Sekitar lima atau enam tahun lalu, aku pernah
berpikir soal organisasi profesi buat penulis. Para dokter, wartawan,
pengusaha, sopir angkot, pedagang pasar, arsitek, lawyer, semua berserikat,
kenapa penulis belum? Suatu kali aku mewacanakannya (cuman lewat FB sih), tapi tak
ada sokongan berarti khususnya dari rekan sesama penulis, kecuali berupa jempol
tanda “like”.
Lalu aku melupakannya, dan baru ingat lagi mengenai
hal itu ketika tempo hari bertemu Yozar (Lissari menjadi saksinya) yang sekarang
berkarier di Bekraf (Badan Ekonomi Kreatif). Bertiga, kami mengobrolkan banyak
hal—RUU Sistem Perbukuan, pengembangan ekonomi kreatif di bidang kepenulisan
dan buku, serta rencana Bekraf mengenai sertifikasi penulis.
Dalam pengerjaan RUU, DPR pasti menampung aspirasi
para pihak yang terkait soal buku, sejak penerbit, percetakan, distributor,
toko buku, hingga pustakawan, masyarakat pendidikan, dan penulis. Tiap pihak
gampang terwakili karena masing-masing pada punya asosiasi atau serikat. Mereka
tinggal menunjuk representasi setelah di-briefing dulu.
Penulis nggak bisa karena tak punya asosiasi profesi.
Yang diundang rapat dengar pendapat dari penulis pastilah para sastrawan
legendaris atau penulis yang tengah mega best seller, tapi apakah suara
mereka mewakili keseluruhan penulis yang ada? Mereka muncul atas nama personal,
bukan mewakili serikat, jadi aspirasinya ya pasti milik sendiri, atau sejauh
lingkup pergaulan dan pekerjaan yang ada (komunitasnya, sanggarnya, bengkel
seninya, kerja kolaborasinya, dll.)
Lalu nanti, kalau RUU Sistem Perbukuan itu sudah
diundangkan, ada satu poin penting yang diamanatkan di dalamnya yang butuh
perhatian ekstra, yaitu pembentukan Dewan Perbukuan. Menurut Pasal 35, dewan
ini bertugas membuat kebijakan serta melakukan pengaturan, pengurusan,
pengelolaan, dan pengawasan sistem perbukuan nasional.
Dewan Perbukuan bertanggung jawab kepada Presiden RI,
dan beranggotakan sembilan orang. Dari sembilan itu, tiga berasal dari
pemerintah (kementerian pendidikan, perdagangan, dan perindustrian) dan
masing-masing satu mewakili penulis/pengarang, penerbit, percetakan,
distributor, masyarakat pendidikan, serta pustakawan.
Nah, kelak jika Dewan Perbukuan resmi dibentuk, siapa
yang akan mewakili para penulis duduk di situ? Milihnya gimana kalau tak ada
asosiasi? Lagi-lagi, kandidat-kandidat yang muncul pasti dari para penulis
terkemuka, yang belum tentu membawa aspirasi keseluruhan golongan. Sedang para
wakil lain muncul sudah dengan pembekalan komplet dari persatuan, asosiasi,
atau serikat profesi masing-masing.
Terpikir hal itu, aku lantas menghubungi beberapa
kawan penulis yang cukup dekat, seperti Vira dan geng Rumah Media. Lalu aku
ketemu Mr. Hani Sutrisno, penulis buku-buku bahasa Inggris populer dan owner
lembaga bahasa Inggris SPEC serta Desa Bahasa di Borobudur, Kabupaten Magelang.
Niat hanya mengajak diskusi, dia malah langsung berinisiatif melakukan pembentukan.
Seketika terbentuklah Himpunan Penulis Indonesia
(HPI), yang untuk sementara berkantor di Desa Bahasa, tepatnya di Dusun
Ngargogondo, Desa Wanurejo, Borobudur, dekat candi terbesar yang megah itu.
Pada stafnya, ia menginstruksikan pembentukan sususan kepengurusan, AD/ART,
rencana deklarasi, pengurusan akta notaris, dan termasuk berbagai kelengkapan informasinya
di internet dan media sosial.
Mr. Hani bertindak sebagai ketua, aku sekretaris, dan
event bedah novelku Remember December di Desa Bahasa tanggal 13 Maret nanti
sekaligus menjadi hari deklarasi HPI. Sorenya, grup WhatsApp untuk himpunan ini
sudah terbentuk. Aku langsung mengundang teman-teman penulis kenalanku, seperti
Aulia Hazuki, Sophie Maya, Gin Teguh, Elvira Natali, dan Yozar. Yang terakhir
ini nanti bertugas mencari info bagaimana organisasi ini bisa diakui pemerintah
sebagai asosiasi profesi yang sah bagi penulis-pengarang.
Habis itu tinggal menyusun program kerja jangka
pendek, seperti menentukan kategori penulis-pengarang apa saja yang berhak atas
keanggotaan, susunan kepengurusannya di pusat dan daerah (hingga ke level
kota/kabupaten), event kongres, serta kegiatan-kegiatan apa saja yang langsung
bisa dilakukan dalam waktu dekat.
Mengapa organisasi profesi penting bagi para penulis?
Sebab banyak hal yang bisa dilakukan di luar kerja wajib para penulis dalam hal
ngetik. Unsur edukasi bisa menjadi sektor terdepan, dalam hal peningkatan skill
para penulis sekaligus pencarian bibit-bibit penulis berkualitas di daerah. Lalu
bantuan penerbitan bagi karya-karya berkualitas yang lepas dari sorotan
industri mainstream.
Dan salah satu yang terpokok adalah dalam peningkatan
kesejahteraan, sehingga para penulis murni bisa hidup (makmur) lewat profesi
menulis, bukan kerja sambilan “jika ada waktu senggang” sesudah kesibukan
kantor terselesaikan (which is, rarely coming). Di dalamnya
termasuk, seperti yang diungkap Dee dalam pertemuan dengan Presiden Joko Widodo
yang diprakarsai Bekraf pada 4 Agustus 2015 lalu, penghapusan pajak khususnya
bagi royalti penulis.
Fungsi advokasi alias bantuan hukum juga menjadi
salah satu bidang kerja terkemuka asosiasi. Ini terutama berguna saat para
penulis (especially para newbies) bersirobok dengan
penerbit-penerbit berkategori nakal. Pemotongan sepihak besaran royalti (10%
jadi 5% atau di bawah itu), royalti semesteran yang tak segera dibayarkan, atau
bahkan pemutusan kontrak secara sepihak hanya menjadi secuil dari lautan kasus
yang dihadapi penulis.
Selama ini kasus-kasus semacam itu luput dari
perhatian karena para korban lebih memilih untuk memendam rasa sakit dalam hati
daripada ribut-ribut. Kalaupun mau ribut, akan ada bantuan dari siapa selain
kalimat “yang sabar yaa” dan jempol tanda “like”? Adanya organisasi
profesi akan benar-benar membuat perbedaan dalam hal ini.
So, para writers, ayo gabung ke HPI!
Yang dekat dari Magelang dan Jogja bisa ikut mendukung tanggal 13 nanti. Mari
kita tiru para wartawan yang kompak ngumpul di PWI atau para arsitek yang
berorganisasi di IAI (Ikatan Arsitek Indonesia) dan membuat aneka macam
aktivitas positif demi kepentingan bersama dan kemajuan dunia yang kita jadikan
sawah.
Dan karena seperti kata Carl Sagan di buku Cosmos,
selalu ada dunia lebih luas daripada yang dapat kita saksikan.
0 komentar:
Posting Komentar