Akhirnya, jauh setelah buming novel dan filmnya
lewat, baru sempat baca Negeri 5 Menara karya A Fuadi. Ini mirip dengan
kasus Laskar Pelangi dulu, di mana aku baru membacanya jauh setelah
hiruk pikuknya terlewati. Mungkin kelak aku baru akan baca karya-karya Tere
Liye sekian tahun embuh kapan dari sekarang.
Back to Negeri 5 Menara, membaca buku ini tak
terlalu berasa seperti membaca sebuah novel, melainkan artikel feature—dalam
ukuran raksasa. Tahu kan jenis tulisan feature di negeri jurnalistik?
Itu salah satu cabang tulisan jurnalistik yang berisi kupasan tuntas dan
mendalam mengenai segala sesuatu, diutamakan yang memiliki sisi human
interest.
Novel dibuka berlatar Desember 2003 di Washington,
DC., Amerika Serikat, saat Alif sudah sukses sebagai WNI yang bekerja di luar
negeri, tepatnya di negara Paman Sam. Ia tengah akan berangkat ke London,
Inggris, untuk tugas liputan mewawancarai PM Inggris Tony Blair dan menjadi
salah satu panelis konferensi antaragama. Lalu ia dikontak Atang, salah satu sahabat
masa sekolahnya di Pondok Madani (PM), Ponorogo, Jawa Timur.
Kenangan manis akan para Sahibul Menara, yaitu geng
Alif yang suka hang out di bawah menara masjid PM, kemudian membawa
cerita flashback ke tahun 1988. Kala itu, Alif yang baru lulus MTs di
Maninjau, gagal mendaftar SMA di Bukittinggi, Sumatera Barat, karena ketiadaan
biaya. Kedua ortunya lantas ingin ia melanjutkan ke sekolah agama, yang
ongkosnya tak semahal sekolah umum.
Putus asa karena cita-citanya untuk belajar ke
sekolah nonagama kandas, Alif kemudian menemukan jalan keluar dengan masuk ke
PM, yang meski sekolah agama juga, tapi berada jauh di Pulau Jawa, dan di sana
diajarkan cukup banyak ilmu sains umum. Di sanalah kemudian ia bertemu dengan
para sahabatnya di Sahibul Menara.
Dan masa-masa penempaan Alif di PM selama empat tahun
(namun dalam enam tingkatan kelas) itulah yang kemudian membuahkan sukses pada
masa depan. Ia menjadi seperti Ikal dari Laskar Pelangi-nya Andrea
Hirata, yaitu “anak pedalaman kesusahan yang terinspirasi dan berhasil
mewujudkan mimpi pergi ke luar negeri bukan hanya dalam rangka liburan”.
Negeri 5 Menara mirip seperti sebuah artikel feature
karena sebagian besar isinya tak menghadirkan satu cerita dan konflik yang
bulat dan utuh, melainkan lebih kuyup berisi romantika kehidupan Alif di PM.
Terpapar banyak kisah menarik dengan sisi human interest yang kuat, sejak
dari Alif cs. yang telat ikut shalat magrib dan dihukum dengan dijadikan jasus
(mata-mata), mereka ngegeng dan dijuluki Sahibul Menara, hingga para murid yang
ngopi dengan kopinya ditaruh di ember bekas tempat cuci baju.
Bagian-bagian itu sungguh mirip jika kita membuka
koran atau majalah dan menemukan artikel soal suka duka kehidupan taruna
akademi pelayaran, keseharian para petugas pemadam kebakaran, atau romantika
para anggota TNI penjaga perbatasan. Ada detail data dan fakta, ada pemaparan
prosedural yang komplet, dan ada kisah-kisah menarik yang lucu penuh haru biru.
Namun kisah-kisah itu tak terhubung dalam satu alur
besar berdasar kausalitas dan logika. Tak secara langsung menghubungkan periode
itu dengan kesuksesan Alif pada tahun 2003 kecuali sebatas pesan moral bahwa
“jika rajin belajar, maka tercapai cita-citanya”.
Awalnya, Negeri 5 Menara dimulai dengan
pendekatan scene-by-scene yang memungkinkan penceritaan detail yang enak
dinikmati. Dari Washington, adegan flashback ke kampung Bayur di tepi
Danau Maninjau, lalu perjalanan panjang naik bus dari Bukittinggi ke Ponorogo
yang penuh petualangan mengasyikkan. Namun selepas adegan pengangkatan Alif cs.
sebagai jasus, cerita berubah ke model riwayat dengan segala sesuatu
diceritakan secara ringkas dan serba sekilas.
