(Foto: YouTube) |
Dia gadis biasa saja. Cewek usia 20-an yang cantik
dan sexy tapi muram. Ia mengenakan T-shirt, celana jins, jaket, dan sepatu boot
yang juga biasa saja. Pekerjaannya adalah detektif swasta alias private
investigator, penyelidik pribadi. Secara umum, dia tak beda jauh dari semua
orang, dari kita semua. Yang membedakannya dari orang kebanyakan adalah, dia
seorang superhero.
Sosok itulah yang nampak pada Jessica Jones, tokoh
utama dalam serial Marvel’s Jessica Jones yang dimainkan oleh Krysten
Ritter. Ia salah satu tokoh manusia super dari komik Marvel, rekan sejawat
Captain America (Jessica menyebutnya “Sang pengibar bendera”), Hulk (“Si hijau
besar”), Iron-Man, Falcon, Ant-Man, de-el-el, tapi segala hal dalam cara ia
hidup dan berkehidupan membuat kesuperheroannya sama sekali tak terlihat.
Jess baru saja sembuh dari trauma, yang membuat
aktivitasnya sebagai superhero berkostum gagal total. Kini ia pensiun dari
dunia itu dan menjalani kehidupan baru sebagai detektif swasta, dengan membuka
biro penyelidik berrnama Alias Investigation. Episode-episode awal serial ini
masih berkisah soal latar belakang kehidupannya dan kasus penculikan mahasiswi
bernama Hope Shlottman (Erin Moriarty) yang dilakukan musuh besarnya, Kilgrave
(David Tennant).
Jessica Jones “mengudara” di Netflix sejak 20
November 2015. Kata “mengudara” harus pakai tanda petik karena yang ini kan TV
internet, bukan TV “udara”. Musim pertamanya terdiri atas 13 episode, yang
sudah diperpanjang ke musim kedua. Seluruh episode, sebagaimana serial streaming
Netflix lainnya, dirilis bersamaan. Ini untuk mendorong masyarakat agar
terbiasa pada praktik binge-watching.
Apa itu binge-watching? Nama lainnya adalah marathon-viewing,
alias nonton satu serial dalam jangka waktu lama. Satu kali duduk bisa melahap
lebih dari dua episode (normalnya, berdasar penelitian, adalah 2-6 episode).
Pada era TV streaming, perilaku ini makin membudaya, dan nampaknya akan
menggantikan kebiasaan menonton secara serial (satu episode sekali nonton)
melalui TV konvensional yang lantas menumbuhkan angka-angka rating lewat
survey.
Balik ke soal Jessica, dia adalah salah satu mata
rantai MCU alias Marvel Cinematic Universe bikinan Joss Whedon dan kawan-kawan
yang sukses besar itu. Di Netflix, Jessica Jones menjadi serial MCU
kedua setelah Daredevil yang dibintangi Charlie Cox dan Vincent
D’Onofrio. Serial ini nantinya disusul dengan Luke Cage (sudah dirilis),
Iron Fist (rilis 2017), dan mereka berempat (Daredevil, Jessica Jones,
Luke Cage, dan Iron Fist) akan jadi satu tim di miniseri The Defenders. Daftar
tayangan yang sangat membahagiakan pengamat MCU seperti saya.
Satu hal yang menarik diamati dari serial-serial MCU
di Netflix adalah nuansa kemuramannya. Baik Daredevil maupun yang ini sangat
gelap dan tak se-“tampan” konconya di jaringan TV ABC, yaitu Marvel’s Agents
of S.H.I.E.L.D.. Jessica Jones bahkan lebih menukik ke permasalahan
seksualitas, perkosaan, dan hal-hal berkenaan PTSD (post-traumatic stress
disorder).
Jessica sendiri digambarkan sedang berusaha bangkit
dari depresi berat akibat tragedi masa lalu. Ia menjadi pribadi yang muram,
sedikit paranoid, dan antisosial—tak ubahnya Eliott Alderson di serial Mr.
Robot. Ia bahkan mengasingkan diri dari sahabat dan saudari tirinya, Trish
Walker (Rachael Taylor) yang sukses berkarier sebagai host acara
bincang-bincang radio bernama Trish Talk.
Nuansa muramnya makin terasa karena serial satu ini
dibesut dalam gaya neo-noir, versi baru dari apa yang disebut film
noir. Ini tak lain adalah istilah sinematek yang mengacu pada gaya
film-film misteri, detektif, dan kriminalitas dari dekade 1940-an dan 50-an.
Film-film jenis ini juga sangat muram, gelap, dan misterius.
