scribo ergo sum

Minggu, 11 Maret 2018

Film Tanpa Tokoh

19:40 Posted by wiwien wintarto No comments
(Foto: PosterSpy)
Adakah sebuah film tanpa tokoh utama? Ada. Dunkirk, karya Christopher Nolan contohnya. Yang ini bahkan serasa tanpa tokoh sama sekali, karena yang ingin ditonjolkan adalah situasinya. Kita sebagai penonton lebih terpukau pada hal itu, dan sama sekali terlupa untuk sedikit saja berpikir normal saat menyimak sebuah cerita, yaitu pada hal-hal krusial yang terjadi dengan para tokoh, seperti “Akankah A jadian dengan B pada akhir cerita?”.

Dunkirk—atau ejaan aslinya adalah Dunqerque—adalah sebuah kota pantai di sisi utara Prancis. Pada tahun 1940, saat Nazi Jerman baru saja menduduki Prancis dan Hitler sedang kuat-kuatnya seperti Thanos di kisah superhero Marvel, ratusan ribu tentara Inggris terpojok di Dunkirk tanpa kekuatan untuk melawan balik. Mereka berkumpul di daerah aman Inggris, yaitu di sekeliling pantai, menunggu untuk dievakuasi menyeberangi Selat Inggris, balik ke kampung halaman.
Sayang upaya evakuasi tak semudah itu. Pasalnya, kapal-kapal dan pesawat tempur Jerman bebas bermanuver di laut, sehingga dalam sehari hanya ada satu kapal sekelas destroyer—dan bukan kapal penumpang berkapasitas besar—yang bisa merapat. Itu pun di selat juga masih harus mengantisipasi serangan kapal perang, kapal selam, atau pesawat pembom musuh. Dan kadang, kapal yang sudah siap melaut terpaksa batal berangkat karena tenggelam dibom Jerman. Para penumpangnya pun harus nyemplung ke laut, balik lagi ke pantai. Begitu berulang-ulang.
Situasi itulah yang menggigit kita sepanjang 100 menit durasi film. Kita lebih tercekam itu daripada peduli pada nasib sebutir demi sebutir tokoh. Apakah mereka selamat atau tidak menjadi tak sepenting keseluruhan nasib buruk yang dialami 400 ribu tentara (baca: pengungsi) yang mengantre panjaaaaang banget di pantai, menunggu giliran masuk kapal (yang belum tentu juga bisa cabut dengan aman).
Dan Christopher Nolan menyusun efek itu sejak awal dengan tidak mengkasting aktor besar penarik perhatian (dan dolar) untuk ikut filmnya. Tak ada wajah-wajah familiar di sini. Seingatku, yang paling top adalah Mark Rylance (pemeran sang nakhoda tua Mr. Dawson, yang bareng Meg Cabort pernah melakukan adegan ML sungguhan di film Intimacy tahun 2004) dan juga Kenneth Branagh (sutradara Hamlet dan Iron-Man).
Selain itu ia, yang juga menulis skenario, sengaja meminimalisasi dialog. Sebagian besar film berisi gambar-gambar aksi, yang diiringi musik latar nan megah karya Hans Zimmer. Pada sebagian besar keadaan dan fenomena, para tokoh lebih sering membatin dan berpikir sendiri, tapi tentu tanpa suara batiniah (atau monolog) seperti di sinetron kita.
Dan itu dibiarkan sepi begitu saja. Bahwa kita penonton tak mudeng dengan apa yang telah atau akan terjadi, adalah efek yang juga diatur oleh Nolan, sebagaimana tentara yang pergi berperang juga tak selalu paham detail apa terjadi di sekelilingnya. Asli, yang terbiasa nonton sinetron akan mutung di bawah 20 menit karena bakalan “nggak mudeng ceritanya”. Selain itu tak ada juga “happy ending”, karena kisah di Dunkirk memang bukan sebuah cerita kemenangan, tak seperti jika kita nonton film perangnya Johnny Rambo.
Dunkirk diproduksi dengan bujet $ 100 juta (Rp 1,3 T) dan untung lima kali lipatnya, alias berhasil menggaet pendapatan tiket sebesar $ 500 juta lebih (Rp 6,75 T). Ia tercatat sebagai film tentang Perang Dunia II dengan penghasilan terbesar sepanjang sejarah. Selain itu, Dunkirk juga dipandang para kritikus sebagai masterpiece Nolan sejauh ini.
Ada dua hal penting yang kita dapat setelah nonton Dunkirk. Satu, akibat keji dari perang. Nasib manusia jadi sengenes itu. Dan sampai detik ini yang seperti itu masih terjadi. Di Suriah bahkan tak hanya para serdadu yang terkena, tapi juga perempuan dan anak-anak kecil. Hal penting kedua adalah betapa tak berartinya kita sebagai nama-nama di tengah geliat fenomena dunia yang sebesar peristiwa Dunkirk.
Sebagaimana kita tak merasa perlu tahu nama tokoh dan pemeran di film ini, kita sendiri juga seringkali harus rela berposisi sebagai bukan siapa-siapa. Sayang mayoritas dari kita tak menyadari itu, dan justru merasa dirinyalah pusat perputaran alam semesta. Baru saat terjebak dalam situasi musibah masif seperti di Dunkirk, kita tersadar untuk menengadahkan tangan dan berdoa.
Saat itu, semuanya sudah sangat terlambat.

0 komentar:

Posting Komentar