scribo ergo sum

Kamis, 27 Agustus 2015

Mirip Woodward & Bernstein

09:07 Posted by wiwien wintarto 1 comment
Poirot & Hastings di serial "Agatha Christie's Poirot"
Style alias gaya merupakan satu dari lima unsur pembentuk fiksi, selain plot, karakterisasi, setting (latar), dan tema. Style menentukan bagaimana seorang pengarang menggunakan pilihan-pilihan pribadinya dalam menuliskan ceritanya. Itu termasuk angle penceritaan (pakai “aku” atau angle orang ketiga), gaya bahasa, redaksional, dan metoda penceritaan

Tiap pengarang akan memiliki gaya-gaya tersendiri yang sangat khas. George RR Martin, misalnya, menuturkan cerita serial fantasi epik A Song of Fire and Ice dengan banyak tokoh utama. Dan kisah diceritakan dari angle para tokoh itu bergantian. Sementara itu, almarhumah Agatha Christie menjelaskan rentetan peristiwa yang panjang dan rumit (rencana, latar belakang, dan aksi pembunuhan) cukup dengan dialog, bukan lewat flashback.
Karena sangat personal, dan dalam seni nggak ada hal yang salah atau haram, maka pemanfaatan style hanya berbatas imajinasi. Apa pun boleh dipakai, termasuk membikin bingung pembaca awam lewat gaya tuturan yang terlalu sureal dan abstrak. Tidak salah juga bahwa dulu almarhum SH Mintardja tidak memakai tanda kutip ganda untuk menuliskan dialog dalam novel-novelnya, melainkan garis tengah panjang (“—“).
Gaya juga bisa menjadi medium pengarang untuk mengganti-ganti corak pengisahan bergantung pada pangsa pasar yang dituju. Seorang penulis baru dari golongan nyastra tentu harus mengubah gaya bila ingin bermain di pasar young adult romance (termasuk bisa pula memakai nama pena berbeda), dan begitu pula sebaliknya.
Buatku sendiri, gaya adalah tempat untuk bermain dan berekspresi seenak udel. Asal koridor market-nya sudah ditentukan (koridor teenlit, romance, atau metropop), maka style cerita akan kuotak-atik sesukaku. Apa yang terpikir, itulah yang dilakukan. Yang namanya ide pun nggak cuman dalam hal bahan cerita, melainkan juga dalam berbagai urusan lain berkaitan dengan style.
Yang paling prominent kugunakan adalah mengenai penceritaan. Dari banyak eksperimen yang sudah kulakukan, ketemu cukup banyak gaya berbeda soal pengisahan. Beda novel ternyata bisa beda pula gaya pengisahannya.
Setelah menggunakan gaya umum-umum saja di Kok jadi Gini? dan Waiting 4 Tomorrow (A dan B saling naksir, berkonflik, tarik-ulur, jadian), The Rain Within (2005) menjadi kesempatan pertamaku untuk menjajal gaya berbeda. Di sini, untuk kali pertama aku bercerita dalam banyak alur alias plot (kisah Elan dan karier bolanya di PSIS, kisah Elan dan Wening, kisah Elan dan Rainie, serta kisah masa lalu sekaligus rahasia Rainie yang luar biasa).
Pemakaian multiplot itu sendiri lebih karena kecelakaan. Awalnya, aku cuman pengin bikin kisah romance pemain bola, yaitu antara Elan dan Rain. Namun kemudian editor meminta cerita ditambah tebal dari 120-an halaman menjadi di atas 200. Maka kemudian kumunculkan alur baru dari tokoh baru yang kubikin kemudian, yaitu Wening.
Lalu, di Dunia Dini (2007), aku bercerita dengan teknik yang disebut False Telling, yaitu mengisahkan sesuatu dengan gaya cerita dari genre lain. Apa yang dilakukan Dini dan Maya dalam melacak keberadaan mantan kepala sekolah mereka adalah prosedur pelacakan yang dilakukan detektif. Maka gaya penceritaan dengan menghadirkan misteri besar yang terkuak sedikit demi sedikit adalah gaya pengisahan cerita detektif atau kriminalitas. Meski begitu, cerita DD tidak termasuk dalam dua jenis itu, melainkan drama biasa yang berbumbu romans.
Gaya ala cerita detektif lain juga ada pada tokoh-tokoh utamanya. Sebagaimana dalam novel-novel kriminalitas Agatha Christie di mana Poirot atau Miss Marple bukanlah tokoh yang mengalami peristiwa paling seru or dramatis, Dini dan Maya pun demikian. Rangkaian insiden dramatis justru dialami Pak Sasongko, sedang mereka sendiri sebenarnya fine-fine saja, kecuali mengalami sedikit urusan complicated dengan Rizal.
Gaya False Telling ini kemudian kuulangi di novel Gombel dengan style ala detektif lagi padahal genrenya adalah horor, dan juga di Grasshopper (2010) yang bergaya ala cerita silat (duel-duel maut, perebutan senjata pusaka, balas dendam yang dilatarbelakangi tragedi masa lalu, dan pencapaian jurus penghancur paling dahsyat) meski aslinya adalah kisah drama sport mengenai badminton.
Unsur style kedua yang sangat khas dan selalu kupakai adalah dalam hal durasi cerita. Aku menganut paham cerita padat secara waktu, mirip novel-novel Dan Brown yang biasanya hanya berlangsung dalam tempo beberapa hari atau bahkan jam. Novel-novelku sejak Kok jadi Gini? sampai Kinanti Featuring Arantxa terjadi dalam basis day by day, yang rata-rata total berdurasi antara dua hingga tiga pekan, sejak bab 1 (atau prolog) hingga bab penutup (atau epilog).
