(Foto: Gramedia) |
“Monoteisme menunjukkan struktur represi atas libido.
Hasilnya bukan suatu keseimbangan yang alami, melainkan ketegangan syaraf.
Monoteisme membutuhkan banyak hukum untuk menekan libido, dan akibatnya banyak
kompensasi untuk menyeimbangkan ketegangan syarafnya. Salah satu bentuk
kompensasi yang paling utama adalah gambaran tentang setan. Gambaran ini bisa
berupa bayangan belaka. Tapi, kenyataannya, lebih sering diproyeksikan kepada
orang lain atau kelompok lain. Karena itu, monoteisme selalu memerlukan musuh,
agar mereka bisa memproyeksikan libido-tertekan mereka ke sana. Kompensasinya,
monoteisme selalu takut bahwa pengikutnya akan pindah ke agama musuh.”
Kutipan ini berasal dari halaman 137 novel Lalita
karangan Ayu Utami, yang merupakan bagian ketiga seri Bilangan Fu,
setelah Bilangan Fu dan Manjali & Cakrabirawa. Itu bukan
opini sang pengarang mengenai sesuatu. Bukan juga petikan dialog. Atau
penjelasan mengenai pokok pikiran yang dijadikan tema cerita. Itu merupakan
kesimpulan analitik ilmiah dari tokoh di dalam buku yang bernama Anshel
Eibenschutz, seorang warga Austria berdarah Yahudi.
Anshel adalah kakek Lalita Vistara, perempuan
smart-sexy berusia pertengahan 40-an yang namanya diambil untuk judul novel ini.
Ia ilmuwan psikoanalis, murid dari sang legenda Sigmund Freud, yang
pencariannya akan bagan-bagan konsentris semesta membuatnya terusir dari grup
ilmuwan. Anshel kemudian pulang ke satu titik berjarak puluhan ribu kilometer
dari kampung halamannya di Wina menuju tempat yang ia temukan sebagai axis
mundi alias poros dunia: Candi Borobudur.
Lalita sendiri mengajarkan axis mundi itu pada
Sandi Yuda secara seksual, yang menimbulkan sensasi tutup botol sampanye. Dan
itu memperkeruh hubungan cintanya dengan Marja sang kekasih. Juga dengan
sahabatnya yang berjari dua belas, Parang Jati. Konflik cinta segitiga menyatu
dengan pencarian ilmu sejati melalui Buku Indigo karya Anshel yang hilang
karena diminati pemerintah RRC.
Membaca novel seperti ini adalah sebuah petualangan
dalam segala titik, bukan semata hiburan pengisi waktu senggang untuk menunggu
kita dibuat terpukau oleh keserbasempurnaan tokoh, gaya hidup urban penuh benda
mewah berharga selangit, maupun momen-momen inspiratif yang menakjubkan. Kita
akan berasa seperti diajak mengarungi jeram yang asing yang kelokan serta
naik-turunnya sama sekali belum kita ketahui sebelumnya.
Tak ada yang formulaic. Semua serba baru dan
ori. Memang ada cinta segitiga para remaja, namun tak berujung seperti pada
umumnya kisah-kisah romantik era millenium baru, yaitu entah bagaimana caranya,
si A pasti jadian dengan si B sesuai tuntutan ke-mainstream-an—whether
it masuk akal or not. Dan si C terpaksa diusir demi, itu tadi,
kehendak arus utama yang dimaui pembaca kontemporer. Karena melawan arus dikhawatirkan
akan menggerus angka penjualan di gerai buku.
Dan kita bahkan tak akan peduli itu. Pembaca awam
umumnya menyimak sebuah karya fiksi untuk melihat apa yang kemudian terjadi,
dan apakah ending-nya happy atau unhappy. Tapi pada sebuah
karya seperti Lalita, itu tiba-tiba menjadi sangat tak berarti. Masalah
kisah cinta segitiga Yuda, Marja, dan Jati pun jadi terlihat begitu sepele bila
dibandingkan dengan semua kerumitan soal bagan konsentris alam semesta yang ditemukan
Anshel dan ia cetuskan menjadi ilmu baru bernama kimalogi.
Di sini, pembaca diseret oleh banyak hal. Yang paling
awal adalah kekuatan kata-kata. Jika John Green dalam The Fault in Our Stars
menghadiahkan satu buku penuh berisi memorable quotes tanpa henti, maka
Ayu Utami membuat kita terlihat goblok dengan kata-katanya. Banyak kata baru
dan aneh yang dipakai dan perlu dicatat, seperti “penyula” (aku jadi tahu
terjemahan dari nama “Vlad the Impaler”), “kemelekatan”, atau “rambang asap”.
Kata-kata tak biasa itu pada gilirannya membawa kita
untuk memandang hal-hal umum dalam hidup keseharian dengan perspektif beda. Mal,
tempat bersantai dan berbelanja favorit kita semua, diistilahkan sebagai kurungan
dunia artifisial yang berbatas dari dunia nyata yang gerah oleh dinding-dinding
kaca. Dan di sana, kita menjadi robot kapitalistik yang dipermainkan oleh
puluhan lambang warna-warni yang memagnet dan memperbudak kita kian-kemari
dalam alur zig-zag di lorong-lorong yang sejuk dan kaku.
