Suasana deklarasi Himpena di Desa Bahasa Borobudur, Kabupaten Magelang, Jateng |
Sebagai penulis, jadwal kerjaanku mirip pengangguran:
sak karepku dhewe alias semauku sendiri. Hampir tak bisa disebut kerja
sama sekali wong tak ada beban dalam segala dimensi. Kalau pas harus isi
acara di luar kota pun lebih terasa kayak piknik, dan bukan aktivitas yang
terjadwal padat seperti jadwal meet and greet, seminar, atau roadshow
para penulis sekaliber Andrea Hirata, Dee, atau Tung Desem Waringin.
Maka ketika weekend kemaren jadwalku agak
padat, baru aku mencicipi serba sedikit kehidupan mereka-mereka itu, yang sudah
mengarah ke kesibukan ala seleb dunia hiburan. Kebetulan memang ada dua event
bedah buku novel teranyarku, Remember December, yang berdekatan
tanggalnya tapi berjauhan koordinatnya. Jumat 11 Maret di Surabaya, lalu Minggu
tanggal 13 di kampung halamanku, Borobudur. Ini melengkapi jadwal sebelumnya,
yaitu 27 Februari lalu di Tekodeko Koffiehuis, Semarang.
Dan lebih oke lagi karena aku berangkatnya dari
Jakarta, soalnya sejak Senin pekan lalu aku berlibur di Ibukota—menikmati sup
kaki kambing, omelet ala Spanyol, salmon steak, dan ngicipi bekicot.
Maka saat cabut ke Surabaya hari Jumat siang, aku sudah menyiapkan fisik dan
mental untuk menjalani jadwal padat yang melelahkan. Jumat ke Kota Pahlawan,
Sabtu balik Magelang via Semarang, dan Minggu manggung lagi.
Mendarat di Juanda sekitar pukul 16, aku dijemput
Agung, mantunya Mbak Wina Bojonegoro, panitia acara di Surabaya. Ngeteh sejenak
di rumah Mbak Wina di bilangan Waru, baru sekitar sejam kemudian kami cabut ke
lokasi acara, yaitu Kedai Kreasi, di Jalan Ketintang Baru Selatan. Sebelum
bedah buku dimulai, aku makan dulu dengan menu nasi kucing bakar yang sungguh yummy.
Di kedai, aku ketemu seorang wanita yang biasa
dipanggil Simbok. Ia juru masak di kedai, yang adalah seorang aktivis pesepeda.
Berdasar penuturannya, ia seorang tukang becak, dan pernah bersepeda
Surabaya-Semarang. Aku terpana. Surabaya-Semarang naik sepeda onthel? Sebuah
tamparan bagi sebagian besar di antara kita yang begitu masuk usia 40-an
langsung merasa “sudah tua, gampang capek, nggak boleh terlalu beraktivitas
fisik, inget umur!”, dan lain sebagainya.
Simbok juga yang pertama kali baca Remember December
sampai komplet, karena ia jaga di kedai, dan menerima pertama kali novel yang
kukirim ke sana. Kata Simbok, ceritanya mengesankan. Pas ending justru
bikin mikir, bukan senang bahagia. Ia menyangka, penulsnya pasti perempuan
cantik karena sepertinya bisa memaparkan dunia perempuan dengan detail. Jebule
lanang!
Bedah buku dimulai pukul 19.30 dan dipandu Mbak Wina
sebagai moderator. Narasumbernya sendiri adalah cerpenis Vika Wisnu, yang pekan
lalu cerpennya baru saja nongol di Jawa Pos. Bertiga, kami mendiskusikan cerita
Remember December dan proses penulisannya. Aku pun mengungkap
bahwa penggarapan novel ini adalah yang terlama, karena kumulai sejak tahun
2006 dan melalui dua kali penolakan serta sekian kali proses revisi yang tidak
simpel.
Seusai acara yang seru meski dihadiri tak terlalu
banyak audiens, aku makan lagi. Kali ini mi ayam yang tak kalah nendang dari
naskucbar yang tadi. Malam makin romantis oleh guyuran hujan dan juga sebotol
coffee beer yang sangat menggetarkan jiwa raga. Next time mampir
ke Kedai Kreasi lagi, aku pasti akan langsung mengincar minuman satu ini.
Malam itu, aku menginap di guest house La Bownde, tak
jauh dari Kedai Kreasi. Paginya aku langsung ke bandara, karena pesawatku
berangkat pukul 10.20. Sempat ngopi dulu bareng Mbak Wina dan anak cowonya
(risolesnya was so bloody fantastic). Dan ia menyatakan positif ikut
acara Minggu, berangkatnya pakai pesawat juga tapi yang jam tiga sore ke Jogja.
Janjian ketemu malem Minggu di Desa Bahasa.
Karena tiba di Semarang tengah hari, dan aku ada
urusan sedikit, maka baru bisa naik bus ke Magelang pukul 15. Pasti sudah susah
menemukan angkutan umum dari Magelang ke Borobudur kalau berangkatnya jam
segitu. Benar saja. Bus dan angkot sudah tidak ada saat aku sampai Terminal
Magelang sekitar pukul 17. Yang ada tinggal angkot dan bus kecil ke Muntilan.
Udah gitu, hujan pula.
