(Foto: Amazon) |
Salah satu kunci keberhasilan sebuah cerita fiksi
ilmiah atau fantasi adalah efek khusus dan set dekorasi, bagaimana para sineas bisa
membuat segala apa yang dipertontonkan terlihat wajar dan meyakinkan. Dalam
aspek ini, film Beyond Skyline di luar dugaan berhasil menjalankan fungsinya
dengan cukup baik.
Merupakan sekuel dari Skyline (2010), Beyond Skyline dibintangi Frank Grillo sebagai
detektif LAPD bernama Mark dan Bojana Novakovic sebagai kondektur kereta bawah
tanah bernama Audrey. Mereka bertemu saat Mark dan anaknya, Trent (Jonny
Weston), naik sepur sesudah Mark membebaskan sang anak dari tahanan polisi.
Detik itulah kapal alien raksasa menyerang LA dengan cara menghipnosis warga
dan menyedot mereka ke kapal.
Mark, Trent, Audrey, dan seorang veteran Perang
Vietnam tunanetra bernama Sarge sukses melarikan diri, namun mereka tetap saja
tersedot masuk kapal alien. Di sana Mark membantu persalinan Elaine (tokoh
utama Skyline) dengan dibantu Jarrod, tunangan Elaine (juga tokoh utama film
original-nya), yang sudah malih rupa jadi alien.
Elaine meninggal sesudah melahirkan seorang bayi
perempuan, yang kemudian dirawat Mark dan Audrey. Pada saat bersamaan, Jarrod
berhasil mensabotase kapal raksasa tersebut. Pesawat pun jatuh, tepat di
jantung ladang opium Segitiga Emas yang berlokasi di Laos. Saat keluar dari
pesawat, Mark, Audrey, dan si bayi bersirobok dengan dua anggota komplotan
produsen opium Laos, yaitu Sua (Iko Uwais) dan adiknya, Kanya (Pamelyn Chee).
Paruh kedua film kemudian berpindah lokasi ke
pedesaan negara tropis Asia Tenggara, di mana Mark, Audrey, Sua, Kanya, dan si
ilmuwan Harper (Callan Mulvey) harus bertahan mati-matian dari serangan alien
yang mengincar si bayi. Partner abadi Iko, Yayan Ruhian, muncul pada bagian ini
sebagai anggota tentara Laos yang hanya dikenal dengan sebutan The Chief.
Faktor utama yang membuat film ini cukup dibicarakan
di Indonesia adalah kembali munculnya duet Iko dan Yayan di sebuah film
produksi Hollywood, meski yang ini bukan dari garda utama seperti penampilan
mereka sebelumnya di Star Wars: The Force
Awakens (2016). Beyond Skyline
tidak disebar oleh studio kasta tertinggi Hollywood semacam 20th Century Fox
atau Warner Bros, melainkan oleh studio independen Vertical Entertainment yang
didirikan Rich Goldberg dan Mitch Budin pada tahun 2012.
Karenanya, ekspektasi pun tak bisa terlalu tinggi
untuk Beyond Skyline. Ini bukan film summer blockbuster seperti film-film
Marvel yang diproduksi dengan dana ratusan juta dolar. Beyond Skyline yang disutradarai Liam O’Donnel (ia juga menulis
skenarionya) hanya dibuat dengan bujet $ 15 juta (sekitar Rp 202,5 miliar).
Bandingkan dengan Black Panther yang
berbujet $ 200 juta.
Kelemahan utama Beyond
berada pada alur ceritanya, yang terlalu bertipe film eksyen semenjana nyaris
tanpa orisinalitas. Yang sudah sering nonton film laga pasti hapal formula ini:
tokoh yang keras dan muram, bertemu gadis cantik pada awal terjadinya krisis,
masuk ke dalam krisis dan nyaris mati berkali-kali, baper dengan si gadis
cantik, semua nyaris mati pada puncak krisis, dan akhirnya semua selesai dengan
baik lalu kedua tokoh utama jadian.