Jika cermat mengamati, maka nama-nama hari tempat rangkaian seluruh peristiwa terjadi bisa diketahui. Misal dimulai dari Senin, Selasa, Rabu, lalu ending pada hari Sabtu dua minggu sesudahnya. Kadang bahkan dengan tanggal dan bulannya juga. Dan selalu ada insiden penting yang terjadi saban hari.
Tidak pernah kejadian seru “libur” selama sekian waktu dengan unsur semacam “selama beberapa minggu sesudah itu…” atau “…baru dua bulan kemudian, mereka kembali saling…” dan semacamnya. Maka tak jarang 20 hingga 40 halaman lewat hanya untuk menceritakan rangkaian event yang berlangsung dari pagi hingga siang, misalnya.
Elemen berikutnya dari style yang langganan kupakai adalah penceritaan angle orang ketiga. Aku termasuk sangat jarang menggunakan angle orang pertama (“aku”), karena baru kupakai di Kok jadi Gini? dan The Supper Club. Yang belum pernah kupakai dan kayaknya nggak akan terpikir adalah multi-angle, atau campuran antara angle “aku” dan angle orang ketiga, atau angle “aku” dari dua-tiga tokoh berbeda.
Satu kali eksperimen ganjil yang pernah kukerjakan adalah angle orang ketiga palsu di Fade in Fade out (2013). Meski pakai sudut pandang orang ketiga, cerita itu sebenarnya hanya dilihat dari angle Seto. Tak ada peristiwa di mana dia tidak hadir. Selain itu hanya pemikiran dan perasaan dia saja yang bisa diketahui pembaca. Perasaan dan pemikiran para tokoh lain, terutama Farah, cuman bisa dilihat dari dugaan atau perkiraan Seto.
Unsur terakhir dari style yang selalu kumainkan adalah tema mengenai dunia kerja atau bidang kehidupan tertentu yang hadir sebagai topik bahasan utama. Urusan cinta-cintaan mundur selapis ke belakang menjadi pemanis, dan bukan perkara utama satu-satunya yang diurusi para tokohnya.
Tema dunia kerja yang sudah pernah kugunakan adalah sepakbola (The Rain Within, The Sweetest Kickoff), musik (Rendezvous at 8, Kinanti Featuring Arantxa), jurnalis (Dunia Dini), produksi sinetron (Fade in Fade out), badminton (Grasshopper), dan masak-memasak (The Supper Club). Tak hanya muncul nempel cukup sebagai pekerjaan sang tokoh utama, dunia kerja itu juga muncul dengan cerita tersendiri.
Misal dalam Dunia Dini, kejadian seru yang mereka alami dimulai saat mereka ditugaskan untuk menginterviu eks kepsek mereka. Lalu pelacakan info yang mereka lakukan adalah teknik investigative reporting yang biasa dilakukan para jurnalis dalam menggali satu rangkaian kisah penuh misteri, mirip kerja Woodward & Bernstein saat membongkar Skandal Watergate di AS tahun 1972.
Sementara itu, di TSK, ada cerita komplet soal pengelolaan klub sepakbola. Bagaimana suka-duka seorang owner klub bola yang berkonflik terus dengan pelatih dan naik turun emosinya berdasar hasil-hasil pertandingan di lapangan. FIFO malahan hampir 100% cerita soal sinetron. Tokoh utamanya, si Seto, tak mengalami kejadian apa pun yang seru dan dramatis, sehingga salah seorang reviewer di Goodreads bilang bahwa aku terlalu sayang sama tokoh ini sehingga dia “imun” dari masalah. Yang kena problem gawat justru Nane: minggat lalu bapaknya kecelakaan.
Lewat style, kita berkesempatan untuk melakukan banyak hal yang membuat novel-novel kita punya gaya tersendiri yang sangat khas dan membedakan dari para pengarang lain. Pada banyak kesempatan, gaya khas kerap kali dimulai dari genre. Berbagai pengarang setia hanya pada satu genre tertentu yang kemudian menjadi ciri khasnya. Misal kayak Christie yang khas dengan genre misteri, SH Mintardja dengan genre silat, atau Brown dan genre thriller teori konspirasi.
Namun selain soal genre, biasanya tetap ada kekhasan lain yang dipunyai para author terkemuka itu. Dan Brown misalnya, selain khas gara-gara genre thriller, juga karena gaya pengisahan yang bertempo cepat dan padat itu. Sedang Agatha Christie dikenal hobi memasukkan segala hal berbau farmasi.
Dia juga kerap bereksperimen, terutama dalam hal penggunaan angle tokoh. Di Pembunuhan atas Roger Ackroyd, eksperimennya sangat nekat dan mengundang banyak perdebatan (sayang nggak bisa diungkap di sini karena akan jadi spoiler). Sedang lewat tokoh Kapten Hastings, kadang ia memakai teknik False Protagonist—dijadikan tokoh utama (dan kadang jadi tokoh narator), padahal lakon aslinya adalah Poirot.
Aku pernah agak kaget pas awal-awal dulu baca novel dia yang bergaya semacam itu. Angle “aku”-nya kenapa dari Hastings, bukannya Poirot? Ternyata itu memang disengaja. Satu, untuk membuat pembaca terwakili oleh Hastings dalam hal pusing mencoba memahami keunikan karakter Poirot. Dua, menghindarkan diri dari Sindrom Megaloman (memakai angle “aku” dari tokoh yang serbahebat—terlebih bila si “aku” mewakili personality atau bahkan kisah hidup sang pengarang sendiri).

Karena seniman, termasuk pengarang, harus selalu out of the box, maka bereksperimen dalam hal gaya seperti yang dilakukan Christie adalah keharusan. Kalau terus-menerus terjebak dan terlena dalam zona nyaman, lama-lama pasti akan ketiduran

1 komentar: