scribo ergo sum

Selasa, 11 Desember 2018

Melodrama Rasa Thriller

11:15 Posted by wiwien wintarto No comments
Dengan cara bagaimanakah kita menikmati rendang? Apakah melulu hanya dengan nasi dan sambal hijau serta daun singkong yang berteksur lembut? Bagi seorang chef kelas mahir, yang menganggap dunia kuliner adalah seni, sesuatu bisa menjadi apa saja tergantung tingkat inovasi dan kreativitas. Dan persis seperti itulah yang dicontohkan Sandra Brown, setidaknya melalui novel berjudul Deadline ini.
Dengan versi Bahasa Indonesia diberi judul Tenggat Waktu, buku ini berkisah soal tugas liputan penting wartawan News Front, Dawson Scott, yang mengubah hidupnya. Ia harus menulis artikel tentang kasus pembunuhan yang dituduhkan pada Willard Strong, sesuatu yang awalnya ia anggap sama sekali tidak urgen. Willard didakwa membunuh istrinya, Darlene, dan selingkungan sang istri, Jeremy Wesson.

Saat mengikuti persidangan, perhatian Dawson tertumbuk pada sosok cantik Amelia Nolan, janda Jeremy yang merupakan putri seorang politikus kenamaan yang meninggal beberapa waktu sebelumnya. Terlibat dengan Amelia dan kedua putra kecilnya, Dawson lama-lama menjumpai kasus tersebut jauh lebih rumit dari yang awalnya ia sangka. Urusannya melibatkan perseteruan abadi antara ayah angkatnya, Frank Headly, dengan seorang penjahat legendaris bernama Carl Wingert.
Secara umum, Deadline berjenis kisah suspense thriller tak ubahnya novel-novel Dan Brown. Bab-bab berdurasi singkat, ujung tiap bab yang diputus dengan cliffhanger, dan terdapat banyak plot twist minor yang diletakkan secara rapi di sepanjang cerita untuk kemudian ditutup satu plot twist besar terkait dengan identitas dan masa lalu sang tokoh utama. Yang menarik adalah, naskah karya Brown ini sesungguhnya tak lain adalah sebuah melodrama biasa saja.
Kita bahkan bisa mengenali pola-pola kuno drama di dalamnya. Dimulai dari dua tokoh yang benci dulu baru sayang, dua saudara kandung yang terpisah puluhan tahun oleh suatu peristiwa dramatis (biasanya banjir!) dan baru bertemu setelah dewasa, dan tokoh antagonis yang juahatnya minta ampun tanpa memiliki sedikitpun sisi-sisi positif.
Bedanya, elemen-elemen drama (rumah tangga) ini tidak dituturkan dengan cara normal. Tak seperti rendang yang disajikan biasa saja bersama nasi dan sambal seperti di resto masakan padang. Brown mengolahnya menggunakan “resep resto” berbeda, sehingga menjadi pizza rendang atau pate de foie gras tapi tidak menggunakan hati angsa melainkan rendang.
Kisah Dawson, Amelia, Frank, dan Carl tak dituturkan penuh emosi dengan semua tokoh saling bertengkar lalu menangis terguguk dan merengek semacam “Ya Allah... kenapa kauturunkan semua ini padaku, ya Allah...?”, melainkan dengan jurus thriller kriminal. Salah satu triknya adalah dengan memberi gambaran jelas pada dunia-dunia kerja, baik pekerjaan Dawson sebagai jurnalis, Jeremy sebagai marinir yang terkena PTSD (post-traumatic stress disorder), Frank sebagai agen FBI, maupun petualangan Carl di dunia hitam sejak dekade 1970-an.
Pada kisah-kisah melodrama konvensional, terutama di dunia sinema Indonesia, jagad profesi tak disentuh sama sekali. Pekerjaan-pekerjaan hanyalah dekorasi tokoh yang sama sekali tidak penting. Kadang bahkan tak ada pekerjaan nyata sama sekali, selain hanya disebut “Papa kerja di kantor” atau “Ada rapat di Lembang” atau “Perusahaan kita ini”. Dan saya masih ingat pada era TVRI Orde Baru dulu, ada serial sinetron berjudul Baruna yang berkisah tentang kapal ferry tujuan Merak-Bakauheni tapi hanya berisi kisah drama-drama rumah tangga dan percintaan. Belantara profesi kapten dan awak kapal sama sekali tak dibahas.
Membaca Deadline pun jadi menarik karena unsur-unsur kemelodramaan itu tak terasa sama sekali hingga kita menutup halaman terakhir. Sejak awal hingga sepanjang kisah berlangsung, mayoritas pembaca akan terbawa pada adegan-adegan seru dan berbagai konflik panas yang terkandung di dalamnya. Pembaca cermat baru akan menyadari “identitas” Deadline yang sesungguhnya setelah seluruh 535 halamannya selesai dilahap.
Ini menunjukkan betapa tataran lebih tinggi dari keahlian menulis fiksi tak selalu harus berarti ranah sastrawi yang penuh judul-judul distingtif, konten penuh metafora, dan bungkusan kalimat-kalimat canggih terkait Jean Baudrillard atau Roland Barthes pada kata pengantar, melainkan cukup dengan bermain-main pada level teknis standar.
Dan Brown biasa mengeksplorasi kekayaan data dan fakta, Veronica Roth atau Margaret Atwood mengimajinasikan dunia masa depan secara terbalik, dan di sini, seorang Sandra Brown mengisahkan suatu genre namun menggunakan style genre lain. Jika pernah membaca cerita silat semacam Api di Bukit Menoreh atau Senopati Pamungkas, ia mungkin bisa saja menuturkannya dengan gaya opera sabun yang penuh inrik dan saling jegal—atau merunut kisah pembunuhan dengan menggunakan metoda whodunit seperti teknik Agatha Christie!
Dan karena normalnya novel asal Amerika Serikat dikerjakan bersama panduang seorang agen menulis (dan bukan hanya first reader yang pasti akan langsung bilang “Ih, bagus banget!”), Deadline pun relatif mulus secara teknis. Nyaris tak ada gangguan seperti yang kerap diderita novel-novel (romance) Tanah Air, seperti keberlimpahan typo, kesalahan logika, kesamaan corak dialog semua tokoh (mirip yang ngarang), dan konsistensi karakter.
Jika ada kekurangan yang harus disebut, itu ada pada detailnya. Tak ada paparan detail data fakta mengejutkan yang umumnya ada dalam novel-novel asal Negeri Paman Sam. Semua informasi relatif berkadar normal-normal saja, pernah kita dapatkan sebelumnya pada karya-karya lain—kecuali yang memang seumur hidup hanya nonton sinetron Indonesia atau India, atau baca novel religi mellow.
Ketika epilog berakhir dan kita letakkan buku tebal ini di meja atau masuk rak buku, kita paham bahwa ini sesungguhnya tak lebih dari sekadar kisah ala FTV, namun semua cita rasa jadi begitu berbeda hanya karena soal inovasi. Seperti seusai menyantap sebuah menu bernama rumit dan asing di restoran mahal, dan baru kemudian nyadar, “Lhah, ini kan gemblong...!”.         




0 komentar:

Posting Komentar