Tema fiksi ilmiah berupa serangan kapal raksasa alien
hanyalah variasi, sebagaimana tema Perang Vietnam, Perang Teluk, Perang Dingin,
drug cartel di Meksiko, mafia, atau
Yakuza yang sering digunakan dalam film-film serupa. Maka para fans film science fiction pun akan melihatnya
sebagai sebuah film eksyen bertema sci-fi dan bukan kisah sci-fi murni
sebagaimana jika menonton Star Trek, Independence Day, atau Interstellar.
Dan tak ada yang baru pula dalam pernak-pernik
kemakhlukasingan tersebut. Para penonton baru bakalan kekurangan info mengenai
siapa sesungguhnya para alien itu,
dari mana mereka berasal, apa nama planet dan ras mereka, berapa jauhnya
kampung halaman mereka dari Bumi, dan apa motivasi mereka mak bedunduk ujug-ujug menyerang. Harper sempat memunculkan
indikasi soal teori Astronot Purba mengenai alasan kemunculan para alien, namun itu baru dugaan, bukan yang
sesungguhnya tengah berlangsung.
Beyond Skyline
terselamatkan oleh efek spesial dan set dekor yang lumayan spektakuler, untuk
sebuah film dengan bujet di bawah $ 20 juta. Tak ada yang terasa wagu. Ukuran
masif kapal antariksa dapat sungguh-sungguh terasa, juga mech raksasa yang disupiri
makhluk asing, apalagi interior kapal alien
yang sedikit banyak mengingatkan kita pada belantara mesin di film The Matrix.
Bagi orang Indonesia, penampilan Iko dan Yayan dengan
jurus-jurus pencak silat mereka juga merupakan sesuatu yang paling ditunggu—meski
adegan combat dengan silat teramat
sedikit. Di sini Iko mulai diberi ruang untuk mengembangkan akting ketimbang
cuman disuruh berkelahi sepanjang durasi. Permainannya melawan Grillo, Chee,
dan Mulvey cukup solid—untuk ukuran aktor film eksyen sekelas Jean-Claude van
Damme, Marc Dacascos, Dolph Lundgren, atau Steven Seagall.
Satu lagi yang cukup menyegarkan mata adalah
absurditas gambar saat monster-monster alien bertarung melawan pendekar pencak
silat berlatarbelakang Candi Prambanan. Itu sesuatu yang unik, yang membuat
kita bertanya, kok tidak sejak dulu dicetuskan oleh sutradara asli Indonesia?
Oh, iya, lupa, sutradara Indo cuman bisa bikin film romance mellow ding, bukan sci-fi yang mantap
dan lugas.
Meski latar tempat di dalam cerita adalah ladang
opium Segitiga Emas di Laos, pengambilan gambar memang dilakukan di Indonesia,
tepatnya di Batam dan Yogyakarta (memang di Candi Prambanan sungguhan). Lokasi
lain yang dipakai adalah Toronto, Kanada, untuk menggambarkan situasi Los
Angeles saat diserang kapal alien.
Menonton Beyond
Skyline pun, terutama bagi penonton film yang rewel sepertiku, harus
dilakukan dengan paradigma seperti saat hendak naik angkot untuk segera menuju
tempat lain. Harus siap sedia untuk layanan yang serba tak prima, dan bahwa
angkotnya tak terlalu lama ngetem pun sudah harus dianggap sebagai suatu
kelebihan yang layak dihargai.
Oh, ya, para makhluk keduluan (lawan dari “kekinian”)
fans serial Starsky & Hutch yang
diputar di TVRI tahun 1980-an lalu (David Soul & Paul Michael Glaser) bisa
bereuni dengan versi tuek dari salah satu pemeran pendukungnya, yaitu Antonio
Fargas, pemeran si buta Sarge. Tiga dekade lalu, saat masih muda, Fargas
bermain sebagai si informan Huggy Bear yang sering dimarahi oleh Starsky.
Ah, jadi kangen tontonan eksyen ala 80-an. Starsky & Hutch, Charlie’s Angels, Remington Steele, A Man
Called Sloane, Return of the Saint...
0 komentar:
Posting Komentar