Dalam sebuah sinetron FTV, tampak sepasang
suami-istri jet set menerima tamu berbaju formal jas dan dasi yang menyampaikan
sebentuk dokumen. Isi dokumen menyatakan bahwa rumah beserta isinya disita
karena sang suami tak bisa membayar utang. Mereka berdua pun harus secepatnya
angkat kaki dari rumah itu.
Dalam adegan berikutnya, mereka terlihat sudah
menyusuri trotoar jalan sambil membawa kopor (yang kelihatan enteng dan nggak
ada isinya). Mereka sedih karena tak punya rumah. Lalu sang istri menelepon
kawannya untuk minta tolong dicarikan rumah kontrakan. Ternyata langsung
ketemu. Mereka pun segera menempati rumah itu, meski jelas tak sekeren rumah
mereka sebelumnya.
Apa yang aneh dari rentetan kejadian itu? Tak ada, kecuali
bahwa itu terjadi dalam hari yang sama. Tak ada penjelasan baik dalam dialog
maupun bahasa gambar yang menerangkan sebaliknya. Maka sah saja kita sebagai
penonton berasumsi bahwa kedatangan petugas eksekusi rumah berlangsung pagi
hari, siangnya suami-istri itu menggelandang dan menelepon teman, lalu sehabis
jam makan siang, mereka sudah menempati rumah kontrakan. Praktis dan simpel.
Andai dunia nyata seindah itu...!
Betulkah demikian ini proses kejadiannya di planet
kita tercinta ini? Entah penulis naskahnya belum tahu apa itu koran atau ia hanya
sekadar malas, urut-urutan peristiwa yang seperti itu bakal bikin bank,
pengadilan, debt collector, dan warga yang tengah pusing nyari kontrakan
rumah, naik pitam. Dalam kasus sebagaimana yang dialami kedua tokoh tersebut,
prosedural aslinya tentu beda sekali.
Proses eksekusi rumah tentu tak berlangsung seketika.
Eksekusi adalah deadline tanggal dari pihak kreditor soal pelunasan
hutang atau jadwal pengambilalihan dari kejaksaan jika kasusnya diputus lewat
pengadilan. Either way, pihak pemilik rumah pasti sudah sejak jauh hari
dikasih tahu soal tanggal itu, sehingga—berdasarkan worst case scenario—dia
sudah akan mencari tempat tinggal baru.
Dengan pemahaman akan alur prosedur kejadian yang
seperti itu, rentetan adegannya pasti akan berubah. Sang suami menerima
pemberitahuan, mencari rumah kontrakan buat berjaga-jaga, berusaha melunasi
utang (tapi gagal), lalu satu atau dua minggu sebelum tanggal tenggat, ia sudah
akan pindah dengan sendirinya ke tempat baru.
Seperti kita lihat di sini, alur cerita dalam bentuk
urut-urutan kejadian secara kronologis bisa sangat berbeda untuk fenomena yang
sama. Pembedanya ada dalam hal pengetahuan tentang proses dan prosedural
berjalannya sesuatu di alam dunia fana. Proses berkaitan dengan hukum alam,
sedang prosedural berhubungan dengan aturan legal formal yang tengah berlaku di
satu tempat atau negara.
Urusan utang piutang misalnya, tak mungkin selesai
seketika. Pagi ngutang, siang nagih, sore ngirim debt collector kejam,
malam dilunasi. Nggak akan semacam itu. Sesuai “hukum alam” sosial dalam
pergaulan, pihak kreditur pasti memberikan waktu hingga bulan dan bahkan tahun
sebelum muncul tenggat final yang tak bisa ditolerir lagi, lewat puluhan kali
telepon, kunjungan, pertemuan, serta surat-menyurat.
Dan ketika wanprestasi pembayaran dibawa ke ranah
pengadilan, maka ada tahap-tahap prosedural yang lama juga. Kreditur
menghubungi secara personal baik-baik, memberikan somasi lewat kuasa hukum,
mengajukan gugatan perdata ke pengadilan, proses-proses negosiasi untuk
menyelesaikan secara kekeluargaan, sidang-sidang yang berlangsung sekali
sepekan, dan lalu sidang vonis dan eksekusi.
Penulis fiksi, meski yang dikarang hanyalah fiksi,
khayalan, boongan, tapi mutlak tetap harus tahu hal-hal semacam ini. Kita tak
bisa mengorbankan akurasi cerita hanya demi efek dramatis. Usai sudah masa-masa
hadirnya adegan dramatik ketika pasien yang sekarat di UGD malah dipeluk dan
ditangisi sementara dokter dan perawat nggak muncul-muncul. Memang menguras air
leding, eh... mata, tapi pasti memunculkan pertanyaan—doktere lagi cliwik opo
ya?