Banyak hal menarik dituturkan cukup dalam
paragraf-paragraf singkat, seperti liburan Alif ke Bandung dan Surabaya. Adegan
Alif di-“setrum” Ustad Nawawi yang jago memotivasi ala Mario Teguh pun bahkan
hanya dikisahkan dalam satu paragraf (“pelan-pelan dia menuntunku untuk bangkit,
mandiri, dan menang...” dan seterusnya).
Padahal pembaca butuh “mendengar” juga isi detail
obrolan mereka agar bisa ikut termotivasi oleh kata-kata indah Pak Nawawi,
terutama bagaimana kalimat sakti “man jadda wajadda” menjadi titik tolak
kebangkitan kembali Alif yang sempat terpuruk.
Bagi para pembaca pemula, yang baru kali pertama
membaca novel, segala sesuatu di sini masih akan terasa menakjubkan. Namun bagi
para pembaca veteran, beberapa bagian penting di buku ini tak ubahnya momen
pedih saat dikecewakan oleh kekasih idaman yang disangka bakal menghadirkan banyak
hal romantik.
Salah satunya adalah antisipasi bakal munculnya
karakter yang extraordinary, yaitu sejak adegan Raja memamerkan Advanced
Learners Oxford Dictionary pada Alif. Kita pasti berpikir, Raja akan
menjadi the equivalent of Laskar Pelangi’s Lintang yang superjenius dan
melahirkan momen-momen spektakuler tak terlupakan.
Sayangnya tidak. Baik Raja, Baso, Atang, maupun Alif
dan semua member Sahibul Menara, semua berkapasitas standar saja—hanya
beda-beda minat dan bakat. Rangkaian peristiwa yang lahir dari mereka pun tak
sespesial menang lomba cerdas cermat atau joget Afrika pakai bubuk gatal,
melainkan istimewa dalam konteks punya kekuatan di sisi human interest.
Kekecewaan lain ada pada tokoh Sarah, yang siapapun
pasti memprediksi, tokoh ini akan jadi love interest bagi Alif untuk
memunculkan sexual tension yang indah melankolis. Sangkaan makin kuat
saat Alif berhasil masuk rumah Ustad Khalid, guru PM yang adalah ayah Sarah,
untuk diminta membuatkan foto keluarga.
Kita membayangkan, Sarah dan Alif akan jadi dekat,
menabrak semua aturan PM soal cowok-cewek yang dilarang keras saling
berinteraksi intens, dan kemudian Alif menuliskan puisi cinta yang bikin kita
menggumam “So sweet..!” dengan pipi bersemu merah dadu.
Sayang tidak juga. Sesudah adegan Alif memotret
keluarga Ustad Khalid dan grogi sehingga lupa memasang rol filmnya terlebih
dulu, Sarah kemudian dihilangkan dengan cara dikirim bersekolah ke Jogja. Lalu
ia tak dihadirkan dominan lagi, kecuali muncul sekilas pada adegan malam
pertunjukan Class Six Show (Sixth Grade’s Show?).
Para experienced readers, terutama yang juga
mudeng jurnalistik, memang akan lebih nyaman menikmati Negeri 5 Menara
sebagai kumpulan artikel feature ketimbang novel. Sebagai tulisan human
interest, buku ini memberi banyak insight soal kehidupan keseharian
di ponpes yang unik dan menarik. Harusnya ada juga cerita semacam ini yang
berlatar belakang kampus Akpol, Akmil, atau pendidikan anggota tim SAR.
Namun sebagai novel, menutup halaman terakhir buku
ini terasa seperti baru saja diajak duduk seorang teman lama untuk “dikasih
tahu sesuatu yang luar biasa”. Tak tahunya, empat jam lebih 55 menit kemudian,
yang dia kisahkan jebul biografi sukses dirinya sejak masuk SMA, menjadi
siswa teladan, kuliah di tempat keren, dan kini menetap untuk bekerja di negara
Unaytid Steits yang juga keren.
Memang luar biasa sih, tapi hanya untuk dia sendiri.
Lalu kita hanya bisa menghela napas dan sesudahnya mencari
warteg atau mie ayam...
0 komentar:
Posting Komentar