Dengan cara bagaimanakah kita menikmati rendang?
Apakah melulu hanya dengan nasi dan sambal hijau serta daun singkong yang
berteksur lembut? Bagi seorang chef kelas mahir, yang menganggap dunia kuliner
adalah seni, sesuatu bisa menjadi apa saja tergantung tingkat inovasi dan
kreativitas. Dan persis seperti itulah yang dicontohkan Sandra Brown,
setidaknya melalui novel berjudul Deadline
ini.
Dengan versi Bahasa Indonesia diberi judul Tenggat Waktu, buku ini berkisah soal tugas
liputan penting wartawan News Front, Dawson Scott, yang mengubah hidupnya. Ia
harus menulis artikel tentang kasus pembunuhan yang dituduhkan pada Willard
Strong, sesuatu yang awalnya ia anggap sama sekali tidak urgen. Willard didakwa
membunuh istrinya, Darlene, dan selingkungan sang istri, Jeremy Wesson.
Saat mengikuti persidangan, perhatian Dawson
tertumbuk pada sosok cantik Amelia Nolan, janda Jeremy yang merupakan putri
seorang politikus kenamaan yang meninggal beberapa waktu sebelumnya. Terlibat
dengan Amelia dan kedua putra kecilnya, Dawson lama-lama menjumpai kasus
tersebut jauh lebih rumit dari yang awalnya ia sangka. Urusannya melibatkan
perseteruan abadi antara ayah angkatnya, Frank Headly, dengan seorang penjahat
legendaris bernama Carl Wingert.
Secara umum, Deadline
berjenis kisah suspense thriller tak
ubahnya novel-novel Dan Brown. Bab-bab berdurasi singkat, ujung tiap bab yang
diputus dengan cliffhanger, dan terdapat
banyak plot twist minor yang
diletakkan secara rapi di sepanjang cerita untuk kemudian ditutup satu plot twist besar terkait dengan
identitas dan masa lalu sang tokoh utama. Yang menarik adalah, naskah karya
Brown ini sesungguhnya tak lain adalah sebuah melodrama biasa saja.
Kita bahkan bisa mengenali pola-pola kuno drama di
dalamnya. Dimulai dari dua tokoh yang benci dulu baru sayang, dua saudara
kandung yang terpisah puluhan tahun oleh suatu peristiwa dramatis (biasanya
banjir!) dan baru bertemu setelah dewasa, dan tokoh antagonis yang juahatnya
minta ampun tanpa memiliki sedikitpun sisi-sisi positif.
Bedanya, elemen-elemen drama (rumah tangga) ini tidak
dituturkan dengan cara normal. Tak seperti rendang yang disajikan biasa saja
bersama nasi dan sambal seperti di resto masakan padang. Brown mengolahnya
menggunakan “resep resto” berbeda, sehingga menjadi pizza rendang atau pate de
foie gras tapi tidak menggunakan hati angsa melainkan rendang.
Kisah Dawson, Amelia, Frank, dan Carl tak dituturkan
penuh emosi dengan semua tokoh saling bertengkar lalu menangis terguguk dan
merengek semacam “Ya Allah... kenapa kauturunkan semua ini padaku, ya
Allah...?”, melainkan dengan jurus thriller
kriminal. Salah satu triknya adalah dengan memberi gambaran jelas pada
dunia-dunia kerja, baik pekerjaan Dawson sebagai jurnalis, Jeremy sebagai
marinir yang terkena PTSD (post-traumatic
stress disorder), Frank sebagai agen FBI, maupun petualangan Carl di dunia
hitam sejak dekade 1970-an.
Pada kisah-kisah melodrama konvensional, terutama di
dunia sinema Indonesia, jagad profesi tak disentuh sama sekali. Pekerjaan-pekerjaan
hanyalah dekorasi tokoh yang sama sekali tidak penting. Kadang bahkan tak ada
pekerjaan nyata sama sekali, selain hanya disebut “Papa kerja di kantor” atau
“Ada rapat di Lembang” atau “Perusahaan kita ini”. Dan saya masih ingat pada
era TVRI Orde Baru dulu, ada serial sinetron berjudul Baruna yang berkisah tentang kapal ferry tujuan Merak-Bakauheni
tapi hanya berisi kisah drama-drama rumah tangga dan percintaan. Belantara
profesi kapten dan awak kapal sama sekali tak dibahas.
Membaca Deadline
pun jadi menarik karena unsur-unsur kemelodramaan itu tak terasa sama sekali
hingga kita menutup halaman terakhir. Sejak awal hingga sepanjang kisah
berlangsung, mayoritas pembaca akan terbawa pada adegan-adegan seru dan
berbagai konflik panas yang terkandung di dalamnya. Pembaca cermat baru akan
menyadari “identitas” Deadline yang
sesungguhnya setelah seluruh 535 halamannya selesai dilahap.
Ini menunjukkan betapa tataran lebih tinggi dari
keahlian menulis fiksi tak selalu harus berarti ranah sastrawi yang penuh
judul-judul distingtif, konten penuh metafora, dan bungkusan kalimat-kalimat
canggih terkait Jean Baudrillard atau Roland Barthes pada kata pengantar,
melainkan cukup dengan bermain-main pada level teknis standar.
Dan Brown biasa mengeksplorasi kekayaan data dan
fakta, Veronica Roth atau Margaret Atwood mengimajinasikan dunia masa depan
secara terbalik, dan di sini, seorang Sandra Brown mengisahkan suatu genre
namun menggunakan style genre lain.
Jika pernah membaca cerita silat semacam Api
di Bukit Menoreh atau Senopati
Pamungkas, ia mungkin bisa saja menuturkannya dengan gaya opera sabun yang
penuh inrik dan saling jegal—atau merunut kisah pembunuhan dengan menggunakan
metoda whodunit seperti teknik Agatha
Christie!
Dan karena normalnya novel asal Amerika Serikat
dikerjakan bersama panduang seorang agen menulis (dan bukan hanya first reader yang pasti akan langsung
bilang “Ih, bagus banget!”), Deadline
pun relatif mulus secara teknis. Nyaris tak ada gangguan seperti yang kerap
diderita novel-novel (romance) Tanah Air, seperti keberlimpahan typo, kesalahan logika, kesamaan corak
dialog semua tokoh (mirip yang ngarang), dan konsistensi karakter.
Jika ada kekurangan yang harus disebut, itu ada pada detailnya.
Tak ada paparan detail data fakta mengejutkan yang umumnya ada dalam
novel-novel asal Negeri Paman Sam. Semua informasi relatif berkadar
normal-normal saja, pernah kita dapatkan sebelumnya pada karya-karya
lain—kecuali yang memang seumur hidup hanya nonton sinetron Indonesia atau
India, atau baca novel religi mellow.
Ketika epilog berakhir dan kita letakkan buku tebal
ini di meja atau masuk rak buku, kita paham bahwa ini sesungguhnya tak lebih
dari sekadar kisah ala FTV, namun semua cita rasa jadi begitu berbeda hanya
karena soal inovasi. Seperti seusai menyantap sebuah menu bernama rumit dan
asing di restoran mahal, dan baru kemudian nyadar, “Lhah, ini kan
gemblong...!”.
0 komentar:
Posting Komentar