penyakitnya ini, keuangan keluarga terkuras, dan membuat suaminya (tanpa nama, hanya disebut “Bapak” di Wikipedia; diperankan Bront Palarae) dan putri sulungnya, Rini (Tara Basro), puyeng.
Mawarni yang pernah ngetop dengan singel Kelam Malam (aslinya dibawakan The Spouse) akhirnya meninggal. Rini dan tiga adiknya, Tony (Endy Arfian), Bondi (Nasar Anuz), serta Ian (M. Adhiyat) yang tuna wicara, terpaksa hidup sebagai anak piatu. Situasi makin kelam ketika Nenek Rahma Saidah (Elly D. Luthfan) tewas kecemplung sumur di tengah teror hantu arwah Mawarni yang makin lama makin menyeramkan.
Sepucuk surat yang belum sempat terkirim dari Nenek kepada seorang pria bernama Budiman Syailendra (Egy Fedly) kemudian membawa Rini mendatangi pria tersebut untuk mencari info. Ia ditemani Hendra (Dimas Aditya), putra Pak Ustad (Arswendi Nasution) kampung Rini. Budiman ternyata seorang penulis di majalah klenik Maya. Ia teman dari almarhumah Nenek, yang menginformasikan bahwa almarhumah Mawarni terlibat sekte sesat agar bisa punya anak, karena ia dan suaminya tak kunjung dikaruniai anak setelah menikah bertahun-tahun.
Cerita kemudian beranjak pada narasi khas film horor, yaitu “aturan hukum” kehantuan sehingga masalah dengan para demit bisa diselesaikan. Dalam kasus hantu Mawarni, solusi datang dari artikel Budiman di majalah Maya tentang tumbal anggota sekte sesat itu, berupa anak hasil kegiatan di sekte yang harus diserahkan pada lelembut saat berusia 7 tahun dengan cara “dijemput mayat hidup”.
Secara kaidah-kaidah sinematek, besutan Joko Anwar ini prima sekali. Tak aneh. Dia sudah go international di level benua saat dipercaya menyutradarai musim pertama serial horor Halfworlds di HBO Asia tahun 2015 lalu. Gambar oke, akting normal (meski agak kaku), pencahayaan bagus, dan terutama musik serta sound effect-nya. Aku bahkan ngefans sekali lagu Kelam Malam itu, yang sangat terasa aroma jadulnya, meski warga biasa tahun 1981 harusnya nyetel kaset instead of piringan hitam vinyl.
Namun bagian terkeren adalah segala pernak-pernik tahun 1980-an yang berhasil dihadirkan Joko. Radio transistor, majalah anak-anak, bus kota, dan juga cassette player (dulu sebutannya “radio tip”), sangat menggugah nostalgia. Apalagi nukilan klip audio sandiwara radio Butir-butir Pasir di Laut arahan sutradara John Simamora yang dulu mengudara lewat RRI. Ini hampir selevel dengan keberhasilan The Duffer Brothers menampilkan dunia 80s di serial Netflix, Stranger Things.
Bagian inilah yang membuat aku salfok pada filmnya. Tak lagi memperhatikan hantu-hantu, namun justru pernak-pernik 80-an di dalamnya yang betul-betul bagus. Akan halnya para hantu sendiri, sama sekali gagal membuat aku takut. Malah justru ketawa, apalagi pas bagian Mawarni nongol di tempat tidur suaminya. Tapi itu tentu bukan kegagalan filmnya, semata masalah aku yang sudah kehilangan rasa pada lelembut.
Masalah terbesar Pengabdi Setan, seperti pada umumnya film nasional, bukan pada teknis pencapaian sinemateknya, melainkan penulisan skenario. Banyak hal mengganggu dari skenarionya, yang dikerjakan sendiri oleh Joko. Dan itu justru ada pada hal-hal kecil yang pasti terlewatkan oleh siapapun kecuali aku. Salah satunya adegan saat Hendra ditelepon Budiman, yang membuat ia datang ke “kota” (entah kota mana, Ndumpil barangkali) lalu mati terlindas truk (adegan tragisnya sendiri bagus, anyway).
Ini jelas aneh, sebab Rini ketika itu pas ada di rumah Hendra. Pada adegan sebelumnya diinformasikan, telepon rumah Rini sudah diputus karena nunggak tagihan. Lalu, saat menemani Rini mengunjungi flat Budiman, Hendra menyerahkan nomor teleponnya jika sewaktu-waktu Budiman ada kabar. Saat kemudian Budiman menelepon Hendra, sudah pasti ia ingin bicara dengan Rini (lalu Hendra lari ke rumah Rini memanggilnya). Atau jika Rini tak mungkin dipanggil saat itu juga, Budiman akan menelepon kembali beberapa menit kemudian sesudah Rini ada di rumah Hendra.
Karena kebetulan saat itu Rini dan adik-adiknya tengah mengungsi ke rumah Hendra, tentu reaksi normal hendra adalah langsung menyerahkan gagang telepon pada Rini. Budiman pun bisa langsung menyampaikan ralat tulisannya pada Rini di telepon, tak perlu pakai ketikan artikel. Dan itu tidak saja akan menyelamatkan nyawa Hendra, namun juga menyelamatkan film dari cacat fatal berikutnya: jenazah korban laka lalin karena terlindas truk malah dibawa balik ke rumah? Buat apa? Nakutin Bu RT?
Posisi Budiman juga questionable. Tak ada penjelasan mengapa ia tak bisa atau tak boleh datang langsung untuk membantu, sehingga hanya bisa memberi solusi lewat artikel di majalah. Namun ujug-ujug dia bisa datang mak bedunduk pada malam penentuan ketika rumah Rini diserbu zombie, mungkin extras zombie dari studio sebelah yang tengah syuting The Walking Dead nyasar salah masuk ke lokasi syuting Pengabdi Setan! Dan tanpa penjelasan juga mengapa dia, malam itu, mendadak tergerak datang, dan bukan sekian hari sebelumnya saat Rini datang menemuinya kali pertama.
Tapi tentu saja, hal-hal mikroskopis itu hanya aku saja yang kepikiran. Karenanya, sebetulnya film Pengabdi Setan tak ada problem apa-apa. Make up-nya luar biasa keren untuk menakuti penonton, dan terutama suara lonceng itu, yang asli menyeramkan. Teknik jumpscare-nya pun oke. Meski sudah mengantisipasi (karena sudah kenyang film horor), tetap saja aku kaget dan nJondhil.
Dengan situasi seperti ini, sekuel Pengabdi Setan jelas sangat ditunggu, apalagi jika kursi sutradara tetap dipercayakan pada Joko Anwar. Untuk skenario mending pasrahkan saja pada pakar horor seperti Ruwi Meita. Pasti lebih joss.

0 komentar:

Posting Komentar