Poirot & Hastings di serial "Agatha Christie's Poirot" |
Style alias gaya merupakan satu dari
lima unsur pembentuk fiksi, selain plot, karakterisasi, setting (latar), dan tema.
Style menentukan bagaimana seorang pengarang menggunakan pilihan-pilihan
pribadinya dalam menuliskan ceritanya. Itu termasuk angle penceritaan (pakai
“aku” atau angle orang ketiga), gaya bahasa, redaksional, dan metoda penceritaan
Tiap pengarang akan memiliki
gaya-gaya tersendiri yang sangat khas. George RR Martin, misalnya, menuturkan cerita
serial fantasi epik A Song of Fire and Ice dengan banyak tokoh utama.
Dan kisah diceritakan dari angle para tokoh itu bergantian. Sementara itu, almarhumah Agatha
Christie menjelaskan rentetan peristiwa yang panjang dan rumit (rencana, latar
belakang, dan aksi pembunuhan) cukup dengan dialog, bukan lewat flashback.
Karena sangat personal, dan dalam seni
nggak ada hal yang salah atau haram, maka pemanfaatan style hanya berbatas
imajinasi. Apa pun boleh dipakai, termasuk membikin bingung pembaca awam lewat
gaya tuturan yang terlalu sureal dan abstrak. Tidak salah juga bahwa dulu
almarhum SH Mintardja tidak memakai tanda kutip ganda untuk menuliskan dialog
dalam novel-novelnya, melainkan garis tengah panjang (“—“).
Gaya juga bisa menjadi medium pengarang
untuk mengganti-ganti corak pengisahan bergantung pada pangsa pasar yang
dituju. Seorang penulis baru dari golongan nyastra tentu harus mengubah gaya
bila ingin bermain di pasar young adult romance (termasuk bisa pula memakai nama pena
berbeda), dan begitu pula sebaliknya.
Buatku sendiri, gaya adalah tempat
untuk bermain dan berekspresi seenak udel. Asal koridor market-nya sudah ditentukan
(koridor teenlit, romance, atau metropop), maka style cerita akan kuotak-atik sesukaku.
Apa yang terpikir, itulah yang dilakukan. Yang namanya ide pun nggak cuman dalam hal bahan cerita, melainkan
juga dalam berbagai urusan lain berkaitan dengan style.
Yang paling prominent kugunakan
adalah mengenai penceritaan. Dari banyak eksperimen yang sudah kulakukan, ketemu
cukup banyak gaya berbeda soal pengisahan. Beda novel ternyata bisa beda pula
gaya pengisahannya.
Setelah menggunakan gaya umum-umum
saja di Kok jadi Gini? dan Waiting 4 Tomorrow (A dan B saling
naksir, berkonflik, tarik-ulur, jadian), The Rain Within (2005) menjadi
kesempatan pertamaku untuk menjajal gaya berbeda. Di sini, untuk kali pertama
aku bercerita dalam banyak alur alias plot (kisah Elan dan karier bolanya di
PSIS, kisah Elan dan Wening, kisah Elan dan Rainie, serta kisah masa lalu sekaligus
rahasia Rainie yang luar biasa).
Pemakaian multiplot itu sendiri lebih
karena kecelakaan. Awalnya, aku cuman pengin bikin kisah romance pemain bola,
yaitu antara Elan dan Rain. Namun kemudian editor meminta cerita ditambah tebal
dari 120-an halaman menjadi di atas 200. Maka kemudian kumunculkan alur baru
dari tokoh baru yang kubikin kemudian, yaitu Wening.
Lalu, di Dunia Dini (2007),
aku bercerita dengan teknik yang disebut False Telling, yaitu mengisahkan
sesuatu dengan gaya cerita dari genre lain. Apa yang dilakukan Dini dan Maya
dalam melacak keberadaan mantan kepala sekolah mereka adalah prosedur pelacakan
yang dilakukan detektif. Maka gaya penceritaan dengan menghadirkan misteri besar
yang terkuak sedikit demi sedikit adalah gaya pengisahan cerita detektif atau
kriminalitas. Meski begitu, cerita DD tidak termasuk dalam dua jenis
itu, melainkan drama biasa yang berbumbu romans.
