scribo ergo sum

Sabtu, 08 Desember 2018

Karena Tulisan Bagus Saja Tak Cukup

11:06 Posted by wiwien wintarto No comments
Pada era medsos ini, akan mudah bagi kita untuk menjumpai tulisan-tulisan bagus bertebaran di mana-mana, baik itu di Facebook, Twitter, Instagram, maupun blog. Tulisan-tulisan itu sangat kreatif karena memotivasi, menggugah, menjengkelkan, atau berisi humor-humor yang sangat lucu meski receh. Setelah mendapat begitu banyak atensi dan respon, tulisan-tulisan itu pun kemudian viral.
Pengunggah tulisan-tulisan viral itu kemudian dikenal luas sehingga menjelma selebritas. Dan berhubung yang mereka geluti bagaimanapun adalah produk seni menulis, wajar bila mereka kemudian berpikir pasti akan bisa jadi penulis yang berkelas, terutama untuk menulis buku fiksi. Logika awam pun menyatakan demikian. Siapapun yang memiliki tulisan bagus, pasti akan dengan mudah bergerak makin dalam untuk menulis buku.
Benarkah demikian?

Kenyataannya adalah serupa dengan aksi-aksi lihai seorang pemain freestyle football. Sudah adakah seorang pesepakbola freestyle dengan skill yahud kemudian menjadi pesepakbola profesional sekelas Harry Kane, Richarlison, atau Mohamed Salah? Jika tak banyak—kalau tak boleh dibilang belum ada sama sekali—itu tak lain karena urusan sepakbola profesional tak semata hanya mengandalkan skill mengontrol dan mengolah bola.
Banyak skill lain harus juga dikuasai, atau terlebih dulu dikuasai, seperti soal patuh pada perintah (pelatih), kemampuan menekan ego sehingga bisa bekerjasama dengan orang lain, serta kemampuan mengeksekusi strategi sehingga lancar menerima instruksi pelatih.
Hal yang sama berlalu dalam dunia kepenulisan. Level tertinggi dalam dunia ini, yaitu menulis buku, apalagi secara rutin dan kontinu, membutuhkan banyak skill lain yang cukup njelimet selain hanya urusan tulisan bagus. Bahkan, khusus untuk kepenulisan fiksi, peran banyak skill lain itu justru lebih penting ketimbang basis dasar atau talenta kemampuan menulis semata.
Tulisan bagus, biarpun selama ini terbukti selalu viral di medsos, tak akan menolong penyelesaian sebuah buku tanpa terkuasainya kemampuan-kemampuan itu terlebih dulu. Sebaliknya, kemampuan menulis yang pas-pasan bisa dipoles jadi matang setelah hal-hal tersebut dipahami dan dipraktikkan secara nyata. Mengapa begitu? Sebab aspek-aspek krusial dalam kemampuan menulis hampir seluruhnya adalah urusan mental dan emosi, bukan yang berkaitan dengan hal-hal teknis semata.
Ada beberapa hal penting harus dicermati. Pertama, bidang ini harus dijalani dengan tingkat kesabaran yang supertinggi. Buku fiksi tidak diproduksi kilat semacam tulisan jurnalistik yang terbatasi tenggat mepet atau buku-buku nonfiksi yang dirilis berdasar jendela tren. Ia adalah anak ideologis penulis, yang harus hadir sesempurna mungkin, memenuhi semua standar teknis kepenulisan umum, dan telah sesuai benar dengan ukuran-ukuran personal sang penulis.
Tak jarang sebuah karya fiksi ditulis dalam jangka waktu lama, dan diedarkan setelah melewati kurun waktu panjang sesudah manuskrip diselesaikan. Tak ada buku fiksi, terutama novel, yang mulai ditulis hari ini dengan target sudah harus ada di toko buku bulan depan—kecuali novel-novel tie-in dengan film yang diproduksi secara kilat karena mengikuti jadwal edar filmnya.
Seandainyapun bisa, hasilnya tak akan maksimal. Itu sebabnya mayoritas novel tie-in dengan film pasti berkategori semenjana—bahkan buruk—karena hanya dikerjakan selama 4-5 hari dan langsung segera dimasukkan percetakan secepat mungkin. Hasil cetakannya pun kadang menyedihkan pula. Baru saja dibeli, lemnya memudar dan semua kertasnya terlepas dari kover!
