Novel, sebagaimana jajanan, juga tersegmentasi. Ada
target tertentu yang dituju, di mana dia berfungsi sangat baik pada tingkatan
itu, namun tidak pada tingkatan yang lain. Karena itu penilaian kepadanya harus
dilihat pula pada ranah tersebut, dan tidak semata pada eksistensinya secara
utuh dan bulat.
Membaca Refrain karya Winna Efendi adalah
seperti memahami arti penting jajanan anak-anak bagi anak-anak. Inilah saatnya
kita belajar berempati dan mengamati sesuatu tak melulu dari persepsi dan
perspektif masing-masing. Kita harus rehat sejenak berada dalam posisi orangtua
yang berkernyit dahi sambil bertanya “Enaknya di mana sih?” pada anak yang
menikmati pasta cokelat atau permen jelly.
Sebab novel semacam ini memang bakal mengundang
kerutan dahi bagi khalayak di luar target market-nya, namun tidak dalam
lingkungan “habitat”-nya. Di teritori itu, ia tak beda jauh dari keberhasilan
kafe bernuansa romantis pada tanggal 14 Februari: disesaki pengunjung bukan
selalu karena masakan berkualitas, melainkan karena pas secara fungsi.
Dalam sebagian besar bagiannya, Refrain
mengandung semua elemen yang bagaikan wajib harus tersaji pada novel-novel
roman remaja Indonesia: SMA swasta elit, pelajar SMA bermobil mewah, murid baru
yang cantik, tim cheerleaders dan geng cewek-cewek populer yang glamor, serta
kapten tim basket idola para siswi. Ini sekaligus juga satu lagi cerita bertema
“mulai merasa aneh pada sahabat dan tetangga sendiri”.
Sepasang sahabat dan tetangga itu adalah Nathaniel Wiryawan
alias Nata dan Nikola Ciputra alias Niki. Mereka bersahabat sejak kecil, dan
tiap malam hang out di tempat permainan trampolin. Saat berumur 16 tahun
dan Niki gemar berdandan, Nata mulai merasakan sesuatu berubah pada dirinya
tiap kali melihat sahabatnya yang mendadak terlihat cantik itu.
Lalu di sekolah mereka, SMU Harapan, hadir murid baru
yang berdarah bule, Annalise Putri, anak dari model internasional Vidia Rossa
yang diidolakan Niki. Anna naksir Nata, tapi Nata sudah telanjur jatuh hati
pada Niki. Dan situasi jadi runyam ketika, pascapertandingan bola basket antara
tim SMU Harapan dengan SMU Pelita, Niki diajak kenalan kapten tim basket lawan,
Oliver Saputra yang ganteng dan tajir.
Nata kian uring-uringan ketika Niki kemudian jadian
dengan Oliver. Dan sesudah dua kali perasaan terpendam terkuak dengan cara yang
hampir sama serta insiden memilukan yang dialami Niki di acara prom night
SMU Pelita, Nata harus mengorbankan perasaannya pada Niki dengan melanjutkan
kuliah ke tempat yang sangat jauh. Ke mana lagi jika bukan Amerika Serikat.
Refrain disusun dengan suasana yang serba
beraroma internasional. Majalah Elle yang khusus dipesan dari luar
negeri, ibunda yang sibuk berkarier di Eropa, dan para tokoh yang ngemil
stroberi dicelup cokelat, marshmallow, serta gelato matcha, dan
bukan ceriping singkong, emping melinjo, atau apalagi rondho royal. Mereka pun
libur dua bulan selama musim panas (dan bukan kemarau).
Lalu, pada akhir masa pendidikan SMA, para siswa
senior (dan bukannya murid kelas XII) mengenakan gaun pesta dan tuksedo serta
datang dengan limousine ke acara prom night (dan bukan pesta perpisahan
di rumah salah satu murid). Pada satu titik, kita terpaksa harus kembali
meyakinkan bahwa lokasi cerita adalah di DKI Jakarta, bukan New York atau San
Fransisco.
Di luar situasi kebatinannya yang sangat mengidolakan
keeropaan dan keamerikaserikatan, Winna cukup piawai memainkan berbagai elemen
khas cerita drama percintaan. Ada cinta terpendam dan kata-kata yang tak
terucapkan (Anna tentang perasaan Nata terhadap Niki, dan Nata pada Niki
tentang siapa yang lebih dulu merasakan arti jatuh cinta) dan ending ala
cerita fairy tale (putri yang menerima tindak kekejaman di kastil musuh
dan diselamatkan knight in shining armor).
Pada tataran “jajanan anak-anak untuk para
anak-anak”, unsur-unsur ini sangat efektif memancing emosi dan simpati pembaca.
