(Foto: Goodreads) |
Di antara sekian banyak genre novel, satu yang paling
tidak berkembang di Indonesia sehingga jarang sekali kutemui adalah novel action-thriller. Karena itu bisa nemu
satu sungguh menjadi suatu pengalaman spiritual yang sangat berharga. Apalagi
tingkat kemahiran penulisannya pun di atas rata-rata.
Novel Dirty Martini karya JA Konrath kutemukan
di tumpukan rak buku impor obralan di toko buku Gunung Agung. Harga aslinya AS$
8, atau sekitar Rp 108 ribu. Karena terbitan lama (tahun 2007) yang kemudian
diobral, harganya menciut menjadi hanya Rp 25 ribu, yang terasa luar biasa
murah bagiku. Tak beda jauh andai es krim Magnum bikin cuci gudang dan
sebatangnya bisa dibeli dengan harga Rp 300.
Dirty Martini sendiri adalah satu dari
rangkaian serial petualangan detektif polisi perempuan di Kepolisian Chicago,
Amerika Serikat, bernama Letnan Jacqueline “Jack” Daniels. Judul lain dalam
seri ini adalah Whiskey Sour, Bloody Mary, dan Rusty Nail.
Dalam kisah yang ini, Jack berhadapan dengan teror kimia yang dilancarkan
seorang penjahat canggih yang menyebut diri sebagai The Chemist.
Orang ini menebar teror dengan menyebarkan bakteri Clostridium
botulinum ke banyak mini market, warung makan, dan restoran. Ia
menyemprotkan bakteri itu ke buah-buahan, daging, dan makanan apa saja yang
dikonsumsi warga di tempat-tempat itu. Akibatnya, puluhan warga Chicago terkena
penyakit botulisme atau BT dan beberapa bahkan meninggal karena terlambat
menerima perawatan intensif.
Berdasarkan reputasinya, Jack ditunjuk mengepalai sebuah
tim besar untuk menyelesaikan kasus ini. Ia harus bekerja sama dengan banyak
pihak, termasuk dengan FBI yang mengirimkan agen tampan bernama Dr. Rick Reilly
dari kesatuan HMRT (Hazardous Material Response Team). Namun pekerjaan Jack tak
menjadi mudah karena The Chemist melancarkan banyak aksi teror yang berada jauh
di luar perkiraan polisi.
Ia, misalnya, berhasil menyulap sebuah rumah kediaman
biasa menjadi neraka yang penuh jebakan mematikan sehingga menewaskan banyak
petugas kepolisian yang melakukan penggerebekan. Ia juga meracuni meja
prasmanan di sebuah restoran besar. Dan yang paling spektakuler, The Chemist
bahkan melepaskan ribuan ekor kecoak ke kantor Jack sehingga seluruh aktivitas
kepolisian di sana sempat terhenti mendadak.
Jack pun nyaris tewas berkali-kali dalam upaya
perburuan terhadap penjahat jenius tersebut. Dan semuanya berpuncak pada bom
raksasa yang ditaruh dalam sebuah truk trailer besar tak jauh dari acara
PoliceFest, sebuah event gathering polisi yang dihadiri ribuan petugas
beserta keluarganya. Jack dan kawannya, Harry McGlade yang bertangan satu dan
pensiunan polisi, harus mengatasi krisis itu dalam waktu tak lebih dari 15
menit, atau bom akan meledak dan menewaskan siapapun yang berada dalam radius
1,5 km.
Ada pula subplot tentang kisah cinta Jack, yang
pernah gagal dalam pernikahan dan belum menikah lagi hingga kini usianya
menginjak 46 tahun. Ia dilamar kekasihnya, Latham Conger, namun terpaksa
menolak karena ragu-ragu. Akibatnya, ia kemudian terlibat asmara cinlok dengan
Agen Reilly di kantor saat habis makan. Jack juga ditinggal Sersan Herb
Benedict, partnernya, yang minta mutasi dari bagian pembunuhan ke perampokan
karena tak kuat menangguh beban bahaya tugas lapangan menjelang masa pensiun.