Tulisan nonfiksi bisa dikejar secepat mungkin, namun tulisan seni tak bisa dibuat dengan pendekatan serupa. Nanti pasti akan lebih terasa seperti barang dagangan dan bukan karya seni. Saat penulis medsos bertulisan bagus itu ingin berkarier menulis buku fiksi, ia harus mudeng bahwa yang ia kerjakan saat ini selayanya memang akan menempuh waktu yang tidak singkat dalam penggarapan.
Kedua, kita tidak bisa memasang ekspektasi terlalu tinggi pada buku pertama. Adalah sangat wajar kita idealis, ingin melahirkan buku yang “pembaca tak hanya baca cerita, namun juga mendapatkan sesuablablablah”, atau buku pertama itu langsung best seller (lalu difilmkan) dan memberi impact yang nyata pada kebudayaan seperti Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata.
Sayang dunia nyata tak bekerja seindah itu. Pada satu judul buku best seller akan terdapat sejuta judul yang biasa-biasa saja dan menghasilkan dampak yang juga standar-standar saja. Semua penulis harus mengantisipasi ini. Jika tidak, kita akan tetap saja mengalami hal buruk entah ekspektasi tinggi tersebut jadi nyata atau tidak.
Jika buku pertama itu langsung berdampak sosial budaya tinggi dan sekaligus juga best seller, sang penulis akan mengalami semacam hangover saat akan menuliskan buku kedua. Harapan yang muncul tentu adalah bahwa buku itu lebih bagus daripada buku pertama. Namun jika kita sudah telanjur mengerahkan seluruh kemampuan terbaik pada judul pertama, kemampuan lebih baik mana lagi yang harus digunakan untuk karya berikut?
Kita akan pusing duluan memikirkan ini. Dan karena terlalu keras berpikir, ujung-ujungnya malah naskah kedua tak segera selesai-selesai karena telanjur memasang ekspektasi dan standar yang kelewat tinggi.
Harapan jadi nyata saja menghasilkan dampak buruk, apalagi jika yang terjadi adalah sebaliknya. Buku kita berdampak biasa saja padahal kita merasa sudah mengeluarkan segala yang terbaik. Ini fatal. Jika mental belum terdidik sebagai penulis sejati, bisa saja kita patah arang dan kehilangan motivasi untuk menulis.
Dan aspek krusial ketiga adalah yang tersulit di antara segala. Apa itu? Kita harus berlatih untuk diam dan tidak membantah dalam sebuah diskusi atau perdebatan sekalipun kita yakin—atau bahkan tahu persis—bahwa kita sedang berada di pihak yang benar. Kemampuan ini berguna saat buku kita nanti sudah melanglah buana ke dunia luas dan dibaca ratusan atau ribuan orang.
Sekadar informasi saja, rimba belantara di luar sana bisa sangat kejam dan telengas. Sekalipun kita merasa tulisan kita sudah bagus, pengkritik dan orang yang tidak satu selera akan selalu ada. Mereka beredar di Goodreads dan blog-blog pribadi lewat berbagai resensi amatir, tak jarang dengan bahasa yang sangat telanjang. Jika kita masih selalu berhasrat untuk berargumen, waktu dan energi hidup akan habis hanya untuk ngurusin semua ulasan tersebut satu demi satu—membantah, menjelaskan, mengklarifikasi. Terus nulisnya kapan?
Memang jika kita kaji lebih jauh, profesi sebagai penulis fiksi unik karena sisi-sisi mental justru lebih berperan untuk meningkatkan skill daripada urusan pendalaman teknis dan jam terbang. Maka sekadar bisa nulis bagus (di medsos) saja tak pernah cukup. Banyak hal genting harus digali lebih dulu sebelum memutuskan untuk terjun sebagai penulis permanen.
Lain soal kalau kita memang hanya akan melahirkan satu-dua buku saja sekadar untuk mempercantik CV, seperti yang kerap dilakukan para selebritas dunia hiburan.



0 komentar:

Posting Komentar