Perjalanan sebuah naskah dari sejak Bab 1 ditulis
hingga akhirnya bisa nangkring di toko buku tidaklah mudah. Banyak cerita
terjadi dan kadang perlu makan waktu bertahun-tahun untuk melewati keseluruhan
proses itu. Novel teranyarku ini, Remember December, bahkan menjalani
tahapan itu nyaris selama satu dekade, karena mulai kutulis tahun 2007 saat
menjelang proses terbit novel Say No to Love.
Idenya berasal dari perjalanan naik kereta Argo Muria
bulan Maret 2006 saat mau nonton Java Jazz tahun itu. Di sepur, aku memasang digital
audio player alias MP3 player (sebelum era dengerin lagu cukup lewat
HP) dan terkesima dengan lagu kuno So Far Away milik Carole King. Aku
membayangkan, lagu itu cocok jadi soundtrack film romance pas
adegan tokohnya naik kereta sesudah pisahan dari gebetan atau kekasihnya dan
pulang kembali ke kotanya, lalu dia merenung dan melihat air hujan mengalir
turun di jendela kereta.
Dia menjauh dari kekasihnya, mungkin tak akan pernah
berjumpa lagi. Menjauh dari semua harapan. Lalu sosok sang kekasih terasa
begitu jauh dari genggamannya meski seringkali berada dekat sekali darinya. Dan
impian terbesarnya adalah “it would be so fine to see your face at my door...”
seperti kata Carole King di lagu itu.
Ide itu kemudian kuolah menjadi kisah tentang
orang-orang yang berada sangat dekat dengan seseorang, namun pada saat yang sama
merasa justru dia sangat jauh dan tak terjangkau. Ceritanya mulai kutulis
setahun kemudian, dan kurangkai menjadi sebuah metropop untuk menyusul Say
No to Love. Karena otakku terlalu kreatif, kisah romance itu
kupadukan dengan cerita petualangan ala Lima Sekawan.
Reva dan kawan-kawan liburan lalu menemukan komplotan
penjahat di kota kecil Kalibening (di dekat Purbalingga, Jawa Tengah). Keluarga
Pak Jo pemilik perkebunan Agropasifik sebetulnya adalah penyelundup senjata dan
trafficker, yang menculik anak-anak jalanan dan menjualnya ke Malaysia.
Judul novelnya waktu itu sama dengan judul lagu yang jadi inspirasinya.
Sayang waktu kuajukan ke Gramedia Pustaka Utama (GPU)
sesudah Say No to Love terbit, naskah itu ditolak. Mungkin karena unsur
cerita adventure-nya yang aneh itu (dan kemudian kuakui memang konyol
sekali, haha...!). Karena itu, kemudian naskahnya kurombak dengan menghilangkan
unsur itu dan menambah penekanan pada background asmara para tokohnya.
Judul pun kuganti. Karena latar waktu cerita terjadi
pada akhir bulan Desember, maka aku mencari satu kata yang bersanjak dengan “December”,
dan ketemulah “Remember”. Pada tahun 2008 saat versi kedua selesai, judul
Remember December kutemukan pada lagu milik band asal Swiss, Mind
Reflection, dalam album tahun 1998 mereka, This World. Hampir tak
dikenal di sini. Baru kemudian Demi Lovato mengeluarkan singel Remember
December bulan April 2010.
Sesudah kurevisi besar-besaran, Remember December
kemudian kutawarkan ke salah satu penerbit, sekalian mau menjajal penerbit di
luar Kompas Gramedia. Naskah diterima tapi dengan catatan: harus dirombak total
karena gaya bahasaku dinilai tidak kekinian. Meski ingin membantah soal apa sebenarnya
kriteria kekinian dan keduluan (lawan katanya “kekinian”), seperti biasa aku
tetap menerima usulan revisi itu.
Setelah menunggu agak lama, revisi naskah dikirim
oleh editor, tapi hanya sampai bab 6. Aku bilang, baru akan baca dan menanggapi
kalau sudah full 100%, namun hingga lebih setengah tahun (atau bahkan
hampir setahun), lanjutan revisi tetap belum muncul. Waktu kutanyakan ke
redaksi, pihak penerbit menjelaskan bahwa editor yang menangani naskahku adalah
editor lepas yang tahu-tahu lenyap dan tak bisa dihubungi oleh penerbit.
Karena jadi terhambat dan lama sekali (proses antara
naskah kuemail dengan saat aku dihubungi editor pun cukup lama), penerbit pun
minta maaf dan mengembalikan bola ke aku. Apakah akan dilanjutkan atau ditarik
saja. Aku putuskan untuk mencabutnya saja. Mungkin memang belum waktunya naskah
ini muncul. Biarlah angkrem saja ke harddisk sementara waktu.
