(Foto: Comic Confidential) |
Kelebihan utama kisah superhero masa kini, terutama
dalam MCU alias Marvel Cinematic Universe, adalah pada sisi dekonstruksi sosok
kepahlawanannya itu. Para manusia super tak lagi dipotret sebagai selebritas
penuh gaya berkostum manyala, yang begitu muncul semua masalah terselesaikan,
namun semata orang yang menonjol berkat sesuatu yang bisa ia lakukan dengan
sangat baik. Di luar itu, ia tetaplah manusia biasa.
Kesan itu nampak dalam sajian terbaru kerja sama
antara Marvel Studio dan Netflix, yaitu Marvel’s
The Punisher. Frank Castle (Jon Berthal) di versi ini bukan manusia super
berkostum gambar tengkorak yang beraksi tanpa tanding, melainkan justru manusia
sakit jiwa yang tengah mencari pelampiasan terhadap hidup yang menjelma neraka.
Bahwa ia pakar dalam soal persenjataan dan hand-to-hand
combat, itu sudah soal lain sama sekali.
Sebelumnya, background
Castle sudah terkuak di musim kedua serial Marvel’s
Daredevil. Saat itu ia bersilang jalan dengan Matt Murdock alias Daredevil
yang tengah perang melawan organisasi misterius The Hand. Dari awalnya
bertarung, keduanya kemudian saling bantu, meski tetap dengan mempertahankan
ego dan opini masing-masing tentang hidup.
Di The Punisher,
kisah itu berlanjut. Persoalan yang melatarbelakangi pembantaian atas keluarga
Castle ternyata jauh lebih besar dari yang awalnya terlihat. Ini melibatkan
tewasnya seorang informan Department of Homeland Security di Afghanistan dan
misi rahasia CIA yang didanai penjualan heroin. Dalang semua itu, Wakil
Direktur CIA William Rawlins (Paul Schulze) kini menggunakan mesin pembunuhnya,
Letnan William Russo (Ben Barnes) untuk menghabisi semua yang mengetahui
Operasi Cerberus, salah satunya Castle.
Untuk membalas dendam pembantaian keluarganya, Castle
terpaksa mau bekerjasama dengan pakar komputer David Lieberman alias Micro (Ebon
Moss-Bachrach) dan agen Homeland bernama Dinah Madani (Amber Ross Revah). Ia
juga dibantu temannya dari serial Daredevil, wartawan Karen Page (Deborah Ann
Woll).
Sebagaimana serial-serial MCU lain di Netflix, The Punisher juga tersusun atas 13
episode permusim. Latar, karakter, dan kepingan kisahnya tersambung dengan Daredevil, Jessica Jones, Luke Cage,
Iron Fist, dan juga serial gabungan The Defenders. Bukan tidak mungkin pada
musim keduanya nanti, The Defenders
akan menghadirkan Frank Castle sebagai anggota baru melengkapi formasi kuartet
musim pertamanya.
Begitu masuk agak dalam ke serial satu ini, kita akan
tahu bahwa The Punisher sesungguhnya
bukan sebuah kisah superhero berkostum. Ia justru lebih mirip film-film eksyen
militer-konspirasi yang dibintangi Jean-Claude van Damme, Steven Seagall, atau
John Cena. Sang protagonis mengalami kehancuran hidup dan kemudian mengabaikan
semua aturan untuk membalas dendam. Di tengah jalan ada percintaan dan sahabat
yang ternyata tak sebagaimana yang selama ini terlihat.
Kelebihan utamanya adalah proses kastingnya, yang
dengan brilian memilih aktor Jon Bernthal sebagai sang serdadu sakit jiwa.
Dibanding pemeran versi sebelumnya dari Frank Castle, yaitu Thomas Jane,
Bernthal benar-benar bisa memberikan sentuhan emosi yang maksimal terhadap
tokoh ini. Dan itu sudah terlihat sejak ia masuk jadi salah satu pemeran
pendukung di musim kedua Daredevil.
Di sana, ia sukses mencuri perhatian pemirsa dari sang “pemilik” serial, yaitu
si pengacara buta Matt Murdock yang diperankan Charlie Cox.
Dan mirip seperti karakter utamanya yang tanpa
pandang bulu dalam melakukan tindak kekerasan, nyaris seluruh unsur serialnya
pun dekat dengan hal itu. Darah di mana-mana, leher disayat, orang-orang
melakukan pembunuhan semudah menekan tombol saklar lampu, dan terutama pada
bagian klimaks, ketika Castle melakukan sesuatu yang spektakuler pada diri
Russo. Anak-anak dan mereka yang berperut lemah sangat tak dianjurkan nonton
ini (dan juga yang sejenis Spartacus
atau Game of Thrones!).
Meski belum sekuat Daredevil dan terutama Jessica
Jones, The Punisher sangat
berhasil sebagai sebuah tontonan. Ia membawa kita kepada level pemahaman baru
bahwa sosok superhero itu tak benar-benar ada. Sebagaimana selebritas dunia
hiburan, pahlawan super semata hanyalah ilusi. Dan ia ada hanya karena
diciptakan oleh media dan warna baju. Tapi di sisi lain, kita juga paham bahwa
kita semua sebenarnya adalah superhero dalam kehidupan masing-masing, yaitu
hanya apabila kita punya sesuatu yang bisa kita lakukan dengan baik dan memberi
efek bagi masyarakat luas.
Kelemahan The
Punisher ada pada tema cerita, yang tak menghadirkan satu pun material
baru. Konspirasi seputar dunia militer dan spionase sudah kerap kali dibahas.
Serial The Blacklist dan NCIS: Los Angeles jauh lebih jago
memotret fenomena ini. Selain itu, penggunaan elemen kisah “back from the dead” yang ada di lebih
dari satu tokoh membuat efek kejutnya tak lagi terasa.
Meski begitu, The
Punisher pun menambah panjang daftar keberhasilan kerja sama antara Marvel
Studio dan Netflix. Serial-serial MCU di stasiun TV streaming satu ini menonjol berkat kekhasan temanya
masing-masing—kecuali Iron Fist yang
lemah dalam orisinalitas dan seperti hanya sekadar “versi terang benderang dari
Daredevil”. Diproduseri Alan Fine,
Stan Lee, dan Joe Quesada, serial ini dirilis 17 November 2017 lalu.
Ketigabelas episode digelar serempak agar pemirsa terdorong untuk melakukan binge watching (nonton beberapa episode
sekaligus, dan bukan “diecer” perminggu seperti serial-serial di TV
konvensional).
Kuatnya basis pemirsa dari kalangan penggemar MCU
(salah satunya aku) membuat musim kedua sudah langsung disiapkan untuk tahun
depan. Dan kita akan menunggu dengan tokoh dari serial mana lagi Frank Castle
akan dipertemukan. Seru kalau misal ketemu teman-teman Thor dari Asgard. The Punisher pun akan berganti genre
dari drama militer-konspirasi ke kisah fantasi!
0 komentar:
Posting Komentar