Aslinya, film noir dibuat dengan kamera
hitam-putih, dan berkaitan dengan beberapa tema utama, salah satunya adalah apa
yang dinamakan femme fatale. Ini tema mainstream di jenis film
noir tentang satu sosok perempuan yang misterius, sangat berkuasa (melalui
kecantikan dan keseksiannya), dan menyimpan rahasia yang mengejutkan. Sang
tokoh ini biasanya membuat tokoh utama pria (umumnya yang detektif, yang
menyelidiki suatu kasus) terjebak, tertipu, dan diperalat.
Satu contoh genre neo-noir paling terkenal
adalah Chinatown (1974), besutan sutradara legendaris Roman Polanski.
Sang detektif di situ adalah JJ “Jake” Gittes yang diperankan oleh Jack
Nicholson, sedang si perempuan misterius adalah Evelyn Mulwray (Faye Dunaway).
Pada versi berwarna, film noir dibesut dengan gambar-gambar dengan warna
yang suram dan menimbulkan kesan meresahkan. Nah, Jessica Jones dibuat
dengan pendekatan itu.
Dan gaya penyutradaraan seperti itu membuat kemuraman
hidup yang tengah melanda Jessica menjadi benar-benar bisa dirasakan oleh
pemirsa. Kita tahu ini orang hebat, berkemampuan jauh melebihi manusia normal,
namun hidupnya tengah kacau amburadul. Dan itu tersimbolkan dengan sangat
brilian oleh kaca jendela di pintu yang ambrol dan terpaksa ditutup pakai
kardus seadanya karena Jessica sedang bangkrut.
Namun terlepas dari semua sisi teknik sinema, Jessica
Jones sekali lagi menunjukkan titik kesuksesan Joss Whedon cs. dalam
menginterpretasi kehidupan para superhero komik. Sejak fajar kelahiran MCU dari
Iron-Man, Captain America, dan Thor yang awalnya saling berdiri sendiri, mereka
telah dipotret dengan cara yang paling pas. Tak hanya logis, natural, dan
faktual, mereka juga digambarkan humanis. Artinya, sesuai betul dengan
keapaadaan kita semua sebagai manusia.
Superhero era MCU adalah manusia biasa. Mereka bukan
orang istimewa dengan kelebihan dan akhlak mulia yang lantas “terpanggil untuk
membasmi kebathilan di muka Bumi”, “menegakkan kebenaran dan keadilan”, atau
“membela yang lemah”. Mereka tidak diistimewakan semata berdasar kemampuan
dahsyat dan kostum warna-warni manyala mereka, yang berkain ketat dan sempaknya
dipakai di luar.
Mereka bertindak semata hanya berdasar kepentingan
dan persepsi—yang selalu urgen bagi mereka namun belum tentu urgen juga bagi
orang lain. Maka dua kubu kelompok lakon yang sama bisa bentrok di Captain
America: Civil War. Dan mereka memakai kostum bukan dalam rangka style,
melainkan sesuatu yang memang sangat perlu dipakai. Bisa seragam tempur seperti
baju hitam-hitamnya Black Widow, bisa alat perang seperti baju besi Iron-Man,
atau bisa juga baju tradisional “alam sana” seperti yang dikenakan Thor.
Intinya, Tony Stark dkk. adalah manusia biasa, dengan
segala kelebihan dan kekurangannya. Keistimewaan mereka tidak berada pada
kemampuan yang dipunyai, status sebagai anggota Avengers, atau apalagi hanya dari
tutup kepala dan jubah yang dikenakan, melainkan pada arti perbuatan mereka
bagi orang banyak. Dan itu, sebagaimana kita semua, tak selalu konsisten
sepanjang waktu.
Kadang yang kita lakukan berguna bagi masyarakat,
sehingga kita diistimewakan. Kali lain, kita terpanggil menggunakan kelebihan,
status, dan atribut kita untuk membela kepentingan diri sendiri, yang secara
situasional ternyata merugikan beberapa pihak. Tak aneh mereka tak lagi
menganggap kita istimewa, dan justru menempatkan kita sebagai tokoh antagonis
yang harus dilawan.
Maka kita tak akan aneh melihat ada superhero bisa
depresi seperti Jessica Jones, atau terpuruk menjadi penyendiri macam Luke
Cage. Dan mereka sibuk dengan pekerjaan sebagai detektif serta pemilik bar
hanya untuk melupakan semua tragedi. Di titik itu kita tahu bahwa kita pada
dasarnya adalah superhero juga, yang dengan bidang kelebihan masing-masing
hanya sedang mencoba untuk terus hidup dan berbuat terbaik untuk diri sendiri.
Bahwa kadang laku kita bermanfaat bagi orang banyak,
seringkali itu muncul tak diniati, tak disadari, dan tak pula direncanakan.
Lebih seringnya bahkan itu tak pernah terpikir sejak awal, karena yang
terpenting adalah mengamankan diri sendiri terlebih dahulu. All the time.
0 komentar:
Posting Komentar