Jurus penulisan JA Konrath, penulis asal Chicago yang
spesialis genre thriller kriminal dan misteri tak beda jauh dari Dan
Brown. Ringkas, cepat, kaya dalam detail, serta fokus pada dialog-dialog
panjang lebar dan bukannya narasi penjelas yang melintasi banyak kejadian dalam
bentuk riwayat kronologis.
Meski tak serinci Brown dalam penjelasan ilmiah,
Konrath mampu menghadirkan paparan segala pernak-pernik kimia dan biologi dari
ulah teror The Chemist secara proporsional. Yang juga mendalam adalah
penjelasan prosedural kerja polisi termasuk birokrasi kerja sama mereka dengan
lembaga-lembaga keamanan lain di AS dalam menghadapi sebuah kasus besar yang
mengancam keselamatan negara.
Maka membaca novel ini akan terasa seperti nonton
serial-serial TV bergenre police procedural semacam CSI: Crime Scene
Investigation, NCIS, dan juga Criminal Minds. Judul terakhir
lebih mendekati cara penuturan Konrath karena ia menggunakan dua jenis angle
di sini—satu dari sudut pandeng “aku”-nya Jack Daniels, dan satu lagi point
of view orang ketiga saat menghadirkan sekilas aksi-aksi The Chemist.
Dengan cara itu, ancaman teror dan kematian yang
dihadapi Jack dan teman-temannya lebih terasa mencekam bagi pembaca. Kita tahu
apa yang sedang direncanakan The Chemist, sedang Jack tidak. Ini jelas beda
dari teknik whodunit macam di kisah-kisah detektif klasik semacam
Sherlock Holmes dan Hercule Poirot yang dipakai CSI dan NCIS, di
mana penceritaan hanya dilihat dari sisi para penegak hukum dalam membongkar
satu demi satu misteri.
Kelebihan utama Dirty Martini tentu berada
pada sekuen-sekuen eksyennya yang sangat menegangkan, seperti pada bagian
ketika Jack dijebak di dalam rumah purnawirawan polisi, saat ia diracun The
Chemist di ruang arsip kantornya sendiri, dan terutama saat ia dan McGlade
tandem mengemudikan truk trailer untuk menjauhkan bom dari lokasi PoliceFest.
Dengan penulisan menggunakan cliffhanger pada ujung bab, pembaca jadi
tak punya waktu untuk istirahat. Khas novel thriller.
Konrath juga unggul di sisi humor. Celotehan
percakapan antara Jack yang kaku dan Harry yang kemproh kerap mengundang tawa,
terutama ketika Harry menyinggung-nyinggung “little thing” yang dibalas
telak oleh Jack. Semua terjadi saat mereka ribet panik menyelamatkan kota dari
bom raksasa. Ada juga tagihan Harry pada Jack soal seks andaikata mereka tak
selamat dan hanya bisa ketemu lagi di alam kelanggengan!
Sayang beberapa elemen tak tergarap, termasuk tokoh
Agen Reilly yang terasa sebagai tempelan kisah roman picisan. Kedalaman
karakter The Chemist pun tak terlalu menggigit, terutama karena dendamnya hanya
didasari rasa serik terhadap keterlambatan respon polisi dalam menanggapi
kejadian tragis yang menewaskan kekasihnya. Untuk teror masif seperti yang
dilakukannya, backstory sekelam yang dialami tokoh ... di The Lost Symbol-nya
Dan Brown adalah sangat diperlukan.
Namun secara umum, Dirty Martini—sebagaimana
novel-novel AS lainnya—menunjukkan kelengkapan teknik dan keterampilan menulis
yang prima. Tak ada bolong sama sekali dalam hal ini, beda dari novel-novel
mega best seller di Indonesia yang kualitas penulisannya tak jarang debatable.
Semua tak lepas dari peran agen penulis sebagai supervisor penulisan naskah di
sana.
Sisi jeleknya, novel-novel AS terlihat mirip
barang-barang di supermarket mal. Kinclong, bagus, perfect, dan menarik, namun
semuanya seragam sesuai standar industri. Sama sekali tak nampak sisi personal
dari diri pengarangnya.
0 komentar:
Posting Komentar