Maka sambil berbasah-basah, aku naik angkot dan turun
di pertigaan Blondo. Dari sana, perjalanan dilanjutkan naik ojek. Hujan masih
menderas, sementara—tak seperti Gojek yang selalu ada stok jas hujan buat
klien—kru opang (ojek pangkalan) di Blondo hanya ada jas hujan untuk dirinya
sendiri. Otomatis aku pun kehujanan, dan sebisa mungkin melindungi tas yang di
dalamnya memuat laptop. Parahnya, entah kenapa si opang kok kalau berkendara
cenderung ke tengah sehingga berkali-kali diklakson mobil.
Kira-kira pukul 18 lebih baru aku sampai rumah. Soaked
dan HP mati karena baterai ludes. Baru kemudian aku bisa kontak-kontakan lagi
dengan Mbak Wina dan Desol. Yang pertama sudah otewe dari Jogja dengan mobil
sewaan. Yang kedua malah sudah duduk manis homestay di Ngargogondo sejak
siang. Aku pun cabut ke sana setelah terlebih dulu beliin mi goreng buat Desol.
Setelah ketemu dia untuk pertama kalinya (juga Vika,
temannya yang dari Jogja), kami pun nongkrong di Desa Bahasa bareng Pak Hani
Sutrisno, owner dan pendiri Desa Bahasa. Tak lama kemudian Mbak Wina
datang. Lalu malah dia mewawancarai Pak Hani untuk laman beritanya, PadMagz.
Dan ketika dua pebisnis bertemu, udah pasti banyak rencana keren yang muncul.
Mbak Wina yang seorang pebisnis travel organizer di Padma Tour
langsung merancang paket-paket tur edukatif dan kultural bareng Desa Bahasa.
Obrolan bisnis masih berlanjut hari Minggu pas
diskusi dimulai pukul 11. Acara dipandu Miftah, salah satu kru Desa Bahasa.
Yang spesial, seluruh rangkaian acara dilakukan dalam bahasa Inggris, sejak
panduan acara oleh moderator, sambutan-sambutan dari Pak Hani dan Mbak Wina,
plus dongengan soal Remember December olehku.
Setelah dulu pernah ngocol ngenggres di hadapan
cah-cah cilik bule di SIS (Semarang International School), speaking in front
of an audience tak terlalu menggrogikan lagi bagiku, apalagi yang ini
audiensnya masih warga kita juga. Salah yo gak popo. Dulu itu pas di SIS
aku sampai ngapalke skenario, tapi malah bubrah karena aku kemudian
cerita-cerita soal pocong dan wewe gombel... in English.
Diskusi ditutup dengan istirahat makan siang dengan
menu mangut yang sangat lezat karya katering Mrs. Hani. Sungguh, makanannya
uenak bingits sehingga aku bilang ke Mbak Wina, “The meal is so
delicious, so I will eat it as long as possible!”.
Pascamakan, acara kedua digelar, yaitu deklarasi awal
Himpena (Himpunan Penulis Indonesia). Ini kelanjutan tulisanku beberapa waktu
lalu di Kompasiana, soal organisasi profesi bagi para penulis dan pengarang.
Setelah melalui sekian kali diskusi baik melalui internet maupun ketemuan
langsung, akhirnya disepakati nama yang dipakai adalah Himpena, sebab singkatan
awalnya, HPI, sudah dipakai beberapa organisasi lain.
Terpilih sebagai ketua adalah sang owner Desa
Bahasa yang juga penulis buku-buku bahasa Inggris, Hani Sutrisno. Wakilnya
adalah Yozar F Amrullah. Aku sendiri dan Aulia Hazuki menjabat sekretaris dan
bendahara, respectively. Pengurus awal ini akan bertugas maksimal dua
tahun dan salah satu pekerjaan utamanya adalah menggelar semacam musyawarah
atau kongres nasional untuk membentuk kepengurusan sesungguhnya dewan pimpinan
pusat (DPP) Himpena periode masa bakti pertama.
Dalam jangka pendek ini, program kerja Himpena adalah
rekrutmen anggota, pembuatan AD/ART, legalitas organisasi khususnya pengakuan
pemerintah bahwa Himpena adalah organisasi profesi untuk penulis/pengarang, dan
sosialisasi lembaga. Salah satu kerja terpenting juga adalah menentukan
kategori penulis apa yang dapat bergabung ke dalam Himpena.
Acara bedah buku dan deklarasi sendiri dihadiri
sekitar 20 orang, termasuk Pak Budi Susilo, guru SLB YPPALB Magelang dan Agus
Surawan yang datang dari Ambarawa. Pukul 14, Mbak Wina bertolak kembali ke
Jogja. Desol dan Vika turut bersamanya, karena tujuannya setali tiga uang. Yah,
terpaksa harus mengucap salam perpisahan dengan Desol. Janji nanti ketemu lagi
di Malang, makan bakwan, atau Semarang, makan tahu gimbal.
Maka selesai sudah rangkaian weekend yang
melelahkan buatku. Senang dan bersyukur karena semua berjalan lancar, terlebih
soal Himpena. Berbagai rencana bagus langsung bermunculan, dan para penulis
bisa langsung join. Nanti kita kerja bareng meningkatkan taraf kesejahteraan
kita semua plus memperkuat dunia perbukuan di Indonesia biar bangsa ini jadi
bangsa gemar membaca.
0 komentar:
Posting Komentar