Beberapa waktu lalu, waktu sedang hang out di
Repoeblik Nongkrong bareng Aulia, Sindi, dan Enggar, seorang mahasiswa
komunikasi Undip bertanya pada Aul tentang efek video game pada remaja. Aul,
dan juga aku, menjawab sama: depends on the game itself. Artinya, efek games
pada kita tak bisa disamaratakan dan digeneralisasi. Digebyah uyah, kalau kata
orang Jawa.
Games, atau orang, atau sinetron, tentu sama saja. Ada
yang memberi dampak bagus, ada yang tidak. Kecermatan memilih adalah yang
terpenting, bukan mengernyitkan dahi pada bendanya. Balik ke soal games, bila
kita telah menguasai literasi games, maka akan sangat mudah memfokuskan
perhatian hanya pada game-game seperti The Longest Journey ini, lalu
meninggalkan game-game yang tak terlalu berkualitas. Kita jadi punya self-censorship
soal video game.
Bagi yang belum melek game, TLJ adalah game
ber-genre adventure alias petualangan. Cara mainnya disebut point-and-click.
Ini game santai. Cukup tunjuk segala apa pun pakai kursor, lalu klik agar sang
tokoh berinteraksi dengan orang atau benda-benda yang ada di satu scene.
Nggak perlu tegang atau kemringet mirip wong gelut seperti kalau pas
main PS atau game online di warnet.
TLJ sebenarnya game lama banget, sebab dirilis
tahun 2000 oleh developer Funcom dan diedarkan Empire Interactive &
Tri Synergy. Banyak hal mengasyikkan bisa disebut untuk judul satu ini, namun
yang paling utama adalah storyline-nya. Dengan memainkan TLJ,
kita yang menekuni bidang kepenulisan fiksi bagaikan ikut kursus sepenting
Seskoad bagi para tentara, atau seminar kesehatan bagi para dokter.
Pasalnya, cerita bergenre fantasi karya Ragnar
Tornqvist yang diusung game ini begitu memukau. Tak hanya membetot atensi,
kisahnya juga multidimensional. Ada cerita science fiction yang
futuristik, ada dongeng ala fairy tale dengan makhluk-makhluk aneh mirip
dalam novel Alice in Wonderland-nya Lewis Carroll, dan kemudian cerita berakhir
di luar angkasa.
Kisah TLJ berlatar musim panas tahun 2209 di
kota fiktif Newport, saat Amerika Serikat sudah dikuasai korporasi besar dan
bukan pemerintah tradisional oleh politikus seperti sekarang (ini bisa saja
terjadi in the near future, you know). Tokoh utamanya adalah
seorang gadis muda bernama April Ryan. Ia mahasiswi seni yang lari dari rumah
karena tak akur dengan ayahnya.
Berawal dari mimpi aneh tentang naga yang bisa
berbicara, hidup simpelnya berubah. Seorang pria aneh bernama Cortez
memberitahunya bahwa ia punya tugas besar bagi umat manusia. April adalah
seorang Shifter, yang bisa berpindah dimensi, dan kemudian mengetahui bahwa
Bumi ternyata ada dua: yang sekarang ia diami dan berasaskan sains, dan dunia
paralel bernama Arcadia yang berasas magic dan masih berperikehidupan
ala abad pertengahan dunia April.
Saat dibawa Cortez pertama kalinya menuju Arcadia,
April tahu bahwa sebutan untuk dunianya adalah Stark. Arcadia yang kental
dengan sihir dan alkimia melambangkan chaos, sedang Stark yang kental
dengan sains dan teknologi melambangkan order alias keteraturan. Bumi
dibelah menjadi dua sisi sejak puluhan ribu tahun lalu, dan energi yang
menaungi pembelahan itu disebut Balance (sejenis dengan The Force di Star
Wars).
Dunia Arcadia diawasi golongan rahib yang disebut
Sentinel, sedang jagad Arcadia disupervisi oleh Vanguard. Di atas Arcadia dan
Stark, terdapat alam lain tempat Guardian bertahta. Dia adalah pemimpin
tertinggi yang mengawasi keseimbangan Arcadia dan Stark tiap 1.000 tahun.
Menurut berbagai ramalan, April adalah tokoh terpilih yang akan menjadi
Guardian ke-13.