Maka adegan-adegan yang kita tampilkan dalam cerita
harus ditempatkan secara tepat dalam urut-urutan prosedural itu. Apakah terjadi
saat sang suami diberi somasi atau saat eksekusi sudah akan dilakukan. Misal
terjadi saat tahap eksekusi penyitaan, maka seluruh rangkaian insiden yang
mendahuluinya harus pula ikut dipaparkan. Jumlah utangnya,
penagihan-penagihannya, sidang-sidangnya, dan lain sebagainya.
Ini menjadi kelanjutan dari diskusi kita terdahulu
soal detail dalam menyebutkan istilah teknis dan data-fakta. Setelah lulus mata
kuliah itu, berikutnya adalah mengenai prosedural. Segala sesuatu berjalan
mengikuti suatu alur prosedur tertentu, dan seorang penulis harus patuh
mengikutinya. Tidak dengan semena-mena menghadirkan sesuatu dengan cara
bagaimanapun seperlunya demi memantik unsur drama guna membetot emosi penonton.
Terlebih yang berhubungan dengan hukum dan lembaga
publik, semua pasti diatur menurut rentetan tata cara baku yang disebut
birokrasi. Sejak membuat KTP atau SIM, mengajukan izin usaha, hingga membuka
rekening di bank, kita harus mengikuti urut-urutan aturan main yang berlaku.
Juga saat nunggu bayi kucing lahir, bikin peuyeum, hingga bertani dari memilih
benih sampai hari panen. Pasti melewati rentang-rentang waktu yang sesuai hukum
alam dan tak bisa ditawar lagi.
Jika tak dilakukan, sudah pasti hal-hal yang kita
tulis akan mengundang gelak tawa dari praktisi bidang bersangkutan. Jika sebaliknya,
maka yang muncul adalah manfaat ganda: nambahi pengetahuan bagi pembaca
sekaligus imej smart dan kredibel kita sang penulis. Syaratnya cuma
satu: jangan pernah lelah untuk mencari tahu. Baca, riset, wawancara, atau
turun langsung melihat sendiri.
Namun adalah keliru juga kalau fiksi hanya sekadar
memfotokopi alam nyata. Fiksi harus punya standar hukum sendiri, yang bisa saja
ngikut dunia, bisa saja tidak. Yang penting runtut dan logis. Kita sudah
mengobrolkan Artificial Law. Lewat ini, kita bisa masuk menciptakan hukum alam
dan proses birokrasi legal formal sendiri—semaunya karangan kita. Hanya saja,
kita harus memaparkannya secara gamblang.
Mau bikin negara fiktif? Why not? Mau bikin
kementerian di pemerintahan RI yang aslinya tak ada? Why not? Mau bikin
sistem prosedural penagihan utang dan perpindahan rumah yang sekilat sinetron
di atas? Boleh sekali. Asal ada penjelasannya.
Surat-surat peringatan yang diberikan pihak kreditor,
misalnya, ternyata tak sampai ke penerima, sehingga sang suami juga tak tahu
tanggal deadline. Pas surat diberikan, pas mereka hari itu juga harus
pergi. Lalu ia menelepon teman yang punya app android yang bisa memesan rumah
sewa atau kontrak dalam waktu singkat, sehingga siang hari pencarian dimulai,
sorenya rumah baru ditemukan dan langsung bisa ditempati. Dengan penjelasan,
hal yang aslinya tak logis jadi masuk akal.
Artificial Law juga perlu saat cerita yang kita susun
tidak bergenre realis. Maka kita akan bisa menyusun hal-hal khayal semacam
berapa lama musim dingin di Westeros dalam kisah Game of Thrones,
prosedural rekrutmen kadet penerbang kapal antarbintang di Star Trek,
atau proses pendewasaan seekor (seekor?) pocong dalam dunia lelembut sejak
pocong balita, pocong remaja, hingga pocong senior.
Dalam aplikasi penggunaan di kehidupan sehari-hari,
pengetahuan luas akan proses dan prosedural banyak bidang beda-beda akan
memberi kita pemahaman bahwa memang tak ada yang instan. Entah itu penyembuhan
penyakit, sidang tilang lalu lintas, sepakbola, atau perkembangan anak, semua
perlu proses yang pasti makan waktu. Dan terutama soal naskah yang kita
idam-idamkan akan diterbitkan jadi buku oleh penerbit gede.
Lalu, ketika kita sudah berkenalan dengan yang
namanya proses, maka kita akan lebih mencintai proses nulisnya itu sendiri
daripada honornya, royaltinya, atau ketenaran yang dijanjikannya. Lalu kegembiraan
kita nulis di Kompasiana akan setara dengan saat kita muncul di meet and
greet buku baru dan disambut histeris puluhan penggemar fanatik...
0 komentar:
Posting Komentar