scribo ergo sum

Senin, 26 Februari 2018

Kayak Naik Angkot

11:52 Posted by wiwien wintarto No comments
(Foto: Amazon)
Salah satu kunci keberhasilan sebuah cerita fiksi ilmiah atau fantasi adalah efek khusus dan set dekorasi, bagaimana para sineas bisa membuat segala apa yang dipertontonkan terlihat wajar dan meyakinkan. Dalam aspek ini, film Beyond Skyline di luar dugaan berhasil menjalankan fungsinya dengan cukup baik.

Merupakan sekuel dari Skyline (2010), Beyond Skyline dibintangi Frank Grillo sebagai detektif LAPD bernama Mark dan Bojana Novakovic sebagai kondektur kereta bawah tanah bernama Audrey. Mereka bertemu saat Mark dan anaknya, Trent (Jonny Weston), naik sepur sesudah Mark membebaskan sang anak dari tahanan polisi. Detik itulah kapal alien raksasa menyerang LA dengan cara menghipnosis warga dan menyedot mereka ke kapal.
Mark, Trent, Audrey, dan seorang veteran Perang Vietnam tunanetra bernama Sarge sukses melarikan diri, namun mereka tetap saja tersedot masuk kapal alien. Di sana Mark membantu persalinan Elaine (tokoh utama Skyline) dengan dibantu Jarrod, tunangan Elaine (juga tokoh utama film original-nya), yang sudah malih rupa jadi alien.
Elaine meninggal sesudah melahirkan seorang bayi perempuan, yang kemudian dirawat Mark dan Audrey. Pada saat bersamaan, Jarrod berhasil mensabotase kapal raksasa tersebut. Pesawat pun jatuh, tepat di jantung ladang opium Segitiga Emas yang berlokasi di Laos. Saat keluar dari pesawat, Mark, Audrey, dan si bayi bersirobok dengan dua anggota komplotan produsen opium Laos, yaitu Sua (Iko Uwais) dan adiknya, Kanya (Pamelyn Chee).
Paruh kedua film kemudian berpindah lokasi ke pedesaan negara tropis Asia Tenggara, di mana Mark, Audrey, Sua, Kanya, dan si ilmuwan Harper (Callan Mulvey) harus bertahan mati-matian dari serangan alien yang mengincar si bayi. Partner abadi Iko, Yayan Ruhian, muncul pada bagian ini sebagai anggota tentara Laos yang hanya dikenal dengan sebutan The Chief.
Faktor utama yang membuat film ini cukup dibicarakan di Indonesia adalah kembali munculnya duet Iko dan Yayan di sebuah film produksi Hollywood, meski yang ini bukan dari garda utama seperti penampilan mereka sebelumnya di Star Wars: The Force Awakens (2016). Beyond Skyline tidak disebar oleh studio kasta tertinggi Hollywood semacam 20th Century Fox atau Warner Bros, melainkan oleh studio independen Vertical Entertainment yang didirikan Rich Goldberg dan Mitch Budin pada tahun 2012.
Karenanya, ekspektasi pun tak bisa terlalu tinggi untuk Beyond Skyline. Ini bukan film summer blockbuster seperti film-film Marvel yang diproduksi dengan dana ratusan juta dolar. Beyond Skyline yang disutradarai Liam O’Donnel (ia juga menulis skenarionya) hanya dibuat dengan bujet $ 15 juta (sekitar Rp 202,5 miliar). Bandingkan dengan Black Panther yang berbujet $ 200 juta.
Kelemahan utama Beyond berada pada alur ceritanya, yang terlalu bertipe film eksyen semenjana nyaris tanpa orisinalitas. Yang sudah sering nonton film laga pasti hapal formula ini: tokoh yang keras dan muram, bertemu gadis cantik pada awal terjadinya krisis, masuk ke dalam krisis dan nyaris mati berkali-kali, baper dengan si gadis cantik, semua nyaris mati pada puncak krisis, dan akhirnya semua selesai dengan baik lalu kedua tokoh utama jadian.