Gaya ala cerita detektif lain juga
ada pada tokoh-tokoh utamanya. Sebagaimana dalam novel-novel kriminalitas
Agatha Christie di mana Poirot atau Miss Marple bukanlah tokoh yang mengalami peristiwa
paling seru or dramatis, Dini dan Maya pun demikian. Rangkaian insiden
dramatis justru dialami Pak Sasongko, sedang mereka sendiri sebenarnya fine-fine
saja, kecuali mengalami sedikit urusan complicated dengan Rizal.
Gaya False Telling ini kemudian
kuulangi di novel Gombel dengan style ala detektif lagi padahal genrenya
adalah horor, dan juga di Grasshopper (2010) yang bergaya ala cerita
silat (duel-duel maut, perebutan senjata pusaka, balas dendam yang dilatarbelakangi
tragedi masa lalu, dan pencapaian jurus penghancur paling dahsyat) meski
aslinya adalah kisah drama sport mengenai badminton.
Unsur style kedua yang sangat khas
dan selalu kupakai adalah dalam hal durasi cerita. Aku menganut paham cerita
padat secara waktu, mirip novel-novel Dan Brown yang biasanya hanya berlangsung
dalam tempo beberapa hari atau bahkan jam. Novel-novelku sejak Kok jadi
Gini? sampai Kinanti Featuring Arantxa terjadi dalam basis day by
day, yang rata-rata total berdurasi antara dua hingga tiga pekan, sejak bab
1 (atau prolog) hingga bab penutup (atau epilog).
Jika cermat mengamati, maka
nama-nama hari tempat rangkaian seluruh peristiwa terjadi bisa diketahui. Misal
dimulai dari Senin, Selasa, Rabu, lalu ending pada hari Sabtu dua minggu
sesudahnya. Kadang bahkan dengan tanggal dan bulannya juga. Dan selalu ada
insiden penting yang terjadi saban hari.
Tidak pernah kejadian seru “libur” selama
sekian waktu dengan unsur semacam “selama beberapa minggu sesudah itu…” atau
“…baru dua bulan kemudian, mereka kembali saling…” dan semacamnya. Maka tak
jarang 20 hingga 40 halaman lewat hanya untuk menceritakan rangkaian event yang
berlangsung dari pagi hingga siang, misalnya.
Elemen berikutnya dari style yang
langganan kupakai adalah penceritaan angle orang ketiga. Aku termasuk
sangat jarang menggunakan angle orang pertama (“aku”), karena baru
kupakai di Kok jadi Gini? dan The Supper Club. Yang belum pernah
kupakai dan kayaknya nggak akan terpikir adalah multi-angle, atau
campuran antara angle “aku” dan angle orang ketiga, atau angle
“aku” dari dua-tiga tokoh berbeda.
Satu kali eksperimen ganjil yang pernah
kukerjakan adalah angle orang ketiga palsu di Fade in Fade out
(2013). Meski pakai sudut pandang orang ketiga, cerita itu sebenarnya hanya
dilihat dari angle Seto. Tak ada peristiwa di mana dia tidak hadir. Selain
itu hanya pemikiran dan perasaan dia saja yang bisa diketahui pembaca. Perasaan
dan pemikiran para tokoh lain, terutama Farah, cuman bisa dilihat dari dugaan
atau perkiraan Seto.
Unsur terakhir dari style yang selalu
kumainkan adalah tema mengenai dunia kerja atau bidang kehidupan tertentu yang
hadir sebagai topik bahasan utama. Urusan cinta-cintaan mundur selapis ke belakang
menjadi pemanis, dan bukan perkara utama satu-satunya yang diurusi para
tokohnya.