Lifestyle pun jadi terlihat lain. Pandom hidup
kaum urban kelas menengah metropolitan yang menjadi hal sakral dalam
kisah-kisah young adult dan chicklit jadi terlihat aneh. Mengapa
orang gemar beli barang-barang bermerek berharga puluhan juta? Mengapa orang
mendadak jadi sangat suka berbahasa Ainglisyh? Sama seperti hal-hal lain, semua
ternyata hanya upaya menemukan bagian pusat, tapi malah terjebak di tepi dan
terseret dalam aneka kejadian aneh.
Dan berikutnya, sama seperti saat kita terpukau oleh
keberlimpahan data dan fakta sebagaimana dalam novel-novel thriller-konspirasi
Dan Brown, hal yang sama terjadi di Lalita. Kita melongo melihat urusan
fotografi bisa berkait dengan reinkarnasi, ajaran Buddha yang membentuk
lingkaran penuh dari Sriwijaya ke Tibet, seksualitas, dan nama-nama tokoh
sejarah seperti Vlad III (Vlad sang Drakula), Freud, Carl Gustav Jung, hingga
Claude Debussy. Lalu semua bermuara ke area di dekat rumahku, yaitu Bukit
Menoreh, Kali Progo, dan Candi Borobudur.
Di sisi ini, Ayu jauh lebih unggul dari Brown karena
tak menyetir kita semata dalam pertanyaan “Habis ini lalu tokohnya ngapain?”.
Ia menapak setingkat lebih tinggi dengan memainkan aneka simbol yang melaju
selaras dengan alur cerita. Semua serbasinkron dalam semua aspek kehidupan,
yaitu tentang pencarian poros dunia (axis mundi) dengan terlebih dulu
mengalami kejadian aneh-aneh (chaos) pada bagian-bagian pinggir.
Efek page turner (sibuk membalik halaman) pun berlangsung
bukan karena penasaran oleh rentetan cliffhanger, melainkan karena
semata bertualang. Seperti jika kita bepergian bukan untuk sesegera mungkin
tiba di tempat tujuan, namun memang untuk menyelami perjalanannya. Maka kita
tak akan terlalu terganggu jika tak tahu rentetan cerita sebelumnya karena
belum baca dua buku terdahulu di serial ini, karena bukan itu (satu-satunya)
hal terpenting.
Yang jelas kita jadi tahu bahwa satu novel layak
disebut bagus bila mengajari banyak hal, dan bukan membuat terbuai. Itu
sebetulnya sudah bisa kita tahu sejak diajar para sepuh agar jangan mudah
terpesona oleh lawan jenis yang serba sempurna memikat. Pilihlah yang
benar-benar berisi, agar ilmu pengetahuannya bisa diserap. Susahnya,
keterpesonaan tetap saja lebih sering menang.
Buktinya, banyak buku serbamembuai dicetakulang 10
kali hanya dalam tiga bulan, atau terjual 25 ribu eksemplar hanya dalam tiga
pekan. Padahal di dalamnya, kita akan menemukan banyak hal yang perlu dikasih
stabilo, misal seperti Indonesia yang pada tahun 1945 dijajah oleh VOC Belanda
dan bukan Jepang, orang se-DKI Jakarta yang semua bicara dalam diksi Hollywood
dan bukan Bahasa Indonesia sesuai dialek suku bangsa masing-masing, atau frase
semacam “pertandingan lari”.
Sedang Lalita yang kupegang ini (aku
membelinya akhir Oktober lalu di TB Gramedia Mal Central Park, Jakarta) adalah
edisi cetakan perdana bulan September 2012 yang belum ditambahi embel-embel
cetakan kesekian lebih lanjut pada bagian bawahnya. Itu berarti, jika
diasumsikan cetakan perdananya sama dengan punyaku (sekitar 3.000-5.000
eksemplar), maka dalam empat tahun, yang beli belum ada separonya, di kisaran
1.500-3.000 biji. Dan kita pun akan bertanya, why?
Jawabannya sangat sederhana: kita sangat kurang baca.
Dalam sebuah survey soal minat baca, Indonesia ada di urutan 61 dari 62 negara
yang diteliti. Kita hanya menang lawan Botswana, sebuah negara yang baru akan
kita tahu letaknya menggunakan Google Map. Kalaupun baca, bahan bacaan kita
sangat selektif—hanya mau baca karangan pengarang idola yang membuai.
Karena kurang baca, tak aneh kita jadi sering gagal
paham, sehingga membedakan dua kalimat dengan penghilangan satu kata saja tak
sanggup. Itu sebabnya kutipan dari halaman 137 di atas sangat penting, untuk
mengetes seberapa canggih tingkat pemahaman kita pada kata-kata dan kalimat.
Pilihannya ada tiga: biasa saja, terkesima, atau menyalahkan. Kau termasuk yang
mana?
Aku sih termasuk
golongan keempat, yaitu yang kemudian malah teringat pada kepusingan kepala
saat membaca Twilight of Idols-nya Nietzsche dan paham mengapa ia bisa
edan pada akhir hidupnya.
0 komentar:
Posting Komentar