Tema fiksi ilmiah berupa serangan kapal raksasa alien hanyalah variasi, sebagaimana tema Perang Vietnam, Perang Teluk, Perang Dingin, drug cartel di Meksiko, mafia, atau Yakuza yang sering digunakan dalam film-film serupa. Maka para fans film science fiction pun akan melihatnya sebagai sebuah film eksyen bertema sci-fi dan bukan kisah sci-fi murni sebagaimana jika menonton Star Trek, Independence Day, atau Interstellar.
Dan tak ada yang baru pula dalam pernak-pernik kemakhlukasingan tersebut. Para penonton baru bakalan kekurangan info mengenai siapa sesungguhnya para alien itu, dari mana mereka berasal, apa nama planet dan ras mereka, berapa jauhnya kampung halaman mereka dari Bumi, dan apa motivasi mereka mak bedunduk ujug-ujug menyerang. Harper sempat memunculkan indikasi soal teori Astronot Purba mengenai alasan kemunculan para alien, namun itu baru dugaan, bukan yang sesungguhnya tengah berlangsung.
Beyond Skyline terselamatkan oleh efek spesial dan set dekor yang lumayan spektakuler, untuk sebuah film dengan bujet di bawah $ 20 juta. Tak ada yang terasa wagu. Ukuran masif kapal antariksa dapat sungguh-sungguh terasa, juga mech raksasa yang disupiri makhluk asing, apalagi interior kapal alien yang sedikit banyak mengingatkan kita pada belantara mesin di film The Matrix.
Bagi orang Indonesia, penampilan Iko dan Yayan dengan jurus-jurus pencak silat mereka juga merupakan sesuatu yang paling ditunggu—meski adegan combat dengan silat teramat sedikit. Di sini Iko mulai diberi ruang untuk mengembangkan akting ketimbang cuman disuruh berkelahi sepanjang durasi. Permainannya melawan Grillo, Chee, dan Mulvey cukup solid—untuk ukuran aktor film eksyen sekelas Jean-Claude van Damme, Marc Dacascos, Dolph Lundgren, atau Steven Seagall.
Satu lagi yang cukup menyegarkan mata adalah absurditas gambar saat monster-monster alien bertarung melawan pendekar pencak silat berlatarbelakang Candi Prambanan. Itu sesuatu yang unik, yang membuat kita bertanya, kok tidak sejak dulu dicetuskan oleh sutradara asli Indonesia? Oh, iya, lupa, sutradara Indo cuman bisa bikin film romance mellow ding, bukan sci-fi yang mantap dan lugas.
Meski latar tempat di dalam cerita adalah ladang opium Segitiga Emas di Laos, pengambilan gambar memang dilakukan di Indonesia, tepatnya di Batam dan Yogyakarta (memang di Candi Prambanan sungguhan). Lokasi lain yang dipakai adalah Toronto, Kanada, untuk menggambarkan situasi Los Angeles saat diserang kapal alien.
Menonton Beyond Skyline pun, terutama bagi penonton film yang rewel sepertiku, harus dilakukan dengan paradigma seperti saat hendak naik angkot untuk segera menuju tempat lain. Harus siap sedia untuk layanan yang serba tak prima, dan bahwa angkotnya tak terlalu lama ngetem pun sudah harus dianggap sebagai suatu kelebihan yang layak dihargai.
Oh, ya, para makhluk keduluan (lawan dari “kekinian”) fans serial Starsky & Hutch yang diputar di TVRI tahun 1980-an lalu (David Soul & Paul Michael Glaser) bisa bereuni dengan versi tuek dari salah satu pemeran pendukungnya, yaitu Antonio Fargas, pemeran si buta Sarge. Tiga dekade lalu, saat masih muda, Fargas bermain sebagai si informan Huggy Bear yang sering dimarahi oleh Starsky.

Ah, jadi kangen tontonan eksyen ala 80-an. Starsky & Hutch, Charlie’s Angels, Remington Steele, A Man Called Sloane, Return of the Saint...


0 komentar:

Posting Komentar