(Foto: tokopedia) |
Normalnya, sebuah resensi buku pasti mengulas
segi-segi teknis penulisan dari buku bersangkutan. Namun khusus untuk yang satu
ini, Critical Eleven oleh Ika Natassa, aku justru akan membahas hal yang
sangat berbeda, yaitu apa yang dalam disiplin ilmu kebidanan kuantum disebut
Love Among People Categorized as Perfect atau disingkat LAPTOP.
Apa itu LAPTOP? Tak lain adalah fenomena percintaan
yang dialami orang-orang sempurna. Adakah orang-orang semacam itu? Ada. Anya
dan Ale contohnya. Dua tokoh utama novel ini sama-sama besar di keluarga makmur
(ayah Anya diplomat, ayah Ale jenderal TNI). Sama-sama lulusan perguruan tinggi
di Amerika Serikat. Dan sama-sama berprofesi elit berpenghasilan guede (Anya
konsultan manajemen internasional, Ale sarjana perminyakan di rig lepas
pantai Teluk Meksiko).
Ini level kelas menengah yang rela keluar duit $
4.000 (Rp 52,8 juta, Man!) untuk sebuah arloji sebagai hadiah ulang
tahun (aku mentok di Rp 300 ribu—because ancen medhit!). Dan yang
terpenting, keduanya smart, highly intellectual and articulative,
both an avid movie fans, berpenampilan perfect (cantik/ganteng/sexy),
ber-attitude dan etika baik (bentukan logis dari sosok yang smart
dan intelek itu tadi), serta rajin shalat.
Lalu campurkan keduanya dalam sebuah momen meet
cute (pertemuan acak di tempat umum—mostly on public transportations—yang
berakhir romantis) berupa duduk sebelahan di penerbangan berdurasi lebih lama
dari 60 menit. Berapa besar peluang terjadinya mutual attractions yang
bermuara ke hubungan cinta dan bahkan pernikahan? Berani taruhan, 98%!
Mengapa sebesar itu? Karena semua aspek “jodoh
impian” ada pada diri mereka. Attractive and sexy? Check. Good
career? Check. Tabungan besar? Check. Smart? Check.
Perfect attitude? Check. Soleh dan soleha? Check juga.
Pastilah terjadi yang harus terjadi. Apalagi keduanya serupa dan sebangun.
Bukan yang Ale ketemu cewek cantik tapi judes dan kurang duit, atau Anya
kenalan cowok baik hati tapi tidak ganteng.
Persentase kegagalan hanya 2%, biasanya simply
karena salah satu atau keduanya sudah atau sedang tidak available untuk
urusan percintaan. Itu pun akan sangat logis kalau nekat ditabrak. Persetan
sama istri atau suami di rumah! Kapan lagi ketemu sama yang model beginian?
Fenomena ini tentu saja terjadi di level pergaulan
kalangan atas, termasuk lingkup kerja industri hiburan antarpara selebritas
film dan musik. Cinta meluncur mulus karena kedua belah pihak sama-sama elit
dan elegan dalam segala sisi. Tak terlihat adanya kekurangan sama sekali.
Namun percintaan para insan sempurna mengandung
potensi bahaya yang sangat besar. Why?
Sebab sama sekali tak ada ruang untuk keraguan dan
skeptisisme pada awal masa perkenalan. Karena kedua belah pihak sama-sama
sempurna dalam (nyaris) segala aspek, terjadinya kedekatan adalah sangat tak
terelakkan. Semua akan terasa indah tanpa bandingan. Obrolan nyambung,
menemukan banyak kesamaan, gampang nyari hiburan dan makanan enak, serta
sama-sama saling tertarik satu sama lain dengan cepat. Jadian pacaran dan nikah
pun is a matter of when, not if.
Problem baru muncul saat sisi gelap kedua belah pihak
terungkap. Dan reaksi para pegiat LAPTOP pada fase ini akan berkali-kali lipat
lebih heboh daripada warga biasa. Mengapa? Karena mereka terlena terlalu lama
pada kehangatan ketenteraman dan kemakmuran. Para pihak yang terlibat tak
terbiasa menghadapi dan terhadap riak gelombang dalam hubungan nan semulus dan
selempeng jalan tol itu.
Reaksi kegalauan para penumpang coach (bus
mewah) pariwisata soal ban gembos akan beda jauh dari reaksi para penumpang
angkot terhadap hal yang sama. Para turis akan menganggap hal itu sebagai
musibah besar yang menodai “kesucian” perjalanan piknik mereka, sedang para
angkoters—yang terbiasa naik kendaraan sumuk dan melewati jalanan tak rata—kemungkinan
malah akan turun dan beramai-ramai membantu sopir mengganti ban.