Ditambah dengan efek Amerikanisasi yang menjadikannya punya proksimitas
psikologis yang kuat bagi para ABG, Refrain adalah sebuah suguhan yang
sangat pas bagi target marketnya. Tak heran novel ini laku keras dan dicetak
berulang kali hingga lima tahun sesudah rilisnya pada tahun 2009 (yang kubaca
adalah edisi cetul ke-23) lalu difilmkan.
Secara umum, menikmati Refrain terasa bagaikan
diajak keliling kota Jakarta namun dengan mata tertutup. Tak ada kejelasan
semua lokasi berada di sebelah mananya Jakarta—SMU Harapan, kompleks perumahan
tempat tinggal Niki dan Nata, berapa jauh SMU Pelita dari rumah Niki. Kecuali
monumen kuno di Jakarta Pusat dan mal Senayan City, berkeliling mengikuti
kegiatan para tokoh Refrain mirip jalan-jalan di Jakarta tanpa pakai
Google Map.
Anonimitas juga menjadi hal lazim di sepanjang rute
cerita. Hampir tak ada sebutan nama yang jelas dan lengkap untuk segala
sesuatu. Hanya ada “sebuah kafe gelato”, “24-hour cafe di lantai bawah”,
atau “salah satu sekolah musik terbaik di Amerika”. Dan beberapa istilah terasa
lucu karena kurang teknis, seperti “sesi kedua” pertandingan basket dan “juara
basket paling jago”.
Ini kelemahan yang sangat elementer. Padahal cukup
dengan nanya teman yang hobi sport
(atau ke Mbak Wiki), kita akan tahu bahwa pertandingan basket dibagi dalam
empat quarter. Dan titel juara cabor ini berlaku untuk tim, bukan
individu. Seorang pemain menerima penghargaan individu berupa gelar MVP (most
valuable player) atau berdasarkan statistik (pencetak skor, rebound,
atau steal terbanyak).
Dan ada pula satu hal yang seharusnya potensial namun
malah mengundang tanda tanya, yaitu aplikasi Nata ke sekolah musik luar negeri
di AS tersebut. Ia mengirimkan lamaran dilampiri demo tape saat masih
aktif sekolah, lalu menerima surat pemberitahuan bahwa lamarannya diterima pada
sekitar momen kelulusan SMA.
Aku pun tak tahu bagaimana detail hal seperti ini. Mungkinkah
kejadiannya berlangsung dengan prosedur demikian? Tidakkah pihak universitas
luar negeri itu mensyaratkan ijazah SMA dulu sebagai kelengkapan lampiran surat
lamaran menjadi mahasiswa? Dan tentu ada masa seleksi ketat yang pastinya tak
berlangsung singkat, bukan? Can anyone tell me? Puh-lees..!
Padahal jika hal ini bisa diinformasikan detail
berdasarkan riset mengenai penerimaan mahasiswa baru ke Juilliard atau Berklee
Music School, pembaca yang hobi musik akan bisa sungguh-sungguh memanfaatkannya
untuk daftar sungguhan ke Amrik.
Dalam hal keantahberantahan, anonimitas, dan
inakurasi fakta (harus menyempatkan diri untuk bertelepon pada era media sosial,
pergi kuliah full selama lima tahun tak pernah satu kali pun mudik), Refrain
tidak sendiri. Mayoritas novel yang ditulis penulis remaja mengandung
anasir-anasir serupa. Dan mau tak mau ini memang harus dimaklumi, jika diingat
betapa cerita-cerita itu mungkin saja ditulis saat sang pengarang masih berumur
13 atau 14 tahun.
Kesalahan jelas sepenuhnya tak berada di pundak para
penulis ABG itu, melainkan ortu dan guru. Jika mereka peka pada minat bakat anak-anak,
pada peran inilah mereka seharusnya masuk sebagai mentor. Tugas mereka
memberikan arahan mengenai gambaran dunia nyata yang sesungguhnya, agar bisa
dihadirkan akurat melalui karya fiksi, bukan melulu hanya meributkan masalah
rengking berapa, nilai berapa, atau “cuman soal kayak gitu aja kok ndak
bisa!?”.
Winna dan Refrain adalah pengingat agar para
pembaca yang berada di luar target marketnya harus mulai belajar untuk melihat
segala sesuatu berdasarkan perspektif orang lain, bukan semata dari angle
dan ukuran standar diri sendiri. Jika itu yang dilakukan, novel seperti ini
pasti akan mengundang kernyit dahi dan gumaman “Kayak gitu enaknya di mana
sih?”.
Instead, kita harus membacanya dengan
pemahaman seperti kutipan salah satu film Hollywood tentang “If you want to
catch a rabbit, you have to think like a rabbit”. Jika kita bisa
menyimak Refrain dengan asas pikiran kaum ABG, kita akan mudeng mengapa
kisah cinta Niki dan Nata begitu menyentuh relung kalbu.
Di sisi itu, coretan tangan, eh... ketikan laptop
Winna Efendi cukup efektif dan berkhasiat.
0 komentar:
Posting Komentar