Lalu, cerita bergerak khas kisah genre fantasi: April
harus mengambil dan mengumpulkan aneka macam benda keramat guna memenuhi
ramalan itu, yakni empat keping batu dan juga permata-permata sakti. Dan untuk
melakukannya, ia harus bertualang naik gunung, melintasi lembah, masuk dasar
laut, serta menerabas rimba bertemu dengan aneka macam makhluk aneh.
TLJ menarik karena ada fusi di sini, antara
latar waktu dunia lama ala cerita dongeng klasik dengan latar waktu futuristik
ala Star Wars dan Star Trek. Stark tempat April tinggal adalah
dunia modern abad ke-23 yang serba canggih. Sedang Arcadia yang ia kunjungi
adalah alam tradisional tanpa sentuhan sains dan teknologi yang senyap dan
masih murni.
Secara filosofi, storyline TLJ menggambarkan
dengan tepat dikotomi chaos dan order di alam dunia, dan juga
dalam “semesta” diri kita sendiri. Kita maunya semua serba teratur, namun hidup
juga penuh kekacauan yang mau tak mau harus dihadapi dengan berani. Yang
terpenting adalah kemampuan kita menyeimbangkan diri dalam keduanya, sehingga
apa pun yang terjadi, akan selalu ada pelajaran yang kita petik.
Namun mayoritas dari kita justru berbersih-bersih dan
bersempurna-sempurna, semaksimal mungkin menghindarkan diri dan berlindung
rapat dari polusi chaos. Ini sepertinya baik, namun “menabung” bahaya
besar. Mirip pemain bola yang sangat bersih sehingga menolak melakukan tackle
dan menolak pula mempelajari ngelmu tackle. Suatu saat di-tackle
kasar, dia bakalan langsung njengat kelenger karena tak punya wawasan untuk
melakukan antisipasi.
TLJ asik dimainkan gamer newbie karena
tak berasa lagi main game sama sekali. Justru lebih mirip nonton film, namun
dengan kita punya kendali pada tokoh utamanya. Ini bukan jenis game yang
membuat kita bisa menang atau kalah, melainkan terbenam mengikuti alur cerita.
Main ditemani “kepekan” walkthrough pun tak jadi soal karena beberapa puzzle
sangat abstrak dan hampir mustahil dianalisis oleh gamer amatir (kayak aku).
Dalam beberapa bagian penting, muncul cutscene
(potongan film animasi) yang menjelaskan kelanjutan cerita. Untuk ukuran tahun
2000, animasi TLJ terhitung breathtaking—tak beda jauh dari
kualitas animasi di Starcraft: Brood War (1998) dan Syberia
(2002). Namun bagus atau tidak, elemen semacam ini selalu menarik ditonton
karena menjadi semacam “hadiah” bagi upaya keras kita ikut terlibat di dalam
cerita.
Bagi kita para fiksier (penulis cerita fiksi), TLJ
bisa menjadi semacam laboratorium yang memperkaya dan menginspirasi. Kita
diperkaya oleh betapa berlimpahnya sisi-sisi orisinalitas cerita yang berhasil
diciptakan oleh Ragnar di sini. Sejak dari istilah-istilah (Balance,
Windbringer, Minstrum) hingga susunan alam semestanya (Stark, Arcadia, lalu
Guardian’s Realm yang hanya bisa dimasuki lewat satu titik wormhole di
luar angkasa tak jauh dari planet Bumi).
Dan kita diinspirasi plus ditantang untuk bisa pula
membuat kisah yang memikat, memesona, dan penuh liku seperti ini. Akan ada
saatnya untuk meninggalkan comfort zone yang berupa genre (ahli bikin
teenlit, romance, atau kisah nyata inspiratif), dan mencoba bertualang di genre
baru, karena mereka-mereka yang timeless pun sanggup menulis di genre
apa saja. Sensei Arswendo, misalnya, bisa bikin cerita detektif cilik,
kisah keluarga, novel nyastra, dan juga cerita silat.
Nonton, eh... main The Longest Journey membuatku
tergugah lagi untuk melanjutkan cita-cita lama, yaitu nulis cerita silat dan dinamika
ngelmu kebatinan Kejawen yang berlatarbelakang perang antarbintang di Orion,
Vega, atau Zeta Reticuli...
0 komentar:
Posting Komentar