Karenanya (coba adain riset mengenai fenomena ini!),
pasangan-pasangan berkategori LAPTOP berkecenderungan untuk lebih rentan
mengalami perpisahan daripada yang bukan. Berhubung sejak awal tak terbiasa dan
tak pula mengantisipasi momen-momen keraguan, maka pada saat hal itu muncul,
mereka akan sangat clueless menghadapinya. Selain karena tak tahu persis
bagaimana harus meng-handle-nya, di alam bawah sadar sudah kadung
melekat paradigma “Kalau ini bubaran, toh gampang dapetin lagi”.
Itu sedikit banyak menjelaskan tingginya angka
perceraian pasangan suami-istri selebritas—dan pada dasarnya semua warga
sosialita jet set. Mereka akan lebih “akomodatif” terhadap perpisahan karena
tak akan sulit mendapatkan kembali calon pasangan dengan kriteria yang sama
elegan. Tak aneh. Insan yang punya nyaris segalanya (cantik/tampan, berduit,
berkendaraan bagus, smart, populer, intelek, berbadan sehat dan bagus)
pasti dicari, dan bukan desperate mencari.
Beda dari warga non-LAPTOP, yang mempertahankan
hubungan mati-matian bukan karena pasangan berkualitas dewa, melainkan hanya
karena takut tak bisa pacaran lagi seumur hidup kalau yang ini sampai lepas.
Bila aktivis LAPTOP menyikapi perpisahan dengan semangat mencari lagi, maka
yang bukan LAPTOP akan merasa seperti dunia telah berakhir andai sampai
berpisah.
Maka wajar ketika dalam novel ini kekurangan-kekurangan
kemudian terkuak, Anya dan Ale pun seketika runtuh. Mereka kolaps dan susah bangun
lagi. Padahal jika dirunut, problem mereka sebenarnya cuman satu itu tok
(keguguran) di tengah jagad indah yang serba sempurna. Mereka masih sama-sama
berpenghasilan tinggi, sama-sama sehat, dan sama-sama dikelilingi orang dekat
yang supportif. Tak ada kawan jahat, rekan yang hobi PMP, atau kerabat yang
berlawanan paham politik.
Kita sukar menebak apa kata pasangan kelas menengah
ke bawah yang bingung cari utangan buat bayar persalinan istri, panik terkena
ancaman PHK, dan menjumpai kartu BPJS yang dipegang ternyata palsu, mengenai
situasi pasangan Tanya Baskoro dan Aldebaran Risjad ini. Mungkin akan seperti
reaksi para pemain Burnley terhadap kepanikan MU yang terdampar di peringkat 7,
“Baru nomer 7 aja udah ribut! Kami ini lho, degradasi berkali-kali aja masih
tetep seger!”.
Kisah Anya & Ale pun sesungguhnya adalah sentilan
bagi para anggota golongan LAPTOP—atau yang ingin masuk ke sana. Dunia tidak
sempurna. Waspadalah saat diri (merasa) tengah atau telah menjumpai
kesempurnaan. Tak ada laut tanpa gelombang. Dan logikanya, pada satu sosok yang
terlihat sangat perfect, kekurangannya pasti berkategori spektakuler. So,
siap-siaplah mengantisipasi kemungkinan ini andai satu saat kau bertemu
LAPTOPers!
Betewe, akan halnya urusan teknik, Critical Eleven
disusun dengan jurus-jurus dasar cerita romance “bubblegum” abad
ke-21: angle pertama dari kedua tokoh utama, single plot line,
dan tentang para tokoh kelas menengah metropolitan pelanggan Starbucks. Also,
it’s one of those “United States-themed-story” tempat semua
kalimat, idiom, dan quotes seperti berasal dari film rom com
Hollywood. Salah satunya adalah “Ale has something about him that when he
talks to you, it’s like you’re the only woman on the room” (hal.
87-88), which is pretty damn cool though.
Dan segala aspek pun hanya bertautan dengan satu
negara, ya Amerika Serikat itu tadi. Sejak tempat penugasan luar negeri
terkeren yang diterima Anya (New York, dan bukannya Chennai, Cristchurch, atau
apalagi Ouagadougou), Ale yang eks running back dan nontonnya final
Super Bowl (dan bukannya Persija vs Persib), hingga para tokoh muda yang bisa delivering
Hollywoodian lines semacam “Those jewelry stores are hell, Man,
hell!” (hal. 301).
Pada akhirnya, membaca Critical Eleven tak
terasa seperti menyimak novel sama sekali, melainkan seperti mendengarkan
curhatan cinta dari seorang sahabat mantan anggota Permias yang juga penulis
kolom urban lifestyle di koran Minggu. Dan justru karena cerita dituturkan
ala curhatan, unsur keamerikaserikatan itu malah jadi masuk akal. Soale nek
aku crito, rak sengojo mesti yo nganggo logat Jowo ngene ini ujung-ujunge...
Dan di antara semuanya, ada satu hal yang aku suka
dari Anya dan Ale, yaitu bahwa mereka adalah muslim yang miara anjing. Kalau
kenal di dunia nyata, pasti aku cocok sama mereka.
"Guk!"
0 komentar:
Posting Komentar