Pencerahan muncul waktu aku lihat novel-novel Amore,
terutama sesudah Vira nerbitin Return bulan Februari 2014. Kupikir,
karena Remember December berjenis pure romance, kenapa tidak
kuajukan lagi ke GPU tapi sebagai Amore? Setelah kurevisi lagi beberapa bagian,
kukirim hardcopy-nya ke Palbar sehabis Lebaran tahun itu juga.
Lalu, pada bulan Januari 2015, aku dapat kabar bahwa Remember
December diterima dan akan diterbitkan. Satu proses panjang pun menemui
muara, meski masih harus menunggu hampir setahun lagi untuk mengantre giliran
editing (baru bulan Desember ada kabar lagi tentang tanggal terbit dan desain
kover). Cuman yang ini lancar. Editor langsung melakukan editing dan mengabari hanya
ada satu poin revisi kecil.
Kembali, seperti buku-buku sebelumnya, cerita yang
melatarbelakangi proses pengerjaan dan penerbitannya sangat seru dan berharga
untuk di-share di forum-forum kepenulisan. Ini menambah panjang daftar
pengalaman revisi-revisiku sebelumnya yang sangat bervariasi, sejak diminta
menambah 100 halaman, mengurangi 100 halaman, membukukan seseorang tapi pas
terbit malah sudah bubaran dengan orang itu, hingga harus sinau K-pop
hanya dalam 48 jam dan harus menuakan usia para tokoh dari 17 ke 25.
Remember December sendiri berkisah tentang
reuni Reva dan Dei setelah bertahun-tahun tak ketemu di Ciater (latar lokasi
kupindah dari Kalibening ke sana). Mereka mantan tetangga, dan Reva masih
memendam perasaan sayang pada Dei, meski ia hendak akan dicomblangkan dengan
Salsa, kakak sepupu Dei, dan Dei sendiri sudah menjelang menikah dengan Dani.
Pertemuan keempatnya pun diwarnai perasaan Reva yang
mirip lirik lagu So Far Away itu tadi—Dei ada dekat sekali dengannya
namun terasa jauh tak terjangkau. Dan ketika rahasia terkuak satu demi satu,
semua menyadari bahwa masing-masing tak beda jauh dari Reva, yaitu membawa
kenangan masa lalu sendiri-sendiri yang susah dilupakan.
Buatku, justru sesudah penolakan GPU delapan tahun
lalu, naskah ini menjadi eksperimen tersendiri. Karena alur cerita utamanya
(yaitu adventure-nya) hilang, Remember December praktis hanya
punya satu alur, yaitu kisah romannya. Ini kali pertama aku menulis novel yang
beralur tunggal sejak Waiting 4 Tomorrow (2005). Biasanya kan selalu ada
cerita suatu aktivitas (sepakbola, dunia sekretaris, wartawan, chef) dan kisah
asmara hanya menjadi pemanis.
Dan seperti yang kuceritakan tempo hari, gara-gara
itu, aku jadi terseret untuk keluar dari comfort zone-ku, karena
biasanya tak pernah bersentuhan dengan cerita-cerita pure romance. Ini
juga novel pertama yang berlokasi sepenuhnya di luar Semarang, bahkan Jawa
Tengah. Cerita berlokasi di Ciater, Kabupaten Subang, dan Bandung. So, setelah
bisa melepaskan diri dari tokoh utama yang serba mirip aku di The Supper
Club (2014), kini satu lagi misi tercapai: latar tempat non-Semarang.
Lewat Remember December, aku ingin mengajak
kita semua merenung tentang kisah masa lalu. Tiap dari kita pasti punya cerita
spesial dari masa silam yang susah dilupakan—mungkin bahkan terus menghantui.
Namun hidup harus terus berjalan, dan mau tak mau kita harus melangkah ke chapter
berikutnya tanpa terus-terusan terjebak ke masa lalu itu.
Tempo hari aku terlibat sebuah deep and meaningful
conversation tentang topik ini dengan teman dekat yang identitasnya harus
kurahasiakan. Cerita lalu tak mungkin hilang dan dihilangkan, kecuali dengan
amnesia. Kita harus menerimanya—berdamai dengan diri sendiri—dan tetap harus
menerima kasunyatan andai, pada titik-titik tertentu dalam hidup, itu kembali
mendatangi dan mengingatkan pada semua luka.
Karena cinta bukanlah tentang memiliki, melainkan
menerima...
0 komentar:
Posting Komentar