Tema dunia kerja yang sudah pernah
kugunakan adalah sepakbola (The Rain Within, The Sweetest Kickoff),
musik (Rendezvous at 8, Kinanti Featuring Arantxa), jurnalis (Dunia
Dini), produksi sinetron (Fade in Fade out), badminton (Grasshopper),
dan masak-memasak (The Supper Club). Tak hanya muncul nempel cukup sebagai
pekerjaan sang tokoh utama, dunia kerja itu juga muncul dengan cerita tersendiri.
Misal dalam Dunia Dini, kejadian
seru yang mereka alami dimulai saat mereka ditugaskan untuk menginterviu eks kepsek
mereka. Lalu pelacakan info yang mereka lakukan adalah teknik investigative
reporting yang biasa dilakukan para jurnalis dalam menggali satu rangkaian
kisah penuh misteri, mirip kerja Woodward & Bernstein saat membongkar
Skandal Watergate di AS tahun 1972.
Sementara itu, di TSK, ada cerita
komplet soal pengelolaan klub sepakbola. Bagaimana suka-duka seorang owner
klub bola yang berkonflik terus dengan pelatih dan naik turun emosinya berdasar
hasil-hasil pertandingan di lapangan. FIFO malahan hampir 100% cerita
soal sinetron. Tokoh utamanya, si Seto, tak mengalami kejadian apa pun yang seru
dan dramatis, sehingga salah seorang reviewer
di Goodreads bilang bahwa aku terlalu sayang sama tokoh ini sehingga dia “imun”
dari masalah. Yang kena problem gawat justru Nane: minggat lalu bapaknya kecelakaan.
Lewat style, kita berkesempatan
untuk melakukan banyak hal yang membuat novel-novel kita punya gaya tersendiri
yang sangat khas dan membedakan dari para pengarang lain. Pada banyak kesempatan,
gaya khas kerap kali dimulai dari genre. Berbagai pengarang setia hanya pada
satu genre tertentu yang kemudian menjadi ciri khasnya. Misal kayak Christie
yang khas dengan genre misteri, SH Mintardja dengan genre silat, atau Brown dan
genre thriller teori konspirasi.
Namun selain soal genre, biasanya tetap
ada kekhasan lain yang dipunyai para author terkemuka itu. Dan Brown misalnya,
selain khas gara-gara genre thriller, juga karena gaya pengisahan yang bertempo
cepat dan padat itu. Sedang Agatha Christie dikenal hobi memasukkan segala hal berbau
farmasi.
Dia juga kerap bereksperimen, terutama
dalam hal penggunaan angle tokoh. Di Pembunuhan atas Roger Ackroyd, eksperimennya
sangat nekat dan mengundang banyak perdebatan (sayang nggak bisa diungkap di
sini karena akan jadi spoiler). Sedang lewat tokoh Kapten Hastings,
kadang ia memakai teknik False Protagonist—dijadikan tokoh utama (dan kadang jadi tokoh narator), padahal lakon aslinya adalah Poirot.
Aku pernah agak kaget pas awal-awal dulu baca novel
dia yang bergaya semacam itu. Angle “aku”-nya kenapa dari Hastings,
bukannya Poirot? Ternyata itu memang disengaja. Satu, untuk membuat pembaca terwakili
oleh Hastings dalam hal pusing mencoba memahami keunikan karakter Poirot. Dua,
menghindarkan diri dari Sindrom Megaloman (memakai angle “aku” dari
tokoh yang serbahebat—terlebih bila si “aku” mewakili personality atau bahkan
kisah hidup sang pengarang sendiri).
Karena seniman, termasuk pengarang,
harus selalu out of the box, maka bereksperimen dalam hal gaya seperti
yang dilakukan Christie adalah keharusan. Kalau terus-menerus terjebak dan terlena
dalam zona nyaman, lama-lama pasti
akan ketiduran…
Thanks for sharing...
BalasHapus